"Am I wrong?"
[ANGELIC DEVIL: The Crown]
Apo pun meremas sumpit yang dia genggam. "Maksud Phi apa?" tanyanya tersinggung. "Aku benar-benar tidak paham."
Paing pun meraih tangannya. "Apo, aku hanya--"
Pakh!
"Jadi aku lebih baik kembali padanya, begitu?" tanya Apo sambil menampik tangan sang Alpha. "Dipoligami tanpa seizin, diinjak-injak harga dirinya, dan sekarang Phi bertanya apa aku sebaiknya memberikan kesempatan?" Kedua bola mata Omega itu berkaca-kaca. Lelah sekali. Bahkan langsung membanting piringnya di atas nakas.
BRAKH!
"APO!"
"Aku tidak mau sama Phi lagi, Brengsek! Aku benar-benar benci padamu!" kata Apo. Omega itu pun keluar dan membanting pintu. Melewati pelayan dengan langkah yang urgen. Kemudian mengunci diri di dalam kamarnya.
BRAKHH!
CKLEK!
PRAKH!
Apo juga melempar kunci ke sembarang arah. Dia menghambur ke ranjang, lalu meringkuk di dalam selimut yang dia pakai. "ARRRGHH!" teriaknya tak habis pikir.
Selama ini, Apo merasa Paing adalah sosok sempurna. Dia senang dengan semua hal yang Paing lakukan. Atau apapun yang dia katakan. Tapi kenapa?! Saat Apo sudah benar-benar tak peduli dengan sang suami, dia malah ....
"SUDAH GILA! KEPARAT! TERSERAH! AKU INI BENAR-BENAR--SHIT! UGH! Hiks ... hiks ... hiks ... hiks ..."
Apo pun menangis di dalamnya cukup lama. Rasanya ingin pulang saja ke rumah. Toh sejak dulu itu yang dia inginkan.
"Apa memang harus pulang?"
"...."
"Oke, kalau begitu Phi ganti pertanyaannya. Bisa menetap saja di sini? Denganku."
"Eh? Anu--"
"Jujur sekarang sulit melihatmu berkeliaran, Apo. Bukan karena ingin mengekangmu, bukan. Kau boleh kemana pun yang kau mau. Tapi bisa pulangnya tetap kemari? Aku lega melihatmu setelah bekerja."
Lega katanya? Terus kenapa bilang begitu?! Aku ini sudah pulang, PHI SIALAN! SUDAH! Pikir Apo. Omega itu pun sesenggukan hingga ketiduran. Tanpa tahu kunci pintu kamarnya mendadak berbunyi.
Klick! Klick!
Cklek!
Ada yang mendorongnya dari belakang. Langkahnya pelan dan agak terseret. Disertai darah mengalir dari bekas tusukan infus dilepas.
"Ada lagi yang Anda butuhkan, Tuan?" tanya seorang pelayan yang mendampinginya. Wanita itu membawa sekumpulan kunci serep rumah. Tapi justru menuai gelengan.
"Tidak, tidak. Sudah cukup. Selebihnya akan kuurus sendiri."
"Baik."
CKLEK!
Paing Takhon, Alpha itu. Dia masuk setelah menutup pintu perlahan. Tidak menguncinya. Lalu duduk di tepian ranjang. Dia menyingkap sedikit selimut yang membalut tubuh Apo. Lalu menatap wajah merah sang Omega. "Oh ...." desahnya.
Bengkak sekali, sumpah. Mata, hidung, bibir, bahkan pipi-pipi Apo ... semua tidak luput dari bekas air mata yang berurai. Omega itu sepertinya sungguh sakit hati, tapi tangannya menggenggam bandul kalung yang Paing berikan. Apa dia melakukannya sejak menangis? Pikir Paing. Lalu menyisir jemari Apo satu per satu.
"Ummhh," keluh Apo.
Paing pun membuat sang Omega terganggu. Mulai menggeliat, tapi Apo malah menyurukkan wajahnya ke bantal.
DEG
Oke? Sebenarnya dia sudah sadar atau belum? Batin Paing. Alpha itu benar-benar kesulitan memahami, tapi otak dokternya sulit ditipu. Hmm ... napas Apo kembang kempis lebih cepat daripada tadi. Padahal orang tidur takkan seperti itu.
"Apo ...." panggil Paing sepelan angin. Napasnya sendiri sedang tak normal, tapi Alpha itu tetap berusaha mengambil hati sang mate. "Phi tahu kau sudah terbangun, hm? Jadi bisa bicara denganku?"
