"Terkadang ketidakberdayaan bukanlah disebabkan takdir yang menghancurkanmu. Namun, meski kau berpikir mampu mengubah arah, pada akhirnya justru memilih untuk tidak melakukannya."
(Paing Takhon)
***
SELAMA sehari penuh, Paing pun menemani Yuzu untuk melakukan wisata kecil-kecilan. Dia dimonopoli sang adik kemana saja. Barulah pukul 10 malam setelah nonton semua itu berakhir.
"Hahh ...." desah Paing dengan napas yang berat. Kelelahannya pun semakin terasa. Sebab seharian bukan hanya tenaga yang terkuras habis. Alpha itu harus menunjukkan banyak senyum untuk Yuzu agar tidak khawatir lagi. Belum lagi harus tahan untuk tidak mengecek arloji, meskipun ingin melipir pergi setiap detik. "Besok acaranya pukul 8 pagi, huh? Aku pasti tetap terlambat kalau berangkat sekarang ...."
Paing memang memikirkan hal ini diam-diam sejak diseret Yuzu pertama kali. Lelaki itu bahkan selesai memonopoli semua awak jet pribadinya pada pukul 10, walau tetap meminta maaf berkali-kali pada sang pilot. Belum lagi pihak bandara yang mengurus kendaraannya. Mereka pasti ingin mengeluarkan murka dari dalam dada, tapi sayangnya tak bisa. (*)
(*) Mayoritas jet pribadi bisa digunakan untuk penerbangan kapan saja, kemana saja, dan catatan kepergian (hari, tanggal, bulan, tahun, dan jam berangkat pulang) bisa dihapuskan agar tidak diendus kerahasiaannya oleh media. Biasanya ini dilakukan para pebisnis besar, kalau bukan kalangan artis dan sindikat mafia.
Kedudukan Keluarga Takhon terlalu tinggi sejak awal berdirinya Bandara Suvarnabhumi hingga saat ini. Mereka punya saham 60% di tempat itu, walau Paing sendiri tak menyangka dia memaksakan kehendak pertama kali. Setidaknya, sejak menjadi presiden direktur ...
Mungkin karena Paing kepikiran jika sungguh tidak hadir dalam resepsi Apo. Dia terganggu jika rencananya tidak berjalan, apalagi sudah mengosongkan jadwal untuk hari itu sedari lama.
Akhirnya, pada pukul 2 malam. Semua persiapan pun sudah selesai. Paing puas dengan kinerja mereka semua, walau para awak jet terlihat tegang saat menghadapinya.
"Tidak apa-apa, tidak apa-apa. Jangan terlalu kaku begini. Aku tidak sedang marah, tapi memang terburu-buru," jelas Paing saat melewati barisan berseragam hitam-hitam itu. Dia pun berebah sendirian di bangsal first class, lalu mengibaskan tangannya hati-hati. "Sekarang persiapkanlah keberangkatannya. Aku tunggu. Dan kalau bisa satu kali transit saja. Jadi kita langsung ke lokasi resepsi."
"Apa? Tunggu, Tuan yakin?" tanya seorang pramugari yang tampak tidak menyangka. Sebab perjalanan dari kota Bangkok ke Copenhagen akan menghabiskan sekitar 11 jam lebih non-stop, tapi perintah ini memang sepertinya tak bisa diganggu gugat. (*)
(*) Kira-kira Paing nanti sampai di sana pukul 2 siang, kalau lengkap dengan proses landing dan segala prosedur pemarkiran jet-nya.
"Hm, lakukan saja," kata Paing, lalu memejamkan mata. "Dan bangunkan aku jika sudah sampai ke sana. Jangan telat."
DEG
"B-Baik!" kata si pramugari gugup. Dia merasakan urgensi jelas dalam suara Paing, lantas segera undur diri dari tempat itu. "Permisi ...."
***
Copenhagen, Denmark.
SESAMPAINYA di Copenhagen, Apo paham kenapa orang-orang menyebut wilayah itu dengan"Kota Dongeng". Di sana para tamu melihat serba-serbi warna gedung, juga keunikan tata letak yang cukup memanja mata.
Oh, udaranya juga sangat bersih. Para penduduk tampak berlalu lalang diantara barisan toko dengan santainya. Dan semua tampak tertib damai, meskipun berada di tempat umum.
Menoleh ke kanan kiri, Apo merasa segar meskipun baru turun dari bandara. Dia tidak risih hanya karena keributan dari sekitar, malahan menikmatinya. Sesekali Omega itu tersenyum kecil karena senang, dan ekspresinya menular ke para tamu undangan. Mereka berbaris urut dari belakang. Lalu masuk ke metro bergerbong 22 unit yang sudah disewa Mile Phakphum.
