Hotel Rosewood, Bangkok.
DIDEKATI, Mile refleks menahan napas, tapi langsung meremas tangan yang menjambak dasinya. Dia mendesis kesal, tapi model di depannya malah tersenyum bangga. "Hei, hentikan, Ameera. Aku sudah bilang kalau sekarang punya Omega resmi. Kau pikir aku sedang bercanda?"
Model editorial di agensi KK, Paris itu makin mendekatkan wajah mereka. "Oh, ya? Apa dia lebih menarik dariku? Jangan bilang kalau amatiran juga."
Pertemuan mereka memang tidak sengaja di sini, karena Ameera memiliki kontrak dengan seorang pengusaha di Thailand. Mile tadinya juga makan malam dengan seorang kolega kerja, tapi begitu sang model menemukannya, dia mengejar dan sekarang mereka berhadap-hadapan.
"Amatiran atau tidak itu bukan urusanmu."
"Ckckckck. Baiklah, terserah saja kalau begitu," kata Ameera. "Tapi satu malam sebelum berpisah? Ini jadi salam yang terakhir saja."
"Tidak."
"Kita bahkan pernah bercinta beberapa kali, Mile. Tapi sekarang kau sombong sekali. Aku jadi ingin memukulnya andai bisa langsung kulakukan."
Antara Ameera dan Mile Phakphum, mereka berdua saling menguatkan jambakan, walau itu bukan karena Mile tak kuat. Dia bisa saja lepas kendali, tapi jangan sampai menggampari wanita Omega di tempat umum seperti ini. Lebih-lebih wajah adalah aset berharga bagi hidupnya.
"Ameera."
Ameera lantas menyeringai saat menemukan seorang lelaki turun dari mobil di seberang jalan. Wajah manis, tinggi tampan, tapi kedua matanya memperhatikan mereka dengan luka yang samar.
Mile mungkin tidak melihatnya karena berposisi memunggungi, tapi sudut pandang ini jelas sudah terlihat seperti berciuman dari sana.
"Bagaimana dengan satu ciuman?" Ameera semakin mendekat, tapi kali ini Mile membuatnya pedih dengan feromon tajam. Ameera pun gemetar dan nyaris jatuh. Hanya saja tekadnya sangat kuat menyerang untuk yang terakhir kali. "Mile ...."
Brakh!
Mile pun terseret oleh tarikan feromon hasrat dari wanita itu, walau tidak sampai membuat bibirnya menempel. Tubuh mereka ambruk ke sisi mobil McLaren sang Alpha, dan Mile memaki karena wajahnya nyaris terbentur kaca.
"Fuck!"
Ameera langsung tertawa setelah si lelaki manis mundur dan segera pergi. Dia melepaskan kerah jas Mile Phakphum begitu saja, lalu berseru senang. "Good. Setidaknya ada rumah tangga yang akan hancur sebentar lagi."
DDE
"Apa?"
"Omega-mu yang lelaki manis itu kan? Tadi kulihat dia sempat melihat kita berdua."
Mile pun langsung menoleh, tapi mobil yang membawa Apo sudah semakin menjauh. Mile jelas mengenali plat nomornya karena milik sang ibu sendiri, dan langsung segera pergi.
BRRRRRMMMM!!!
"APO!"
Mile baru mengecek chat dalam ponselnya, tapi pesan itu langsung dihapus dari seberang sana. Shia!! Mile bahkan baru membaca sekali, tapi kepanikannya jadi makin tinggi karena ditarik Apo.
Brengsek, ini buruk sekali. Mile sampai menginjak gasnya di luar kecepatan normal, tapi terpaksa berhenti karena mereka terpisahkan oleh lampu merah.
Apo pun semakin jauh, sementara Mile memukuli setir dan klaksonnya hingga menjerit-jerit.
Brakh! Brakh! Brakh!!
TIIIN! TIIIN! Tiiiiiiiin!"