Ssssakkkhhh!
Apo justru menarik selimut lagi. Nyaris menyikut Paing. Tapi dia tidak bilang apa-apa. Seolah, pergi kau bajingan aku sedang muak sekali denganmu, tapi Paing justru mendekapnya dari belakang. Perlahan, perlahan. Tapi Apo takkan berani berontak karena memikirkan luka-luka di tubuh sang mate.
Phiiii ....
Kini, cermin dinding di depan ranjang pun menampakkan pantulan tubuh mereka. Apo sudah membayangkan bagaimana potretnya. Jadi dia makin meringkuk karena malu.
.... malu tapi campur jengkel, maksudnya.
Apo mungkin akan memaki-maki sang Alpha lagi, tapi dia sungguhan terjebak di tempat ini.
"Phi benar-benar minta maaf, ya," kata Paing. Kali ini menggulung buntalan Apo dalam pelukan. "Oke, fine. Tadi itu salah bicara. Phi sungguh sulit berpikir akhir-akhir ini ...."
IYA, TERUS?!
Apo rasanya tidak puas kalau cuma begitu. Cih ... enak saja, ya. Phi pikir aku ini memilih sembarangan apa?! Batinnya. Karena ... silahkan buat masalah apapun, tapi tolong jangan membuat Apo merasa keliru untuk kedua kali--SIAL! Aku itu bisa menghadapi segalanya, Phi! Masalah luar! Tapi kalau kau sendiri yang begitu, menurutmu aku harus bagaimana?!
"Say something, Apo. Phi bingung kalau kau diam seperti ini ...." pinta Paing.
YA KAN PHI BISA BERPIKIR SEDIKIT! KENAPA AKU TERUS YANG HARUS MENGEJAR-NGEJAR?! TIDAK SUDI!
"Apo ...."
Apo tetap tidak mau tahu. Dia tantrum seperti bocah. Minta dipahami, sampai-sampai mereka diam lama seperti itu--ha ha ha ha ha ... enak kan rasanya? Pikir Apo. Phi harus tahu tadi aku pun kau begitukan, yang menginginkanmu, tapi malah seperti digampar mendadak.
"Oke, astaga ... Phi tidak tahu apa memang ini benar. Tapi--aber danke, dass du mich gewählt hast. Ich fühle mich wirklich glücklich, Apo," kata Paing usai memutar otak sampai pening. Jujur baginya lebih berat dari menangani berkas. Dan Apo lebih sulit didebat, dari saingan bisnis-bisnisnya di luar sana. "Tolong jangan berubah dan tetap di sini." (*)
(*) Bahasa Jerman: "Terima kasih banyak sudah memilihku, ya. Aku benar-benar merasa beruntung, Apo.
Hihihihi ....
Seketika Apo menyeringai kecil. Namun, dia tetap kukuh memegangi selimut yang menyembunyikannya. "Fuck! Sudah sadar?!" bentaknya dengan suara teredam pelan.
Paing pun memeluk semakin erat. "Hmm, hmm. Sudah. Barusan ... tapi tolong aku jangan dipukuli dulu sampai sembuh. Bisa?" pintanya. "So, boleh hukumannya dihutang di lain hari, kan?"
Apa katanya barusan? Siapa juga yang ingin memukul! Apo dikejar saja sudah lega, tapi bagus sih andai diberi kesempatan untuk membanting sesekali.
"Iya, bisa," kata Apo. "Aku mau boxing sama Phi kapan-kapan. Main tinju. Siapa tahu aku menang banyak," lanjutnya. Terdengar dingin tapi sebenarnya dia nyaris terkikik-kikik.
"Boxing, kau bilang? Kenapa mendadak ingin? Aku tidak mau tanding dengan Omega yang hamil anakku," kata Paing. Apo pun membayangkan bagaimana eskpresinya. Apakah bingung, atau matanya berkedip-kedip. Yang pasti jelas lucu. Jadi dirinya pun membuka selimut.
"Tapi perasaan aku tidak bilang latih tanding," kata Apo. Lalu menatap dengan mata bengkaknya. "Lagipula siapa yang mau dibanting? Phi kan yang harus jadi samsak tinju."
DEG
"Apa?"
"Samsak, Phi ... samsak. Yang dihajar terus itu loh. Jangan pura-pura tidak tahu," kata Apo. "Aku yakin di rumah ini sebenarnya ada ...."