Hm, perjalanan lancar-lancar saja hingga saat ini. Mereka hanya butuh 20 menit untuk ke peron yang berikutnya. lalu dibiarkan istirahat hingga pagi. Semua berkumpul di hotel "Royal Nimb Copenhagen", yang berdiri megah layaknya istana.
Warna putihnya sempat membuat Apo terpesona beberapa saat, belum lagi saat pagi sudah tiba. Dia pun menatap bayangan pantulan hotel di air kolam, walau tidak bisa lama-lama.
"Apo, Sayang ... ayo masuk," kata Mile di ambang pintu. Alpha itu tampak tampan dengan setelan suit putih, sampai lupa kalau sosok itu sudah menjadi ayah sekaligus suami sendiri. "Kita sapa para tamunya di dalam. Lalu langsung ke viharanya."
Apo pun mengangguk pelan. "Oke, wait," katanya. Lalu ikut Mile masuk dengan menggandeng tangannya. Well, resepsi mereka memang bertema pure family. Para tamu undangan pun ikut menggunakan dresscode putih-putih itu. Siap menyaksikan sumpah suci pada pukul 8 pagi tepat.
Hm, sebenarnya tidak bisa disebut hari pernikahan juga sih. Apalagi sudah ada baby triplets. Namun, Mile dan Apo sudah tahu acara ini akan riuh, bahkan andai tak ada hiburan yang diadakan.
"Waaaahhh! Lucunyaaaa!"
"Siapa itu? Oh Tuhan, gemasss!"
"Namanya Kaylee, huh? Imuuut. Aku jadi ingin menamai puteriku ala barat juga."
"Boleh aku menggendongnya tidak, Tuan Natta? Please, please. Sekali saja, oke?"
Para tamu Omega pun mengerubuti Ed, Er, dan Kay bergantian. Mereka berebut menggendong, walau dilarang mencium. Sebab sayang kesehatan mereka kalau terkontaminasi macam-macam dari luar.
"Oeeeeeeeeeeee!!"
"Oeeeeeeeeeeee!!"
"Oeeeeeeeeeeee!!"
Jerit baby triplets yang akhirnya menangis. Mereka rewel sebentar karena terganggu tidurnya, tapi lalu tertawa-tawa karena banyak Omega di sana. Baby triplets sepertinya senang karena diajak bermain. Mereka juga responsif saat praktik "peek-a-boo" kecil-kecilan, barulah resepsi yang sebenarnya diadakan setelah itu.
"Ulululu, sayangku, tampanku, manisku ... sini-sini," kata para babysitter saat mengambil alih si kembar tiga. Mereka permisi menidurkan terlebih dahulu, karena semalam ikut bersemangat sampai sulit tidur dan ingin diajak bermain terus menerus.
"Dah Blau Errrr!"
"Dah Kayleee."
"Hati-hati, Edsel ...."
Para Omega pun melambaikan tangan sebelum ketiga baby dibawa pergi. Mereka tertawa keras karena Kaylee mendadak bersin, lalu Mile mengambil alih acara itu.
"Baiklah, selamat pagi semuanya," kata Mile dengan senyuman yang karismatik. Sang Alpha kini menangkupkan tangan. Lalu diikuti Apo yang berada di sebelahnya.
"Selamat malam juga ...." kata Apo sama cerahnya.
"Pertama-tama kami berterima kasih atas kehadiran kalian," kata Mile. "Ini adalah hari yang luar biasa, meskipun dengan tiga bayi acara resepsinya memang bisa dibilang terlambat--ya, setidaknya aku tepat waktu untuk mendapatkan yang satu ini," tegasnya sambil menyenggol pelan lengan Apo.
Tamu-tamu pun tertawa dengan lelucon Mile Phakphum.
"Hm, kalau dariku ada permintaan maaf," kata Apo yang mulai angkat bicara. Dia berusaha mengendalikan ekspresi, walaupun rasanya ingin tersenyum lebar selalu. "Beberapa dari kalian mungkin ingin lebih lama dengan bayi-bayiku, tapi pastinya tetap kularang." Lelaki Omega itu memandang Mile dengan ekspresi yang susah diatur datar. "Karena apa, menurutmu, Mile?"
"Hm? Mungkin akan sulit patuh sepertiku dulu?" kata Mile. "Jam tidur saja berani dilanggar sejak dini, apalagi hal penting seperti menghargai kami orangtuanya."
