webnovel

Angel's Voice

Rein sudah mendengar suara di dalam kepalanya semenjak dia kecil, suara itu memberi tau Rein apa yang akan terjadi dan harus Rein lakukan di masa depan. Rein berpikir itu adalah anugerah Tuhan yang diberikan untuknya, sebuah suara malaikat yang menjaganya. Tapi apa malaikat memang sebaik itu?

Stift_Noir · Kinh dị ma quái
Không đủ số lượng người đọc
16 Chs

Chapter 10

John merebahkan tubuhnya di sebuah Sofa panjang, menatap langit-langit dan merenungkan betapa melelahkan hari ini baginya. John sungguh ingin mengistirahatkan dirinya, merebahkan tubuhnya dan tidur di kasur yang luas, empuk dan hangat, setidaknya itu yang dia bayangkan, tapi dia justru harus tidur di sofa. Hotel yang mereka datangi hanya menyisakan satu kamar dengan satu tempat tidur kecil, dan Alison langsung melompat ketempat tidur sesaat setelah mereka memasuki kamar.

"Setidaknya ini lebih baik dibanding tidur satu kasur dengannya." Pikir John, seraya menghela nafasnya, lalu memejamkan kedua matanya.

Sekilas dalam mimpinya, John melihat wajah ibunya yang sedang memanggilnya dengan lembut, membelai rambut John dengan tangannya yang halus. Hal yang selalu Ibunya lakukan saat John menenggelamkan dirinya kedalam tidur, hal yang selalu bisa membuat dirinya merasa nyaman dan tenang untuk tidur, walaupun John tau saat dia terlelap Ibunya akan menghadapi neraka nya seorang diri.

"John"

John mendengar suara Ibunya sekali lagi, lalu membuka matanya untuk bagun dari tidurnya.

"John, bangunlah." Panggil Alison.

John menoleh kearah Alison yang sedang duduk di kasur.

"Tidak kusangka akan ada hari dimana aku melihat wajahnya saat aku bangun." Gumam John, seraya mendudukkan tubuhnya di sofa.

"Maaf saja ya, kalau kau harus melihat wajahku diawal harimu!" Balas Alison dengan nada kesal.

John melirik jam tangannya, waktu menunjukan pukul 07.00 sudah tiga jam berlalu semenjak dia memejamkan matanya, tapi John merasa bahwa itu hanya sekejap. Kepalanya kini terasa berat, tubuhnya pun terasa seperti kehabisan tenaga.

"Ayo cepat rapihkan dirimu, kita akan pergi menemui seseorang. Tapi pertama, kita cari sesuatu untuk sarapan, dan kopi." Ujar Alison.

Waktu menunjukan pukul 08.30

John duduk di kursi penumpang, sementara Alison mengemudikan mobilnya seperti biasa. Alison masih belum memberi tahu John kemana dia membawanya. John sebenarnya tidak mengerti maksud perkataan Alison akan orang yang bisa membantunya, tapi berapa kali pun John menanyakannya dia tetap tidak memberi tahunya.

"Kemana sebenarnya kau membawaku?" Tanya John

"Kau akan tahu nanti." Jawab Alison.

"Kita seharusnya menemui pengacara Harry. Kau tau kita tidak bisa menahannya, pengacaranya akan meminta dia dikeluarkan. Kalau kau ingin mencari buktinya maka sekaranglah waktunya." Ujar John.

"Aku sudah menyuruh juniorku untuk menanganinya hari ini." Jawab Alison.

"Apa kau serius?" Tanya John dengan nada heran.

"Aku bersumpah akan memenjarakannya John. Tapi bagai mana kita akan memenjarakannya? kalau kau sendiri tidak yakin kita bisa memenangkan pengadilannya?" Balas Alison.

John hanya diam mendengar perkataannya, tidak tau harus mengatakan apa. Perkataan Harry seketika melintas di pikiran John. Apa itu keadilan? Untuk apa sebenarnya dia menjadi jaksa? John telah bersumpah saat pelantikannya sebagai seorang jaksa untuk menegakan keadilan, tapi dia tau yang sebenarnya dia rasakan pada saat mengucapkan sumpahnya itu adalah dendamnya yang mendalam untuk membalaskan kematian Ibunya, tapi sekarang dia tidak tau apa itu keadilan dan untuk apa dia tetap menjadi seorang jaksa.

Mobil mereka keluar dari kota Aylesbury dan menuju kembali ke London, Alison masih belum memberi tahu John kemana dia membawanya. Tapi John sudah tidak lagi memperdulikan kemana Alison membawanya, dan lebih memilih untuk menutup matanya dan berusaha untuk menenangkan pikirannya.

"Hey bangunlah." Ujar Alison.

John membuka matanya. Tanpa dia sadari dia sudah tertidur selama perjalanan.

"Kita sudah sampai." Jelas Alison, seraya menunjuk keluar jendela depan mobilnya dengan dagunya.

John menoleh keluar jendela, mereka berada di sebuah area perumahaan di pinggiran kota London. Mobil mereka terparkir di depan sebuah rumah. Alison menunjuk sekali lagi dengan dagunya.

"Ini adalah rumah mertua Sebastian." Jelas Alison.