Paing pun diam sebentar. "Tidak, ya. Kata siapa ...." katanya dengan ekspresi gemas yang membuat perut Apo melilit.
"Cih, jangan kira aku tidak tahu ...." kata Apo. "Phi pikir aku tidak berkeliling sesekali? Itu yang di lantai dua apa? Walau sekarang jadi penuh kardus ...."
"...."
"Aku lihat kok ada foto lawas Phi di dalam sana. Super besar. Tapi memang isi kardusnya apa?" tanya Apo. "Apa aku sekarang boleh tahu?"
Sore, pukul 5. Apo menunggu Jeff yang katanya akan telat datang. Sang hacker bilang motornya harus diservis dahulu. Ganti oli, cuci-cuci, dan intinya mungkin akan sampai malam. Dia juga harus menge-print 4 bendel berkas thesis yang akan diajukan pada dosen. Tapi pikirannya sering kembali pada omongan Paing tadi siang.
"Apa? Perabotan dekorasi bayi?" tanya Apo coba memastikan. Sebab kardusnya rata-rata besar. Bertumpuk segunung hingga menyerupai gudang. Bahkan ruang boxing itu sudah dikatakan beralih fungsi.
"Ya, ha ha, begitulah ...."
Paing bilang, dia ingin merenovasi tempat itu sejak triplets hadir. Toh tempatnya luas sekali. Mungkin akan jadi ruang khusus baby? Tapi dia tidak pernah mendatangkan tukang meski Apo sudah me-notice-nya sedari lama. Paing membiarkan kardus-kardus itu masuk. Tidak bilang pada Apo mau apa atau bagaimana. Mungkin karena dulu triplets seperti titipan saja.
"Oh ...."
Apo mendadak berpikir--apa Paing sempat khawatir berharap terlalu jauh? Shit lah ... Alpha itu mungkin membayangkan Apo berubah pikiran. Atau pergi saat Mile membuktikan dirinya sembuh. (Dan bayangkan jika Paing terlanjur merenovasinya secara permanen). Itu hanya akan menimbulkan bekas terlampau besar.
Namun, gilanya ... usai Apo "klik" dari segala sisi, isi kardus pun langsung dibongkar-bongkar. Para pelayan ribut menata mainan dan baju bayi yang ada di dalam. Membersihkan peralatan boxing yang sebelumnya masih tertata rapi. Lalu memindah semuanya ke dalam truck-truck pengangkutan.
"OKEEEEE!! SIAAAAAPPP!!!"
Sopirnya tampak senang membawa barang "jarahan", dan dia sering tersenyum selama mengirimkan perabotan baru. Ada lemari, stiker dinding, ranjang bayi yang lebih besar, karpet bulu, tirai warna-warni yang bercorak kartun, boneka berbagai bentuk dan ukuran. Bahkan CCTV untuk mengawasi bayi rewel tengah malam.
Oh, jadi babysitter tidak perlu berjaga 24 jam di sana, melaikan membawa kamera sambungan selama beristirahat. Dan semuanya selesai dipasang dalam waktu 5 jam.
Triplets juga langsung dipindah, meski dalam kondisi tidur. Ketiganya tidak lagi di kamar tamu, melainkan "Istana kecil" khusus mereka sendiri.
"Ah, dasar ... sudah berkali-kali, tapi kenapa masih tidak paham dia?" gumam Apo yang memukul kepalanya sendiri. Usai mandi, sang Omega mengomeli diri sendiri di depan cermin, tapi tidak menemukan solusi. "Besok lagi aku tidak boleh tergesa-gesa," katanya. "Tapi Phi sendiri sering membuatku bingung, Brengsek! Kenapa sih tidak ngomoooong saja langsung? Perasaan waktu itu pernah kok. Dia sempat bicara sendiri loh waktu aku masih "tidur". Terus kenapa tidak sering-sering begitu? Padahal aku ini senang dicurhati--"
CKLEK!
"Maaf, Tuan Natta .... apa Anda sudah selesai bersiap?" tanya seorang pelayan yang mendadak masuk.
"Eh, ya? Belum sih ... apa Jeff-ku sudah datang?" tanya Apo.
"Iya, Tuan. Tapi beliau tidak sendiri," kata si pelayan lagi. "Jadi, Tuan Takhon bilang, Anda harus siap-siap akan bertanya apa kepada mereka."