webnovel

S2-3 WHEN WE'RE APART

"A choice with no regrets. You'll

strong if you know the path you set."

[ANGELIC DEVIL: The Crown]

Sejak awal, Apo sudah mewanti-wanti tentang penyakit sang Ayah jika kembali bekerja. Lelaki itu punya jantung lemah, tetapi bisa bertahan selama ini. Apo sendiri lupa karena terdistraksi dengan banyak hal, sayang kali ini sungguh tak bisa.

Pusat dunianya benar-benar kembali. Apo langsung balik arah ke RS Bumrungrad Internasional Hospital, padahal tadinya akan mengecek kantor. Hatinya penuh dengan berbagai masalah, sehingga yang terasa hanyalah hambar. Dia mungkin bisa menahan tangis kalau soal pekerjaan, setidaknya hingga di tempat privat. Namun kalau sudah menyangkut orangtua--Apo lemah.

Dengan air mata yang turun, Omega itu berlari begitu tergesa-gesa. Mulai sejak masuk RS hingga keluar dari lift. Kegugupannya membuat orang-orang di sekitar tertular, bahkan berteriak khawatir padanya.

"Tuan! Tuan! HATI-HATI!"

BRAKH!

"PA!"

Namun, Apo tetap memburu UGD tempat ayahnya sekarang ditangani. Napasnya tersengal-sengal saat sudah sampai depan pintu, tapi tidak boleh masuk. Dia ditahan dua suster lelaki, sehingga hanya bisa memandang sang Ayah berbaring dengan selang-selang yang terpasang di tubuh. Kedua mata lelaki beruban itu tertutup. Dokter berusaha kembalikan napasnya yang hilang, dan itu adalah detik-detik berharga.

Denyut jantung yang kemunculannya tidak menentu. Kadang hilang, atau ada beberapa detik. Tapi sekarang hilang kembali. Elektrokardiogram di sisinya jadi fokus mata Apo, tapi sang Omega tidak mendapatkan apa-apa. Hanya garis lurus saja. Sangat lama. Bunyinya "Tiiiiiiiiiiiit ...." panjang yang memeras hati, sehingga dia sempat melemas.

Apo pun menangis dalam rangkulan dua lelaki berseragam ini, dia sudah tak peduli lagi. Apakah orang-orang di sekitar melihat wajah paling rapuhnya selama ini.

"NO! TIDAK! PA!" teriak Apo dengan wajah memerah. "PA! Please! BANGUN, PA! BANGUN!"

"Tuan! Tolong tunggu hingga prosedurnya selesai!"

BRAKH!

"BRENGSEK! TIDAK AKAN!" teriak Apo yang terus ingin mendobrak masuk. "MINGGIR KALIAN SEMUA! AKU INGIN BERTEMU AYAHKU!"

Dari dinding kaca yang transparan, dokter dengan kening berkeringat sudah geleng-geleng. Dia melepas alat resustasi jantung, lalu meminta susternya mencatat waktu kematian. Katanya, "Pukul 22:57 malam ...." yang diangguki dengan cekatan. Lalu mereka menghela napas lelah.

Sudah berakhir kehidupan lelaki bermarga Wattanagitiphat itu, sampai-sampai Apo tidak menyadari ibunya duduk di kursi tunggu. Menangis sendirian meskipun tanpa suara. Miri bilang, dia sendiri tidak tahu kondisi sang suami turun drastis. Sebab saat makan malam semuanya normal, tapi tidak setelah menerima telepon, lelaki itu ambruk ke lantai. Mungkin, kabar soal rank perusahaan turun itu sudah dia dengar lebih dulu. Man pun kecewa kepada diri sendiri, mungkin juga merasa bersalah.

"TIDAAAAAK! TIDAAAAK! PAAAA!" teriak Apo hingga dia kelelahan sendiri. Begitu dibiarkan masuk, Apo pun menghambur untuk memeluk ayahnya. Dia mengguncang-guncang tubuh kaku itu, tapi tak ada perubahan. Oh, Tuhan. Kenapa mendadak sekali? Rasanya seperti mimpi. Apo bingung karena ini mustahil baginya, tapi justru merupakan fakta. "Pa ... hiks ... h

Pa ... Pa .... aku benar-benar minta maaf. Aku benar-benar sayang Pa. Tolong kembali padaku ...." lirihnya. Apo pun menyeruduk dada Man dengan keningnya. Lalu menciumi wajah pucat itu.

