"Is it okay if I ask for your time?"
[ANGELIC DEVIL: The Crown]
Tiga hari menjelang resepsi kedua Mile, Apo pun melangkah gamang saat berangkat ke kantor. Para karyawannya mungkin sudah mendengar desas-desus dari sekitar, dan itu membuatnya terbebani. Namun, Apo tidak mau fokus kepada mereka. Dia cukup melihat undangan yang tergeletak di meja kerja. Tidak membukanya. Lalu memasukkannya ke tempat sampah.
"Eh? Tuan Natta tak akan hadir?" tanya Manajer Yuze yang tidak sengaja melihat. Wanita Beta itu mungkin keceplosan saat masuk ke ruangannya, maka Apo berusaha santai.
"Ya, begitulah," kata Apo. Lalu mengayunkan tangannya. "Kemarikan file yang kuminta. Aku harus menyelesaikan pekerjaan hari ini dengan cepat."
"Baik."
Yuze ternyata masih lirik-lirik ke arah undangan, padahal rautnya setenang air. Dia mungkin penasaran kenapa sampai dibuang, tapi kali ini tidak berani bertanya. Bagaimana pun wajah Paing dan Apo sudah terlihat media saat pernikahan Yuzu. Mile juga menggandeng wanitanya sendiri. Maka andai perceraian Mile dan Apo benar adanya, ini jelas urusan dalam. Dia sebagai karyawan harus lebih berhati-hati bicara, kecuali profesi boleh digadaikan jadi taruhan.
"Oke, bagian ini sudah bagus. Aku senang barang-barangnya tetap bisa di-ekspor," kata Apo. "Kupikir mereka akan menolak setelah yang terakhir kali, tapi cukup pertahankan saja."
"Baik, Tuan Natta."
Apo kini membalik halaman lain. "Oh, iya. Menurutku kertas buku kita harus dibuat lebih cerah lagi," katanya. "Jaman sekarang mana ada yang suka warna putih tulang. Para pelajar lebih nyaman dengan kualitas rata-rata. Karena itu lebih sesuai dengan mata mereka. Kau tahu? Kebiasaan. Kita cari pasar menengah ke bawah saja, karena orang-orang kaya takkan mudah mengambil merek yang kita sediakan."
Manajer Yuze pun mengangguk lagi. "Siap."
"Baiklah, kau bisa kembali sekarang," kata Apo. Lelaki itu pun keluar kantor saat jam istirahat. Lalu tersenyum karena disapa sekretaris barunya.
"Siang, Pak."
Itu adalah Baifern Pimchanock. Dulu disebut Paing dengan nama "Pim", dan termasuk karyawan Luhiang. Tapi ditransfer langsung sejak Apo menerima rekomendasi.
"Ya, halo," balas Apo sebelum berlalu. Dia lihat, Pim memang bekerja hebat seperti Wen dulu. Dan itu membuat Apo merasa beruntung. Ya, walau kadang masih merindukan sekretaris Alpha-nya itu. Kira-kira bagaimana kabar Wen dengan Yuzu sekarang? Aku yakin Phi Paing merahasiakan segala masalah darinya, karena mungkin bisa mengganggu konsen kuliah. "Mama sekarang ada dimana? Biar Apo jemput kalau sudah dekat," tanyanya lewat telepon.
Kemarin, Miri bilang memang ingin bertemu baby triplets. Wanita itu senang karena cucunya sudah berkumpul. Bahkan langsung tak peduli dengan kabar menantunya menikah lagi. Siang ini, dia juga membawa kotak makanan yang dimasak sendiri, padahal biasanya tidak begitu.
"Ini buat para triplets, oke? Bukan kamu," canda Miri saat mereka duduk di restoran milik sendiri. Apo pun tertawa kecil, lalu menilik sebentar isinya. Ada puree buah, puree sayuran, puree daging, yogurt, sereal halus, dan biskuit bayi yang hasilnya sedikit gagal--ya ampun, Ma .... tapi cukup membuat Apo terhibur. (*)
(*) Puree adalah makanan yang dihaluskan. Baik menggunakan blender, grinder, ditekan, atau sejenisnya.
"Iya, aku tahu. Bayi besar ini cukup makan keras," kata Apo. "Lagipula aku sudah menghabiskan kasih sayang Mama sendirian hingga menikah. Ha ha ha. Cukup puas kok menjadi anak tunggal. Tidak perlu dibuatkan puree lagi."
