webnovel

S2-17 NOT A SAINT

"I'll never let the color of beautiful flower fade."

[ANGELIC DEVIL: The Crown]

"Ah, mm ...." Apo pun segera berbalik. "Terima kasih, Phi. I'm ok. Jangan khawatirkan apapun."

"Really?" tanya Paing. Mendadak menjauhkan kunci mobil Apo. Sumpah baru kali ini, Alpha itu menolak mentah-mentah untuk percaya dirinya.

"...."

"Ini sudah berapa bulan sejak hari itu. Tapi kau masih mimisan," kata Paing. Dia tahu karena ditelpon Bible terkait kalung siang tadi. Apalagi pas Apo konsul darahnya. "Seharusnya tidak setelah resep pertamamu habis. Dosisnya cukup, Apo. Kecuali stress-mu berlanjut lagi."

Kelopak mata Apo pun turun. "Maaf, tapi ... Phi mungkin bukan orang yang berhak tahu."

DEG

Paing pun terbisu. Dia langsung paham duduk perkaranya. Tapi, kali ini tidak tinggal diam. "Sebelumnya tolong jangan salah paham, tapi Phi tidak pernah menganggapmu lemah," katanya. "Karena itu, aku sempat berpikir kau bisa menyelesaikannya sendiri."

"...."

"Hanya saja, boleh sekarang Phi agak egois?" kata Paing. "Karena aku tidak melihat suamimu berpikir jernih."

Apo pun melirik sekitar yang agak ramai. Orang-orang mungkin tak peduli apa yang mereka katakan, tapi Paing mengeluarkan feromon gelapnya ke udara. Dia seperti ingin menghancurkan sesuatu, sampai-sampai beberapa orang menyingkir.

Tidak boleh, jangan, Pikir Apo. Dia pun tak membalas perkataan Paing, tapi datang untuk menggandengnya pergi.

"Apo--"

"Tolong ikut aku saja," kata Apo dalam hati. Kedua matanya menyiratkan isyarat, dan sang Alpha pun takluk. Dia membiarkan Apo menuntunnya memutari restoran. Lewat trotoar sekitar 10 meter. Barulah duduk di kursi taman yang panjang.

"Hahhh ... aku benar-benar minta maaf," kata Apo. Lalu menunduk sambil memegang kepala. Dia tampak sangat kalut, apalagi adegan di kantor terputar lagi. "Faktanya, akulah yang terus terusan membebanimu, Phi. Padahal aku tidak seharusnya seperti ini."

"No, Apo. It's ok. Aku posisinya memang orang lain. Kau bebas berlaku seperti itu--"

"Tidak, ini soal yang di rumah Phi Nodt," kata Apo. Masih tidak sanggup menatap sang Alpha. "You do everything for no thought, Phi. For me. For Mile. Dengan alasan menyukaiku, tapi tidak hanya memikirkanku."

"...."

"Kau peduli kami berdua, Phi. Bahkan Kaylee, Er, dan Ed juga," kata Apo. "Tapi, kenapa tidak jujur dari dulu-dulu? Ich frage mich, woraus gott dein herz gemacht hat. Tapi sialnya malah jatuh padaku." (*)

(*) Bahasa Jerman: Aku penasaran Tuhan membuat hatimu dari apa.

"Apo, nein ...."

"Terus ... kenapa tidak jadi brengsek saja? Maki suamiku, Phi. Kalahkan dia. Lalu rebut aku darinya. Mudah, kan? Biar aku bisa cepat membencimu," kata Apo. Kali ini menoleh pada sang Alpha dengan mata terluka. "Biar aku--hks ... berpikir--k-kau ini tidak pantas karena kalian sama saja ...."

Apo yakin, Paing punya kemampuan lebih untuk mendebatnya dengan kata-kata. Namun, Alpha itu justru menyodorkan sapu tangannya.

Lagi-lagi. Dan ini sudah kedua kali. Bedanya, waktu itu Apo pikir kepedulian Paing hanya sebagai teman. Jadi, dia takkan terlalu terbebani. Namun, kini pandangan Apo berbeda. Paing adalah seorang Alpha. Pria dewasa. Sudah ada dalam kuasanya, dan bukan sekedar rekan dari masa lalu.