Sejak kapan?! Tuhan ... sejak kapan Man terlihat sehampa ini. Apo bahkan jarang bertemu dengannya sejak mulai menggantikan. Kini berkeluarga pun Apo masih membebani masa tua-nya. Apo ingat, Miri pernah telepon kalau Man merindukan cucu-cucunya. Lelaki keriput itu ingin menggendong mereka sesekali, tapi hanya bisa lihat dari foto ponsel.

Kesibukan terlalu heboh memburunya. Setiap hari Man harus berkeliling perusahaan, mengecek pabrik kota satu ke kota lain agar Mile tak kewalahan. Dan itu membuatnya tenaganya terkuras. Dia yang terkadang membawa alat medis bantuan. Sesekali ambruk, tapi Apo belum bisa bantu. Apalagi ketiga baby butuh perhatiannya selalu.

"Tidak apa-apa kok, Sayang. Pa sudah senang asal bisa lihat mereka saat resepsi," kata Man dari via video call. Dia tersenyum, tapi matanya berkaca-kaca. Lalu mendo'akan pernikahan Apo penuh keberkahan. "Kau jangan khawatir atas suatu hal yang sudah Pa khawatirkan. Fokus saja dengan keluargamu. Rawat Ed, Er, dan Kay baik-baik. Jaga juga suamimu. Dia kelihatannya stress akhir-akhir ini."

"Iya, Pa. Terima kasih ...." kata Apo yang waktu itu sempat sakit lama. Dia mengusap pipi basah dengan lengan, lalu disemangati lelaki itu.

"Ya sudah, cepat sembuh," kata Man sambil tersenyum. "Pa baik-baik saja di sini." Tatapannya seolah-olah membuat Apo menyusut jadi bayi kembali. Dan itu membuat Apo makin terisak. Tentu setelah panggilan berakhir. Dia tidak ingin Man semakin sedih, apalagi Mile berada di luar negeri.

"Pa ... Pa ... Pa ... Pa ... Pa ...." sebut Apo terus menerus. Duka-nya terlampau dalam. Menusuk dada hingga batinnya kaku, sehingga tidak merasakan Miri yang memeluk dari belakang.

Wanita itu bilang, "Sudah, Sayang. Ayahmu harus beristirahat. Dia pasti hanya butuh tidur sebentar ...."

"No! Pa ....!" kata Apo. Logikanya terlampau tajam untuk dibohongi, walau hal itu makin menggamparnya berkali-kali.

Apo pun duduk sepanjang malah di sisi sang Ayah sampai tertidur. Dia tidak memperbolehkan tubuh itu digeladak menuju ke ruang mayat. Melainkan memeluknya terus menerus. Kalau saja Apo bisa, dia ingin meminta maaf sekali lagi. Pikiran gila bahkan sempat masuk dalam kepalanya, dimana masa lalu mungkin bisa diulang.

"Aku harusnya tidak pernah menikah ...." lirih Apo sambil meremas selimut Ayahnya. "Aku harusnya memilih Pa saja. Kumohon jangan tinggalkan aku ...."

Suaranya Omega itu sangatlah serak. Campuran sengau sangat memilukan telinga, sampai-sampai Mile hanya terpaku menatap dia.

Alpha itu berdiri tepat di belakang Apo. Pukul 3 dia baru menyusul, karena baby triplets memang sangat-sangat rewel. Dia ingin sekali meraih Apo, tapi tangannya hanya terkepal. Entah kenapa rasanya berat. Mendengar Apo menyesal karena terlanjur memilih, Mile seakan disadarkan dia tak seharusnya ada di sana.

"Kau mau menasihatiku juga? Katakan saja. Mumpung telingaku masih utuh."

"Aku senang kau masih baik-baik saja."

PAKH!

"Aku tak masalah kalau bocah ini gagal. Dia mengganggu pekerjaanku."

"Apo ...."

"Aku bukan kau yang punya saudara, Mile. Kakakmu kecelakaan, masih ada kau yang kuat menggantikan. Aku ini anak tunggal! Tunggal! Ayahku juga punya jantung lemah. Aku tidak mau membebaninya dengan bermanja setiap detik. Jadi, kau tak bisa memaksaku."

Akhirnya, Mile pun duduk di sebelah Apo menggantikan Miri. Ibu mertuanya itu pamit untuk mengurus administrasi, termasuk jadwal kremasi-nya nanti. Dia harus kuat meski langkahnya terseret-seret. Karena hari ini merujuk hasil bom waktu.

"Kenapa aku harus sekaget ini?" batin Miri sambil mengusap air matanya. "Padahal dia sudah memintaku bersiap sedari lama ...."