"Aarrrghhh!" teriak Mile frustasi. Kenapa tidak dia cakar saja muka wanita tadi? Mile kadang heran kenapa dirinya sering memikirkan kebaikan orang lain melebihi diri sendiri.
SRAAAAAKHHHH!!!
Untung saja Mile bisa menyalip mobil Apo setelah mengejar lima menitan. Dia memblokir jalan sang Omega seperti dulu, walau kali ini sampai dimaki sopirnya sendiri.
"KEPARAT BRENGSEK! SIAPA YANG MENYETIR SEMBARANGAN SEPERTI ITU!"
"Apo!" teriak Mile sekali lagi.
DEG
"Tuan Mile?!"
Mengabaikan muka pucat si sopir, Mile pun langsung memutari mobil untuk membuka pintu jok belakang. Dia pikir, Apo akan memakinya seperti yang waktu itu. Tapi, sang Omega ternyata malah keluar.
Lelaki itu bicara baik-baik pada si sopir. Bahkan Mile tidak melihat emosi apapun pada wajahnya. "Aku akan pergi dengannya saja," kata Apo. "Terima kasih sudah diantar. Salam untuk Ma aku sampai rumah dengan selamat."
"Baik, Tuan."
Si sopir pun langsung berlalu. Dia tampaknya mengerti ada hal yang tak beres diantara mereka. Lalu segera memberi privasi.
"Apo, hei, tadi yang kau lihat tidak seperti itu."
Apo baru menoleh pada calon suaminya. "Melihat apa? Aku tidak lihat apa-apa," katanya. Malah membuat Mile makin kebingungan.
"Apa?"
"Maaf tadi salah kirim saja. Itu chat untuk temanku. Kau tidak harus memikirkannya."
Deg ... deg ... deg ... deg ....
Mile pun menggandeng Apo masuk ke mobil. "Kemari, jangan di luar nanti kau masuk angin," katanya cemas. Kenapa tidak marah-marah saja? Mile rasa lebih mudah menjelaskan jika Apo salah paham lagi, lalu menggodainya seperti dulu. Tapi, apa ini? Apo pura-pura tidak tahu? Dia bahkan tidak menghentikan Ameera meski nyata sempat turun dari mobil.
"Kau kenapa menyusul? Istirahat saja di rumah. Aku juga mau tidur cepat. Besok kerja."
Apo pun didudukkan di sebelah kursi kemudi. Lalu Mile sampai mengunci pintu-pintu McLaren-nya karena takut Apo pergi.
"Tidak, ini juga belum larut," kata Mile sembari mengecek arlojinya. "Aku tahu kau melihat kami. Tapi, percayalah. Aku tidak menciumnya. Aku tidak menyentuh Omega itu. Maksudku, setidaknya setelah aku pindah dari Aussie."
"Iyakah?"
"Itu hanya angle kamera, Apo. Kau pasti paham maksudku. Kami juga Cuma rekan kerja selama ini."
"Oh."
"Katakanlah sesuatu, Apo. Aku ingin kita sungguhan berkomunikasi. Jangan menyimpan perasaan aneh-aneh lagi di belakang. Lagipula kami hanya tidak sengaja bertemu."
Apo malah memandang jalanan di depan sana. "Kalau menciumnya betulan juga tak masalah kok. Itu bukan urusanku," katanya. "Berarti memang aku sudah tidak diinginkan, dan waktunya pergi. Lagipula, kalau aku tetap ada, palingan hanya membebanimu. Buat apa menjalani hubungan tak berguna seperti itu. Tak ada ikatan emosional."
Mile pun diam mendengarkan.
"Aku ini cepat belajar, Mile. Dan bukan berarti kau tidak berharga," jelas Apo. "Hanya saja, memusuhi orang yang kau pilih itu tak ada gunanya. Aku bisa membeli harga diri mereka, tapi tidak dengan hidup yang kau sukai."