Miri pun mencubit hidung bayi besarnya. "Tapi kau tetap baby mungil di mata Mama," katanya.
"Terima kasih, ya. Nanti pasti kusuapkan ke mereka untuk makan sore."
"Tentu," kata Miri. "Lagipula Mama kini tidak banyak kegiatan di rumah. Jadi kalau bukan untuk mengurus cucuku, terus demi siapa lagi?"
Apo pun lega melihat ibunya tidak uring-uringan seperti dulu. Mereka berdua bahkan bisa bercanda normal, tapi menghindari topik Mile resepsi daripada emosi.
"Ini, makan yang banyak biar kau kuat kerja. Jangan berpikir soal bentuk badan, Sayang. Ma tahu tiga baby itu butuh banyak perhatian," kata Miri sambil menaruh banyak daging di mangkuk Apo. Wanita itu tidak tahu puteranya mulai sering berolahraga, tapi tetap mau karena mereka jarang menghabiskan waktu bersama.
"Oke," kata Apo. Omega itu tidak lupa mengangkat topik soal Thanawat dan Sanee. Jadi, biar ibunya bisa bersiap-siap. Bagaimana pun orangtua Paing baru pulang besok, maka kemungkinan mereka nanti bertemu.
"Oh? Yang benar? Sejak kapan?" tanya Miri sedikit terkejut. Wanita itu tidak berpikiran sampai sana, tapi tetap terlihat tenang.
"Baru dua hari lalu kok. Mereka menjenguk Phi waktu pulang dari RS," kata Apo. "Jadi aku agak ringan karena dibantu menjaga triplets."
"Hmmm ...." gumam Miri dengan tatapan selidik. "Tapi mereka tidak bilang sesuatu? Katakan saja kalau ada apa-apa. Mama tidak mau kau ganti Alpha, tapi malah berakhir sama saja. Yang main rahasia-rahasia, atau punya mertua yang suka mengungkit masalah lama--no, Sayang. Selama Ma masih hidup, kau punya ksatria wanita di sini, oke?"
Apo pun terkekeh karena kecerewetan sang ibu. "Iya, Ma. Aku yakin kali ini baik-baik saja," katanya. "Ya, walau lama-lama kepikiran juga. Karena sejak bersamaku, Phi mendadak dapat banyak masalah. Dia sakit tapi masih kerja di rumah, kadang juga ikut menjaga ketiga baby--umn, apa ya ... aku ingin melakukan sesuatu untuknya juga."
Miri pun terdiam lama. Dia tahu Apo tidak berbohong, tapi heran saja karena hubungan dua orang ini ternyata masih berjarak. "Sejujurnya Ma sudah mengira Nak Takhon itu orang yang kaku," katanya. Lalu melirik sekitar. Untung meja mereka termasuk privat, tapi hiasan dinding masih ada corak bolong-bolongnya. Wanita itu pun tetap waspada, bahkan sampai memelankan suara untuk topik yang kali ini. "Apalagi keluarganya. Mereka itu tipe yang sering tertutup. Aristokrat jadi agak menakutkan. Dan kalau ada pertemuan formal sekali."
Apo pun mendengarkan sambil mengiris-iris dagingnya. "Ya, aku tahu. Lagipula Phi seniorku waktu kuliah dulu," batinnya.
"Saat rank bawah saja tidak terasa, apalagi sudah di atas," kata Miri. Lalu mengingat masa suaminya bekerja di masa lalu. "Mereka seperti hilang dari peredaran, Sayang. Karena hampir tidak pernah ada masalah, tapi tahu-tahu masuk 10 besar."
Kali ini Apo mengernyitkan kening. "Maksud Ma waktu aku masih sekolah?" tanyanya coba memastikan.
"Iyes. Kan waktu itu seniormu itu belum terjun juga," kata Miri. "Dulu mereka pun tidak pernah masuk di rank atas. Palingan 15 besar saja bagus. Tapi tiap naik memang tidak pernah turun lagi."
"...."