Lagi-lagi para tamu tertawa dengan satire yang gelap itu.
"Iya, sih. Memang tidak mudah menghadapi para prajurit cilikmu," kata Apo seolah ingin mempermalukan diri sendiri. "Tapi, meski perjalanannya masih panjang, kami tidak ingin gagal mendidik mereka sebagai tim hebat."
"Benar."
"Kami mengharapkan keluarga yang besar dan utuh, jadi kalian pun akhirnya dibawa ke tempat ini," kata Apo. "Karena itu, terima kasih ...."
"Karena itu, terima kasih ...." sahut Mile dalam waktu yang bersamaan. Mereka lalu menghormat pada wajah-wajah yang memperhatikan, barulah sang Budha yang altarnya dibangun megah di dalam sana. "Kami bukanlah apa-apa tanpa bantuan serta kesaksian orang-orang terdekat kami."
Setelah mengheningkan cipta dengan jernang dupa yang mengepul, Mile dan Apo pun diresmikan paten di tempat itu. Mereka mengucapkan sumpah suci yang sempat tertunda, walau secara negara sudah terjadi sejak lama.
"Apo Nattawin Wattanagitiphat," kata Mile sembari membawa buku pernikahannya. Mereka kini berhadap-hadapan, juga ditemani seorang biksu yang berdiri di dekat sana. "Di depan altar Budha yang suci, aku memilihmu sebagai istriku. Dan berjanji selalu setia, mencintai, dan menghormati seumur hidupku."
Woaaaaaaaaaaaaaaaah! Inginnya sih para tamu berteriak, tapi mereka harus tetap tenang hingga Apo yang merona balas menjawab Mile Phakphum. "Mile Phakphum Romsaithong," katanya. "Di depan altar Budha yang suci, aku menerimamu sebagai suamiku, dan berjanji selalu setia, mencintai, dan menghormati seumur hidupku."
Para tamu pun bertepuk tangan disertai jepretan cepat kamera. Ckrek! Ckrek! Ckrek! Ckrek--Mile dan Apo kini bertukar cincin nikah yang baru lagi, lalu didentingi lonceng dari si biksu.
Mereka sedang diberkati. Diantara hamburan kelopak bunga dan segarnya parfum ruangan, segala prosesi pun selesai dengan cepat sekali.
Prok! Prok! Prok! Prok! Prok!
"Selamaaaaat! Phi Apooooo!" jerit Nayu yang paling heboh diantara siapa pun. Dia bertepuk tangan hingga yang lain ikut berdiri, sehingga ruangan itu auto riuh dan terasa sangat menyenangkan.
Setelah acara sakral itu berlalu, Mile dan Apo pun berfoto dengan beberapa rekan kerja penting. Mereka membagi momen itu bersama, tersenyum lebar, lalu membawa para tamu untuk pesta perayaannya di gedung lain.
Seperti pernikahan pasangan bisnis pada umumnya, mereka pun melakukan itu dengan khidmad. Selain suasana kekeluargaan, juga ada lebih banyak basa-basi profesional agar hubungan baik yang dimiliki tetap ada.
"Selamat, Apo ...." kata Pin dengan pelukan sekilas. Senyum Omega itu mengembang cantik. Juga terlihat hebat meski ada kerapuhan di dalam matanya. "Kuharap suatu hari nanti aku juga menyusul."
Apo pun balas memeluk dengan lebih erat lagi. "Iya, Phi. Semangat," katanya. "Terima kasih juga sudah setia di sisi keluarga, meskipun ada banyak hal yang terjadi."
"Hm, tentu," kata Pin. Lalu gantian memeluk Mile Phakphum. "Tolong selalu kuat untuk menjaga kami semua, ya." Dia menepuk-nepuk sayang punggung tersebut. "Dan aku sangat bersyukur melihatmu sampai sejauh ini."
"Hm, sama-sama, Phi," kata Mile. "Ketahuilah aku sudah beda dari saat pertama kali pulang. Semua ini benar-benar kulakukan dengan senang hati sekarang."
"Syukurlah ...."
Beberapa saat kemudian, suasana tenang itu pun hilang karena show time dimulai. Ada beberapa penyanyi kelas internasional yang muncul untuk memeriahkan acara, hingga mata-mata tamu sedikit tegang ketika mereka keluar satu per satu.
DEG
"Woaaaaah, Phi Jeff, demi apa!" pekik Nayu sambil menutup mulutnya. Hebatny, kali ini suaranya tak bisa keras-keras. Dia refleks jaga sikap begitu baik, karena idolanya lah yang pertama kali menyapa. "Ya ampun, itu sungguhan Taylor Swift! Taylor! Taylor! Astaga--Phi Mile pasti sudah gila! Dia mengundang Taylor kemari! Aaaaaaaaaaaa."
