BAB 24
HAMPIR pukul 9 malam, Mile baru selesai dengan rapat dadakannya. Lelaki itu menatap barisan kursi di hadapan seorang diri, lalu mengusap kedua mata yang lelah.
"Apo ...." desah Mile, lalu membuka ponsel yang sejak tadi di-silent dalam saku.
[Istriku: Mile, kalau kau pulang, aku mungkin tidak di rumah]
Sudah, begitu saja. Tidak ada keterangan apapun seperti biasanya. Dulu, chat tanpa emosi Apo memang agak menjengkelkan. Namun, kali ini Mile tenang karena bisa bertanya pada sopir atau bodyguard yang mengawal lelaki itu.
"Halo, Wan. Ya, ini aku. Dimana istriku sekarang?" tanya Mile begitu teleponnya diangkat.
Si sopir kemungkinan di tempat yang ramai orang. "Oh, Tuan Mile. Kami sekarang ada rumah sakit," jawabnya.
DEG
"Hah? Kenapa?" Dari lelah dan kantuk, Mile auto duduk tegak di kursinya. "Ada sesuatu yang terjadi di rumah?" tanyanya dengan wajah tegang. "Aku pulang sekarang--"
"Ah, tidak ada kok. Tuan Natta hanya mengantar putera-puteri Anda untuk imunisasi," jelas si sopir langsung membuat Mile lega. "Anda tahu kan? BCG dan Polio 2. Khusus baby yang berusia 2 bulanan."
"Oh, baguslah. Ya ampun kukira apa," kata Mile sambil menggaruk rambutnya yang tidak gatal.
"Kata beliau ini saja sudah telat, Tuan Mile. Maksud saya yang fase pertama. Tapi tadi siang tidak bisa langsung karena Nona Pin ke rumah. Jadi ramai dan harus menemani hingga sore. Apa Anda lupa dengan jadwalnya?"
Mile pun memijit kening yang berdenyut-denyut. "Ahh, iya. Aku lupa. Aku benar-benar tidak memikirkan hal seperti itu," katanya. "Tapi semuanya baik-baik saja, kan? Di sini baru selesai. Sampaikan saja kalau aku akan pulang tiga puluh menit lagi."
"Baik, Tuan."
"Oke."
Mile pun cepat beres-beres seperlunya. Dia kembali ke ruang kerja untuk mengambil beberapa barang, tapi masih harus mampir ke beberapa toko. Satu toko aksesori, dua gaun untuk pesta resmi.
Pertama-tama, Mile harus mengambil custom perhiasan untuk Apo dan baby triplets. Satu kalung, sepasang anting, lalu dua gelang kembar berinisial E. Namun, dia juga tak mau berlama-lama di sana. Begitu sebuah paper bag diterima, Mile pun langsung meluncur ke toko lain.
Dia menunggu cukup lama kali ini, sebab gaun untuk Nayu ukurannya agak sulit, sementara si desainer perlu kejelian untuk memasang pernak-pernik di setiap jengkal.
Apalagi gadis itu ramping di bagian badan, tapi dada dan pinggulnya cukup besar. Jadi, karena belum sempat memberikan janji jalan-jalan, Mile memberikannya saja sebagai hadiah.
Toh, Nayu sendiri yang meminta untuk pesta kelulusan sekolahnya nanti.
"Maaf sudah lama menunggu," kata salah satu shopkeepeer. "Kami benar-benar berusaha menyelesaikannya dalam waktu seminggu. Agak susah. Tapi terima kasih telah order di sini."
Mile pun mengangguk dengan senyuman. Dia tidak pantas Mengadili karena bukan wanita, jadi mungkin memang pembuatannya serumit itu.
"Tidak apa-apa. Tapi sekarang sudah bisa kulihat?" tanyanya.
"Iya, Tuan. Lewat sini. "
Si shopkeeper langsung menggiringnya untuk masuk ke dalam toko. Di sana sebuah manekin mirip manusia dipakaikan gaun, dan Mile mengira-ngira apakah sudah sesuai gambar yang Nayu mau.
"Bagaimana, Tuan?" tanya si shopkeeper berusaha memastikan.
Mile mengangguk pelan. "Iya, sudah bagus. Bungkus saja langsung," katanya. "Kalau bisa berikan kartu memo di dalam kotaknya. Tulis kata-kata terima kasih saja. Kutunggu."
"Baik."