"Seperti 15 ke 14, kemudian tahun berikutnya jadi 13," kata Miri. "Atau bertahan 13 selama beberapa tahun. Baru naik ke 12 dengan kolega yang tidak banyak." Wanita itu mengetuk-ngetukkan sumpitnya demi mempergakan. "Kau belum tahu kan? Beberapa orang sempat menganggap mereka sombong. Soalnya waktu di bawah saja begitu. Jadi tidak banyak yang tertarik bekerja sama."
"Oh ...." desah Apo mencoba mencerna. "Tapi menurut Ma sendiri bagaimana? Apa mereka ada sesuatu?" katanya dengan menekankan kata terakhir.
Miri tampak berpikir sejenak. "Hm, soal itu Mama juga sempat berprasangka," katanya. "Bagaimana pun pebisnis seperti mereka jarang sekali. Tapi mungkin ini soal etos kerja saja." Apo pun memperhatikan saat ibunya memasukkan daging-daging lain ke dalam mangkuknya. "Soalnya di awal hanya memegang RS, lalu tiba-tiba merambah ke lini bandara, terus sahamnya semakin besar--dan sekarang usahanya malah kemana-mana ...."
Apo pun menatap daging-daging yang bertumpukan. "...."
"See? Jadi mungkin selama puluhan tahun tersebut, keluarga Takhon sebenarnya hanya mencari gandengan yang solid," kata Miri. "Mereka tidak sembarangan menerima kolega, Sayang. Sangat pemilih dan hati-hati, jadi ketika sudah di atas kokoh."
Apo kini mengerjap kepada ibunya. "Maksud Ma rivalnya dulu sekarang jadi sungkan mendekat, begitu?" tanyanya coba memastikan.
"Yea, of course," kata Miri. "Atau justru menaruh benci," imbuhnya. "Karena karakter mereka memang begitu, jadi mau menembus dalamnya pusing. Toh memang agak susah dimengerti."
"Oh ...."
Dengan sumpitnya, kini Miri menunjuk puteranya sendiri. "Lihat? Ma yakin kau pun sekarang merasakannya," katanya. "Jadi, coba jujur saja kepadaku, Sayang. Selama ini sejauh mana hubunganmu dengannya?"
DEG
"Eh?"
Suara Miri semakin pelan. "Kalian sudah pernah melakukannya?"
DEG
Apo refleks membuang muka merahnya. "T-Tidak, Ma. Belum sampai begitu juga," katanya, meski jantung sudah kelojotan tak terkendali. "Tapi, umn, pernah hampir, sih ... cuman Phi waktu itu harus berangkat bekerja. Jadi dia langsung pergi begitu saja."
"--kan? Padahal kalian sudah serumah berapa lama."
Apo pun mengutak-atik dagingnya bingung. "Apa aku sebenarnya tidak cukup menarik, Ma?" gumamnya pelan. "Atau Phi diam-diam terbebani karena aku sudah punya baby?"
Kali ini Miri malah ikutan bingung. "No, Sayang. Siapa bilang begitu? Kau putera Ma yang paling menawan dari Omega mana pun, oke? Jangan pernah merendahkan diri sendiri seperti barusan," katanya. Kali ini benar-benar kedengaran tegas.
"Tapi, Ma ... aku tidak mungkin menanyakannya juga ...." kata Apo yang kehilangan selera makan. Dia tampak sedih karena topik ini mendadak dibahas, padahal selama ini berusaha tidak memikirkannya. Tapi kalau Ma yang bilang, mana mungkin aku melarang? Ya Tuhan ....
"...."
"Mama muss wissen, was ich meine, oder?" kata Apo tidak kalah tegasnya. "Hubungan kita baik saja aku sudah bersyukur. Apalagi Phi juga masih sakit." (*)
(*) Bahasa Jerman: "Mama paham maksudku, kan?
Miri pun menghela napas panjang. "Ya ampun, aku jadi ikutan galau seperti anak-anak muda," keluhnya sambil memijit kening. Sebab wanita itu paham keluarga Takhon bagaimana, jadi sempat tenang saja saat Apo melarikan diri ke sana. Hanya saja, hmm ... kenapa bisa separah ini? Padahal puteranya sudah menikah--jadi, hei, kemana pengalaman Apo setahun lalu? Miri benar-benar tidak habis pikir.
"Maaf ...."
Miri hanya geleng-geleng melihat ekspresi Omega kesayangannya. "No, no. Kau tidak perlu sampai begitu. Toh bagus juga kalau dia hanya menjagamu," katanya. "Ma jadi tenang karena kuanggap ini relasi baik. Jadi, nanti lebih santai saat bicara dengan orangtuanya."
