webnovel

Another One For You

Berawal dari pembicaraan iseng, akhirnya Alfa benar-benar terikat dengan Elion yang terus mencoba terlibat dengannya. Mengabaikan fakta bahwa usia mereka terpaut 9 tahun; bahwa Elion baru saja dibuat patah hati oleh mantannya yang menikah dengan laki-laki lain; bahwa Elion adalah kakak dari sahabatnya, Alfa memberanikan untuk menyatakan perasaannya pada laki-laki itu. Alfa pikir dia beruntung memiliki Elion yang selalu bersikap dewasa, supportif, pengertian, juga memiliki hubungan yang baik dengan papa Alfa. Namun, ternyata nggak semudah itu. Hubungan mereka nggak semudah yang Alfa bayangkan dari awal, hingga mereka menemui titik jenuh dan memutuskan untuk saling memberi jeda. Namun, jeda itu berhenti pada akhir yang berbeda dari harapan Alfa sebelumnya. *note: Selamat membaca (◍•ᴗ•◍) silahkan follow Instagram @cnsdav_ (untuk visual dan sneak peek). Terima kasih ^^

CANES · Thanh xuân
Không đủ số lượng người đọc
286 Chs

DI MALL

Stevani: Kak Alfa mau shopping bareng ga?

Alfa mendengkus melihat stiker puppy eyes yang dipakai Stevani di akhir pesannya. Matanya melirik Ari yang sudah siap menyandang tas dan keluar dari kelas. Ini sih sudah pasti Ari penyebabnya. Soalnya jarang-jarang Stevani ngajak-ngajak Alfa, kecuali kalau gadis itu sedang ada sesuatu dengan Ari.

Bianca masih mogok bicara. Benar-benar seharian. Padahal mereka duduk sebelahan. Dan Bianca betulan nggak bicara sama sekali, seolah membuka mulutnya sangat diharamkan. Mungkin Alfa perlu mengutuk jam pelajaran yang hanya mengharuskan mereka untuk berkutat dengan puluhan latihan soal tanpa adanya diskusi, soalnya itu terlihat seperti mendukung aksi mogok bicaranya Bianca.

Sekarang ini bahkan Alfa sudah tak melihat batang hidung Bianca, sejak sepersekian detik setelah bell pulang sekolah berbunyi.

Bianca melarikan diri. Alfa tahu Bianca tidak mau diganggu dalam situasi itu. Daripada kena amuk, Alfa memilih untuk tidak cari ribut.

Dan karena Alfa merasa dia tak ada kerjaan di rumah, ditambah Sela bilang besok malam mereka akan menghadiri pesta, akhirnya Alfa mengiyakan ajakan Stevani.

Dibilang dekat, sejujurnya Alfa tak sedekat itu dengan Stevani. Dia hanya beberapa kali main bareng karena Alfa sendiri merasa perlu akrab dengan pacar Ari.

Sejauh ini, untuk Alfa, Stevani cukup menyenangkan. Sedikit manja, tapi lebih banyak pengertian. Dibanding Bianca, Alfa jelas mengakui Stevani lebih dewasa. Soalnya Stevani tak pernah bicara kelewatan. Bahkan terlampau hati-hati sampai sering kali bicara dengan suara mencicit.

"Lo dateng juga ya ke acaranya Anneth?" Alfa bertanya saat mereka turut menyesaki eskalator. Mencoba mencapai lantai di mana pakaian dan sepatu-sepatu berada.

"Iya. Soalnya aku udah lama nggak pergi."

"Terakhir kali kita pergi kapan sih?"

"Waktu ... acara ulang tahun pak siapaaaa gitu yang sekalian sama acara peresmian kerja sama itu. Sekitar sebulan lalu."

"Iya sih ya. Udah lama."

"Cukup lama."

Melihat Stevani tersenyum lebar membuat Alfa bertanya, "Sebenernya lo seneng pergi ke pesta?"

Gadis itu mengangguk semangat. 

Kalau lihat Stevani yang begini, rasanya Alfa jadi punya adik.

"Bentar lagi Kak Lin ulang tahun tuh. Mau ikut nggak?"

"Aku kan belum pasti dapet undangan."

Tangan Alfa mengibas. "Nggak penting. Dateng sama gue aja kalau mau. Lagian anak paskib kelas lo juga pasti ikut semua kok." Alfa mengerling. "Terus yang pasti acaranya lebih seru daripada acara bisnis kayak besok malem."

"Boleh?"

"Boleh lah. Tapi nggak perlu ajakin Ari."

"Kenapa?"

"Biar dia sirik nggak diajakin."

Stevani tertawa. Selagi melihat-lihat toko mana yang kira-kira bakal mereka masuki, gadis itu mulai bercerita.

"Tadi Kak Naufal hampir ribut sama siapaaa gitu. Anak kelas IPS angkatan kalian kalau nggak salah."

"Tumben. Kenapa?"

"Aku ketumpahan kuah soto. Dikit sih. Tapi kakak kelasnya nggak bilang maaf, jadi Kak Naufal agak marah."

"Cieee ... dibelain pujaan hati."

Stevani cengengesan. "Aku ... boleh seneng, kan?"