"No ... tidak mau ...." kata Apo. Memilih mengucek matanya dengan jemari. Toh air matanya belum keluar seperti hujan. Dia pasti bisa menahannya, karena ini merupakan tempat umum. "Aku tidak boleh menyukaimu ... Oh, Tuhan. Phi sollte wissen, dass ich verwirrt bin? Mach es nicht schlimmer." (*)

(*) Bahasa Jerman: Phi ini paham tidak kalau aku sedang bingung? Jangan membuatnya semakin parah.

Namun, bukannya tersinggung ucapan Apo, Paing malah menahan senyum saat memasukkan sapu tangannya kembali. "Oke, oke. Sorry," katanya geli. "Tapi, mungkin karena aku bosan pujian. Jadi, susah percaya dengan perkataan orang-orang."

"Hmm?"

Apo pun menoleh, tanpa sadar ekspresinya berubah amat menarik.

"Ya, you know ... para penjilat itu banyak sekali," kata Paing. Mendadak Alpha itu berubah santai, dan dia menatap ke langit malam. "Ada yang banyak maunya. Ada yang malah sarkastik. Jadi, seringnya kubalas terima kasih."

"Oh ...."

"Tapi yang barusan terdengar jujur sekali, I like it," kata Paing dengan senyum bangga. Bahkan eskpresinya sedikit jahil, sampai-sampai Apo menahan malu. "Kau Omega dewasa dengan inner child, Apo. Manis, lucu, menggemaskan ... wajar kalau suamimu tak ingin melepas."

DEG

"Eh?"

"Apa perkataanku benar?" kata Paing dengan seringai kecilnya. "Apalagi kalian sudah punya tiga bayi imut-imut. Ha ha ha ... kalau pun aku jadi dirinya. Mana mungkin kuberikan pada orang lain. It's hard. Sampai-sampai memanggilku berhadapan pada waktu itu."

Gantian Apo yang mendengar khidmad kali ini. "...."

"Hm, maaf kalau kau agak terkejut. Tapi aku tahu kau di sana saat kami bicara," kata Paing. "Astaga, dasar ... kukira bayang-bayang jongkok itu apa. Ternyata Omega yang menguntit suaminya--shit. Ha ha ha ha ha."

Seketika, wajah Apo pun memerah. "Phiii ...."

"Serius, kalian ini pasangan yang imut, tahu? Aku sampai-sampai heran--dimana letak masalahnya. Padahal sudah serasi," kata Paing. "Apalagi pada waktu itu--pffft ... suaminya panik sendiri. Lalu mengadiliku yang tidak-tidak. Jadi--ha ha ... kupikir ... ya ampun. Siapa yang sebenarnya keliru? Aku pun mulai menebak-nebak, tapi tak mendapat jawaban hingga sekarang."

Perasaan Apo pun mulai ringan karena tawa itu. Namun, untuk beberapa alasan dia justru sakit melihat wajah Paing.

Karena seperti Paing yang paham dirinya, Apo pun bisa merasuki lelaki itu. Dia tahu, sang Alpha tengah menekan dirinya sendiri. Binar matanya tampak terluka. Namun, Apo yang sekarang tidak bisa mengabaikannya lagi.

"Phi ...."

"Hm?"

"Bisa ... um, bisa kau mengatakannya langsung padaku?" kata Apo. Suaranya memelan di akhir. "M-Maksudku, suka--" Ah, kenapa dirinya tiba-tiba gagap?! Apa yang sebenarnya terjadi .... "Aku hanya khawatir waktu itu salah dengar saja. Ya, siapa tahu drama bertumpuknya hanya karena salah paham? Aku kan mungkin--"

"Tidak, aku tak berhak mengatakannya ..." sela Paing. Alpha itu mendadak menatapnya dengan tatapan teramat dalam. Hingga Apo merasakan ngilu yang dirasa terbagi ke dalam hatinya. "Karena kau bukan milikku, Apo. Maka apapun yang kulakukan, peranku selalu salah sampai kapan pun."