"Umn."
Sore itu, pukul 5. Apo memandu ibunya menyetir ke rumah Paing. Mereka pun disambut oleh jejeran pelayan seperti rumah sendiri. Dan persis dengan perkiraan Miri, pertemuan mereka berjalan baik. Bahkan ketiganya sempat bercanda juga (ya, walau Miri heran karena baru sekarang melihat Thanawat dan Sanee melucu). Sebab wajah bekerja mereka tidak sama dengan yang di rumah. Jadi, ini memang terasa sekali bedanya.
"Oh, halo ...." sapa Paing yang baru keluar dari ruang praktik medis. Alpha itu sepertinya usai mengganti perban. Sebab Dokter Ye juga mengkori dari belakang. "Sudah lama di sini, Oma? Maaf, aku malah baru tahu ...."
Mereka pun melanjutkan obrolan hingga pukul 8, sempat makan malam bersama, tapi Miri pamit pulang saat ditawari menginap. "Hihihi, tidak, terima kasih. Aku harus menunggui rumah karena abu suamiku di dalam," katanya. "Lagipula puteraku sepertinya baik-baik saja. Kapan-kapan aku akan berkunjung ke tempat kalian juga. Sampai jumpa."
"Sampai jumpa ...."
Apo, Paing, Thanawat, dan Sanee yang berdiri di teras rumah pun membalas lambaian wanita itu. Mereka menggendong triplets kecuali Paing, lalu kembali masuk untuk menidurkan ketiganya.
"Sepertinya mereka senang karena dikunjungi neneknya. Hihihi, makanya bisa tidur secepat ini," kata Sanee saat menidurkan triplets ke ranjang bayi satu per satu.
"Iya, Oma. Bisa jadi," kata Apo, yang membantu wanita itu menata selimut. "Tapi apa Oma besok bener-benar pulang? Sama Opa?"
"Iya, maaf ya," kata Sanee. "Kami kan harus stand by membantu Paing dari belakang. Setidaknya 3 bulan hingga lengannya benar-benar sembuh." Suara wanita itu mendadak pelan saat berbisik. "Bilang Ma-mu harus hati-hati juga selama di rumah. Jangan pernah lengah dengan penjagaan, oke? Bodyguard harus dimana-mana. Situasi kita sekarang tidak benar-benar bagus."
DEG
"Ah, iya ...."
"Sip. Kalau begitu kami istirahat dulu, Sayang. Maklum sudah tua jadi suka pegal meski belum larut. Hehehe."
"Umn. Good night."
"Yup, night-night."
CKLEK!
Begitu pintu tertutup, dan para baby tidur semua ... mendadak Apo pun merasa sepi. Paing juga sulit diganggu karena mempersiapkan dua acara besarnya. Jadi, sisa waktu memang sungguhan berharga.
...
....
Namun, aneh ... semakin keras Apo menekan diri sendiri, dia malah makin kepikiran dengan obrolan tadi siang di resto--memang mau sampai kapan begitu? Pikir Apo. Mungkin tak ada salahnya bertemu Phi sebentar saja?
Tok! Tok!
Cklek!
"Phi?" panggil Apo. Lalu menilik Paing yang mondar-mandir di ruang kerjanya.
"Ya? Sebentar ...." sahut Paing sambil mengembalikan map hitam ke dalam rak. Alpha itu masih memunggungi Apo beberapa saat. Barulah berbalik setelah mengecek nomor urut tatanan file-nya. "Apa ada masalah, Apo? Mungkin ada yang bisa kubantu?"
Apo pun melirik jam dinding sekilas. "Apa Phi benar-benar sangat sibuk?" tanyanya. "Maksudku, punya waktu untukku sebentar saja?"
Paing pun diam sejenak, tampak berpikir, lalu berkata pelan. "Tentu, why not?" katanya, walau masih tampak bingung. "Just tell me Apo. Apapun. Maaf kalau akhir-akhir memang hectic sekali--"
"Termasuk untuk mencium orang yang kucintai?" sela Apo.
DEG
"Apa?"
Apo pun menutup pintu di belakangnya perlahan-lahan.
"Aku benar-benar bermasalah dan merindukannya seharian ini."