Dalam sekali perasaan dan pemikiran Omega-nya. Mile jadi membayangkan jika Apo sungguh-sungguh ditinggalkan olehnya. Kemungkinan dia benar-benar menjadi seperti dulu. Tetap tangguh, tetap hebat, tapi mungkin hatinya kosong kembali.
Mile pun menggelengkan kepala, lalu menggenggam jari Apo yang bercincin. "Tidak, tidak. Soal tadi lain kali tak akan terjadi lagi," katanya. "Maaf sudah tidak memikirkan perasaanmu. Tapi jika ada orang-orang dari Aussie lain, aku pasti lebih tegas pada mereka."
"Iya."
"Sudah tidak marah lagi? Kalau masih pukul saja mumpung masih pada suasananya." Mile pun menepuk-nepuk dadanya. "Di sini. Atau di wajahku juga tak masalah. Mungkin kau ingin meninju mumpung dapat sabuk hitam taekwondo."
"Hmph. Siapa juga yang marah."
"Serius, daripada kau berpikir sia-sia saja?"
"Kuanggap ini hanya peringatan," kata Apo. Lalu mencium bibir Mile lebih dulu. "Tapi, hmm ... aku tidak mau bilang apa-apa lagi."
"Yakin, Apo?"
Apo mendadak tersenyum manis. "Mana tahu aku kalau sudah tidak percaya lagi padamu."
Dua hari kemudian, tepat 12 Oktober sesuai hari janji. Mile merubah cincin pertunangan mereka dengan yang lebih mahal. Apalagi ini untuk pernikahan. Mungkin karena dulu Mile juga gugup membeli sembarang cincin. Dia tidak bisa memilih teliti sesuai keinginan keduanya.
Tak seperti dahulu, Apo tanpa sadar nyengir karena cincin itu dipasangkan oleh Mile sendiri. Dia memaki Mile karena digodai, bahkan cincin itu sempat ditarik keluar sebelum dipasangkan ulang.
Apa-apaan sih yang dilakukannya?
"MILE!"
"Ha ha ha. Kenapa? Bukankah kau senang saat ada yang keluar masuk?"
DEG
"Apa katamu barusan?! Sat! Ini kan sedang membahas cincin!"
"Memang cincin," kata Mile. "Kau sendiri berpikir apa barusan? Mesum!"
"Harrrghhh! Rasakan kau!"
Apo pun menggigit leher Mile sangking gemasnya dengan sang Alpha. Mereka lalu bercanda di sofa, sampai-sampai tumpukan majalah inspirasi wedding decor berjatuhan dari atas meja. Prakh! Prakh! Prakh!
"Gila! Siapa yang sebenarnya tukang makan di sini?" kata Mile. Dia pun membalas dengan gelitikan serbu hingga tawa Apo pecah memenuhi ruang tengah.
"Ha ha ha ha! Kau! Mana ada aku mengalahkan si gendut!"
"Aku gendut?" kata Mile yang kini menggelitik perut buncit Omega-nya. "Kenapa tidak berkaca dulu? Ha ha ha! Yang di sini bisa-bisa tukang makan dan lebih gendut!"
"HA HA HA HA HA! GELI—uhuk-uhuk! Mileee!!"
Sangking riuhnya ruangan itu, para pelayan yang mengantar kudapan pun batal datang karena sungkan. Mereka membawa nampan-nampan itu kembali. Dan Nathanee heran karena tak pernah seperti ini.
"Lho, kenapa? Sayangku Apo tidak jadi ingin biskuitnya?"
"Anu ... anu ...." kata si pelayan dengan muka memerah.
Penasaran, Nathanee pun menilik situasinya sendiri. "Oh ...." batinnya seketika paham. Daripada dua anak manusia, wanita itu lebih seperti melihat love birds yang baru terbang. Mereka berciuman karena saling mencintai, merasakan, dan siap memiliki sebentar lagi.
Bersambung ....