Mile pun duduk lagi untuk menunggu yang kesekian kali. Kakinya mengetuk-ngetuk begitu gelisah, apalagi arlojinya sudah menunjukkan pukul setengah 10 lebih. Oh, shit. Dia ingkar janji ucapannya sendiri. Padahal tadi perkiraan bisa pulang dalam waktu tiga puluh menit!
Apa Apo sudah pulang ke rumah? Mile benar-benar ingin mencium Omega-nya segera.
Drrrt ... drrrt ... drrrt ... drttt ....
Tiba-tiba ponsel Mile bergetar, dan ternyata itu dari Nayu.
[Nayu: Phi Mile, Phi Mile. Coba lihat yang satu ini! Sumpah aku tak sengaja tadi. Padahal niatku ke RS mau mengantar temanku yang lagi demam ....]
Sejenak kemudian, ponsel Mile pun bergetar lagi.
Drrrt ... drrrt ... drrrt ... drrt ....
[Nayu: send you a picture]
Kening Mile mengernyit sebelum membuka foto yang dikirimkan.
DEG
"Seorang Alpha? Siapa?" pikir Mile. Dia sempat gagal fokus dengan rambut panjang lelaki itu, apalagi tato di dadanya mungkin memenuhi tubuh di balik jas mewah yang dikenakan.
[Nayu: Sebentar. Ada lagi, Phi Mile. Tapi agak susah memotretnya dari tempat dudukku]
Tujuh detik kemudian, Nayu mengirim foto yang lain. Di sana Apo berdiri sambil menggendong Kay, tapi aneh tampak sumeringah saat mengobrol dengan Alpha tampan di depannya. Dia bahkan tertawa, sementara Alpha itu balas tersenyum.
DEG
"Tunggu, apa dia seorang kenalan? Apo tidak pernah cerita siapa pun selain Gulf yang waktu itu--"
Oke, sampai sini waktu terasa berhenti untuk Mile Phakphum. Dia benar-benar ingin lari dari sana sekarang, tapi masih harus menunggu pesanan datang.
"Tuan?" panggil seorang shopkeeper menyadarkan Mile dari lamunan. "Tuan Phakphum? Maaf, tapi ini sudah selesai."
DEG
"Ah, ya. Bagaimana?"
Mile pun refleks berdiri, sementara si shopkeeper tersenyum karena ekspresi lelaki itu. "Anda baik-baik saja?" tanyanya.
Mile pun terkekeh saja. "Ah, ya. Maaf. Tadi aku melamun sebentar," katanya. Usai membayar. Dia pun menginjak mobil dengan ganas agar segera pergi dari sana.
BRRRRRRRMMMMMMM!!!
***
"Ha ha ha ha ha, seriusan, Apo? Kau Omega? Kalau begini caranya aku jadi merasa kecolongan," canda Paing Takhon setelah melihat Apo menggendong baby Kay. Senior Apo di jurusan bisnis itu tampak senang melihat lidah Kay berkuluman, apalagi manik matanya balas memandang dengan cara amat menggemaskan.
"Memang kurang serius, bagaimana, Phi?" kata Apo. "Tidak lihat aku benar-benar menggendong dia? Dua saudara kembar Kay bahkan masih di dalam bersama babysitter mereka."
Paing pun menggeleng-geleng tak habis pikir. "Waaah. Gila! Kau bahkan melahirkan tiga sekaligus, ya? Sial. Kalau saja aku tahu kau Omega pasti sudah kepepet duluan. Ha ha ha. Beruntung sekali suamimu itu."
Apo hanya tertawa-tawa. Dia memang merindukan sosok Paing Takhon yang ceplas-ceplos dan easy going seperti ini, lebih-lebih baru pulang dari London setelah sekian tahun kuliah lagi.
Memang mau berapa kali S3? Paing bahkan tidak bosan merasakan bangku pendidikan selama dia belum dipanggil untuk menggantikan ayahnya di perusahaan. Namun, kali ini Paing benar-benar pulang.
Baru dua mingguan lalu, dan sekarang dia tengah survei RS Bumrungrad Internasional Hospital yang notabene adalah milik keluarganya.
"Hm, memang. Aku juga beruntung mendapatkannya," kata Apo. "Alpha-ku kan orang yang kuinginkan. Jadi, semuanya berakhir baik. Phi tidak perlu cemas soal apapun lagi."
Paing pun mengerutkan kening karena mengingat-ingat. "Tunggu, siapa? Kau sempat kenalan dengan seseorang setelah aku balik ke London?" tanyanya.