Alfa tergelak. "Ya boleh lah. Kenapa juga nggak? Lagian, bagus tau. Yang kayak gitu namanya kemajuan."

Stevani jadi senyum-senyum sendiri. "Tapi Kak Naufal kan emang suka gitu."

"Gitu gimana?"

"Ya ... diam-diam perhatian."

Alfa tergelak. "Dih, begituan dibilang perhatian. Kalau gue bilang nuh ya, dia tuh brengsek. Lo yang apes naksir cowok modelan Ari."

"Nggak gitu kok. Aku seneng." Stevani diam sebentar, lalu mengutarakan isi kepalanya. "Kalau Kak Alfa?"

"Hm?"

"Kak Alfa lagi ada yang ditaksir nggak?"

"Ada."

"Siapa?"

Alfa tak bisa mengatakannya pada Ari ataupun Bianca. Jadi, dia merasa mengatakannya pada Stevani bukan ide yang buruk. Soalnya, punya sesuatu yang dipendam sendiri rasanya nggak enak. Alfa selalu merasa dia perlu membaginya dengan orang lain. Dan Stevani ... juga nggak kelihatan bakal menjadi ember yang suka koar-koar tentang rahasia orang lain.

"Tapi ini rahasia kita berdua aja. Ari sama Bianca nggak ada yang tau."

Stevani mengangguk. Matanya berbinar. "Siapa?"

Melihat pendaran di mata Stevani malah membuat Alfa malu sendiri. Masa iya dia mau cerita beginian pada Stevani?

Stevani loh ini! Pacarnya Ari! Adik kelasnya sendiri!

"Ah nggak jadi."

"Yah, kok gitu? Aku janji nggak bakal bocor. Janji ini janji." Stevani meraih tangan Alfa dan mengaitkan jari kelingking mereka.

"Malu ah gue."

"Kenapa harus malu?"

"Gue nggak tau orangnya bakal suka gue balik atau nggak."

"Terus apa bedanya sama aku?"

"Lo kan udah jadian sama Ari."

"Ya tadinya kan gitu juga."

Alfa diam sejenak. Menarik Stevani masuk ke toko yang memajang dua dress berwarna broken white di etalase depan.

"Kak Alfa, kasih tau .... " Stevani setengah merengek, mengabaikan sapaan pramuniaga di depan pintu masuk.

"Pokoknya kalau ada orang yang tau, berarti lo yang bocor."

"Iya!"

Sambil mengamati dress yang menarik perhatiannya sejak dari luar, Alfa buka suara. "Kayaknya gue suka sama kakaknya Bianca."

"Hah?!"

"Nggak usah heboh gitu kenapa sih?" Alfa mencoba untuk terlihat biasa saja walaupun wajahnya mulai memanas.

Malu banget. Asli!

"Habis ... aku kira Kak Nawa."

"Nawasena maksud lo? Gila aja. Tuh anak lagi PDKT-in Bianca."

"Tapi sering deket-deket Kak Alfa."

Merasa muak mendengar omongan serupa membuat Alfa mengalihkan pembicaraan. "Dress ginian menurut lo gimana?"

"Kak Alfa suka itu? Aku kayaknya lebih suka yang dipajang di sebelah sana. Coba .... "

Alfa mengernyit karena perhatiannya teralihkan pada seorang laki-laki yang muncul di seberang sana. Baru sana turun dari eskalator.

Neil.

Postur mencolok dengan rambut abu-abu dan penampilan awut-awutan cukup membuat Alfa yakin kalau laki-laki itu adalah mantan Bianca. Sebenarnya Alfa tak akan ambil pusing kalau saja Neil datang bersama rombongan super-mengganggu-pemandangan-nya. Tapi kali ini Neil malah datang dengan seorang wanita yang penampilannya seperti toko berjalan, alias semua merek melekat dari ujung rambut sampai kaki.

Sugar mommy?

Alfa mendelik karena pemikirannya sendiri. Kayaknya nggak mungkin juga ada wanita super kaya yang bakal memilih Neil. Mereka pasti bakal memilih cowok yang jelas lebih oke dari segala sudut pandang. Neil ... rasa-rasanya nggak masuk ke kriteria perekrutan para sugar mommy.

"Kak Alfa, bengongin apa?" Stevani memiringkan kepalanya untuk melihat wajah Alfa saat menyadari omongannya tak ditanggapi oleh gadis itu. Lalu secara spontan mengikuti arah pandangan Alfa, menemukan seorang laki-laki dengan ... wanita 40-an berjalan mendekat ke arah mereka.

Dari tempatnya Alfa bisa melihat Neil melempar senyum. Seolah mereka tak punya masalah apa pun.

Padahal kan jelas mereka bakal perang karena Neil membuat Bianca seperti mayat hidup selama beberapa minggu. Dan brengseknya laki-laki itu sudah memacari—entah berapa—gadis lain.

Sayangnya, Neil hanya lewat. Mereka hanya perang tatapan lewat etalase toko.

"Jangan bilang Kak Alfa tertarik sama cowok barusan." Stevani menatap Alfa tidak percaya.

Alfa bergidik. "Kalau nggak ada makhluk selain dia juga gue mending nggak suka siapa-siapa sampai mati."

"Segitunya Kak Alfa."

____________________