Plak! Plak! Plak! Plak!
Jeff yang pahanya jadi sasaran tampar pun hanya pasrah saja. "Aduh, aduh, aduh ... hei, tenang," katanya dengan menahan tawa. "Bukannya kau sendiri yang bilang koneksi Phi Mile dari dunia entertainment? Kenapa sekarang malah heran sekali?"
"Aaaaaa! Iya, tapi kan--gilak! Dia Swift! Uwu! Aku harus dapat tanda tangannya nanti!"
Plak! Plak! Plak! Plak! Plak!
"Halo, semuanya," sapa Taylor Swift dengan senyum khas di wajah. Dia menoleh kepada Mile dan Apo sejenak, lalu mengerling kepada pasangan favoritnya itu. "Halo juga, Mile. Ha ha ha. Tidak kusangka aku mendapatkan kesempatan kemari juga. Selamat dan terima kasih sudah jadi saudaraku."
Penyanyi Alpha itu pun membawakan lagu-lagu romantis andalannya. Dia menggemparkan panggung pertama kali, tapi itu masih belum apa-apa.
Berikutnya ada lagi yang menyusul dengan karya-karyanya. Seperti Katty Perry, Moana, Selena Gomez, Sam Smith, juga dua violinist selebrita bernama panggung Daniel Jang serta AMoney. Mereka memainkan duet cover "My Heart Will Go On," untuk sesi dansa. Dan itu merupakan penampilan live paling keren setelah mereka membuatnya booming di YouTube beberapa tahun lalu.
"Mau berdansa juga denganku?" tawar Mile setelah para tamu lebih dulu turun ke ballroom. Mereka kini mengosongkan kursi masing-masing. Lalu dan menikmati rangkaian acara paling romantis tersebut.
"Hmph, aku ini tidak bisa melangkah lembut," kata Apo dengan nada bercanda. "Salah-salah nanti kau malah kuajak injak-injakan ...."
"Ha ha ha ha ha," tawa Mile. Meskipun begitu, dia tetap mengulurkan tangan. "Ayolah, coba saja. Aku hebat kalau soal yang seperti ini."
"Oh, ya? Tapi kenapa niat sekali pamernya ...." Apo refleks menyipitkan mata. "Jangan-jangan diantara artis tadi juga pernah berdansa denganmu?"
Ketahuan, Mile pun terkekeh saja. "Ck, pernah tapi cukup jangan bahas saja," katanya. "Mereka semua adalah saudara-saudariku sekarang."
"Hmph ...." dengus Apo dengan menyambut tangan Mile. "Baiklah."
"Ikuti saja arahanku nanti."
Dengan pergerakan yang perlahan, Mile pun menggandeng Apo untuk ikut bergabung dengan yang lain. Mereka berhadapan untuk melakukan langkah kecil. Bertatapan, saling merengkuh santai. Lalu mengikuti alunan melodi yang mendayu-dayu di dalam ruangan.
Jdugh!
"Aduh, keningku!"
"Ha ha ha ha. Slowdown," kata Mile yang tetap mengendalikan alur pergerakan mereka. Apo pun bersungut-sungut, tapi tetap berusaha mencoba. Oh, Tuhan. Ini merupakan hari besar bagi keduanya. Apo pun benar-benar ingin mencoba berbaur. Menikmati. Bahagia. Lalu menatap kedua Mile Phakphum baik-baik untuk diingatnya hingga nanti tua.
Apo hanya tidak tahu, saat dia tertawa kecil seperti itu ... beberapa petugas WO baru saja mengawal langkah seorang Alpha dari lift di luar sana. Dia tampak sangat terburu-buru, berjalan tegas, lalu dipersilahkan duduk di meja kosong yang sejak awal memang disiapkan untuknya.
"Silahkan, Tuan. Ayo masuk. Mohon untuk duduk di sini ...." kata seorang pelayan WO sambil menyajikan segelas wine di hadapannya.
"Oh, iya. Terima kasih, terima kasih," kata sosok itu segan. Dia adalah satu-satunya tamu yang tidak menggunakan dresscode. Paling berantakan dengan mata merah dan suit hitamnya, tapi bisa tersenyum paling tulus saat memandang pasangan pengantin di depan sana. "Jadi, ini benar-benar sesi terakhir," batinnya lelah. "Oh, tidak masalah. Setidaknya aku bisa mengatakan selamat nantinya."
Bersambung ....