Apo menggeleng pelan. "Bukan, tentu saja. Tapi aku yakin Phi sebenarnya tidak lupa," katanya. "Itu ... foto bocah gendut dalam dompetku yang pernah Phi temukan. Waktu kita di Pattaya? Untung bukan anak-anak lain yang mengembalikannya padaku."
"OHHH!" seru Paing seketika. "Iya, aku ingat. Waktu kelompok kita ada praktik di luar kan? Astaga. Tentu saja! Mana mungkin aku melupakannya? Shia. Cool, Bro. Aku jadi penasaran bagaimana kalian menjadi soulmate seperti ini."
DEG
Telinga Apo pun merah sampai-sampai dia mengalihkan pandangan pada baby Kay tanpa sadar. "Ah, kalau soal itu ... rahasia. Intinya kami sekarang bersama," katanya. "Dan pernikahan kami masih di atas kertas, sebenarnya. Karena banyak hal lah. Ada berbagai urusan yang tak bisa ditinggal selama beberapa bulan terakhir."
Paing Takhon pun mengangguk-angguk saja. "Baiklah, oke? Jadi kalian akan resepsian kapan?" tanyanya.
"Sekitar tiga mingguan lagi," kata Apo sambil memandang Paing sumeringah. "Apa Phi mau datang ke sana? Nanti kubuatkan undangan untuk dikirimkan padamu. Soalnya ... mana tahu kalau Phi akan pulang juga."
Tanpa mengurangi rasa hormat, Paing pun menepuk bahu Apo sama sumeringahnya. "Oke, oke. Tentu. Aku akan senang hati datang ke sana," katanya. "Mau hadiah apa dariku? Kondom sekardus? Bagaimana dengan baby triplets? Aku harus mulai searching soal benda bayi kalau begitu."
"Ha ha ha ha ha."
"Ha ha ha ha ha."
Mereka pun tertawa bersama di tempat itu. Ngobrol-ngobrol, bercanda seperti saat dulu kuliah, hingga pembahasan soal rambut pun diangkat juga.
"Aku tak menyangka Phi Paing tetap pada style lama," kata Apo sambil mengelusi punggung Kay. "Maksudku, suka sekali rambut panjang, ya? Apa tidak pernah kepikiran untuk potong pendek? Siapa tahu kelihatannya akan sedikit beda."
"Oh, soal ini toh," kata Paing. "Tidak kok. Aku sempat potong pendek sebentar. Cuman, karena dulu modelling pun jadi sambi laluku, tentu saja harus mengikuti trademark. Itu kan seperti jimat keberuntungan. Orang tahu ciri khas-ku seperti apa, dan aku maju ke lantai catwalk. Well, sekarang keterusan saja dengan gaya ini."
"Oh ...."
Senyum Paing mendadak melebar. "Mau lihat fotoku ketika berambut pendek? Sepertinya aku punya beberapa di galeri, sebentar ...." katanya. Apo pun menerima ponsel sang senior setelah bilang 'permisi' kepada lelaki itu. "Oh ... geser saja terus ke kanan untuk lihat yang lain."
"Oke."
"Bagaimana menurutmu? Cocok?" tanya Paing retoris. "Walau jujur aku kurang nyaman setelah itu. Mungkin karena kebiasaan. Jadi akhirnya kupanjangkan lagi saja. Ha ha ha. Ringan sekali kalau tak ada yang bisa kuikat. Wkwk."
Apo pun mengembalikan ponsel sang senior setelah puas melihat-lihat. "Well, bagus saja semuanya. Phi kan basic-nya model. Mana ada terlihat jelek."
"Goddamit! Really?"
"Hm."
Paing Takhon pun tertawa-tawa, walau percakapan mereka harus berhenti tidak lama kemudian.
"Tuan Natta, ayo.Tuan Ed dan Er sudah selesai," kata babysitter Apo setelah keluar dari ruang imunisasi. Dia mendorong stroller ganda, pertanda sang Omega harus segera pulang ke rumah.
"Baiklah, sebentar," kata Apo. Dia pun berpamitan kepada Paing, lalu segera undur diri dari sana.
"Hati-hati, Po," kata Paing sambil balas melambaikan tangan. "Sehat-sehat baby-nya, ya. Dah ...."
Dari balik kaca mobil, Apo pun balas tersenyum sambil melambaikan tangan mungil Kay kepada lelaki itu. "Dah, Uncle."