Mendengar perkataannya sedikit membuat John terkejut dan bingung, sebenarnya apa yang Alison ingin lakukan, apa dia ingin mewawancarai mertua Sebastian? Apa yang dia maksud dengan menemui

"Orang yang bisa membantuku" adalah menemui orang yang bisa membantuku dalam kasus Harry?

Alison sudah turun dari mobilnya sebelum Johnatan sempat menanyakannya, dan berjalan menuju pintu rumah itu. John lekas turun dari mobil dan menyusulnya. Alison mengetuk pintu rumah itu beberapa kali, mereka dapat mendengar suara langkah kecil yang berlari di atas lantai kayu menuju pintu dengan suara tawa yang sangat ceria.

[Susan jangan berlarian seperti itu!]

Terdengar samar suara seorang wanita yang mengiringi suara tawa itu dari balik pintu. John menoleh kearah Alison, berniat untuk menanyakan situasi yang membuatnya bingung itu, tapi John justru semakin bingung saat melihat wajah Alison yang terlihat seperti di penuhi kesedihan.

Tak berselang lama pintu terbuka, menunjukan pada mereka sosok seorang gadis kecil yang cantik, rambutnya pirang panjang dan lurus, kulitnya putih, dan matanya kehijauan, gadis kecil itu mengenakan sweater rajutan berwarna putih polos, yang menutupi tubuhnya hingga nyaris melewati lutut, membuatnya terlihat seperti boneka yang hidup. Di belakang gadis itu ada seorang wanita, yang mungkin berumur sekitar 30 sampai 35 tahun, dalam sekejap John dapat mengetahui bahwa wanita itu adalah Ibunya, karena wajah mereka yang terlihat sangat mirip.

"Paman Alison!" teriak gadis kecil itu dengan nada yang sangat riang, seraya memeluk lutut Alison.

"Hey! Susan! Kau sudah besar ya!" Jawab Alison, seraya menggendong gadis kecil itu.

"Hey Katherine, bagai mana kabarmu?" Tanya Alison seraya menoleh kearah wanita di depan meraka.

"Aku baik-baik saja." Jawab si wanita.

Suaranya sedikit gemetar, wajah wanita itu kini seperti sedang menahan tangis. John mengerti bahwa dia baru saja kehilangan suaminya dengan cara yang teragis, dan sekarang dia harus menjawab wawancara hukum yang akan membuatnya mengenang mendiang suaminya, dan itu pasti sangat berat baginya.

Katherine mempersilahkan John dan Alison untuk masuk, dan menuntun mereka menuju ruang tamu, lalu pamit untuk pergi ke dapur. Alison menurunkan gadis kecil itu dari gendongannya, lalu memberikan sebuah bingkisan coklat yang tadi dibelinya di café saat sarapan pagi.

"Ini untukmu." Ujar Alison.

Gadis kecil itu mengambil bungkusan coklat itu dari tangan Alison tanpa mengatakan apapun, dan berlari menuju dapur dengan sangat gembira sembari berteriak untuk memberi tahu Ibunya kalau dia baru saja mendapatkan sebungkus coklat.

Alison hanya duduk di kursi sofa sembari melihat gadis itu berlari dengan langkah kecilnya, dengan senyuman yang menyiratkan sebuah kesedihan.

"Dia bahkan tidak tahu kalau Ayahnya sudah tiada." Ucap Alison dengan pilu.

Mendengar perkataan Alison membuat hati John kini juga merasakan sakit. Tak berselang lama Katherine kembali keruang tamu, sembari membawa sebuah nampan besi dengan ukiran bunga yang berisikan dua cangkir teh hangat dan sepiring penuh kue kering buatan sendiri, beserta Susan yang mengikutinya di belakang dengan mulut yang penuh coklat. Katherine meletakan cangkir teh itu di depan Alison dan meletakan satu lagi di depan John, lalu meletakan piring kue di tengah meja.

"Maaf merepotkan mu." Ujar Alison.

"Tidak, aku senang kau kemari." Jawab Katherine sembari menatap susan dengan penuh kesedihan.

John hanya diam tidak tau harus mengatakan apa. John menoleh kearah Alison mencoba untuk memberi isyarat agar dia memulai percakapan, tapi wajah temannya itu tidak jauh berbeda dari Katherine, hanya terdiam menatap dengan penuh kesedihan, Susan yang sedang duduk di atas karpet, menempelkan tubuhnya kemeja di tengah ruangan sembari mencoba memakan coklat dan kue di meja bersamaan. Tanpa disadari John juga menatap Susan yang dengan penuh kebahagian memasukan kue dan coklat ke mulutnya. Perkataan Alison melintas di pikiran John saat itu, dia bahkan tidak tau kalau ayahnya sudah tiada, berlahan John mulai mengerti apa yang sedang Alison dan Katherine rasakan saat ini, tapi dia tidak tau harus mengatakan apa atau kata apa yang pantas untuk menggambarkan kesedihan yang mereka rasakan saat ini.

Tanpa mereka sadari Susan sudah hampir menghabiskan coklatnya. Susan mengambil potongan terakhir coklat itu dan mencoba memasukan ke mulutnya dengan kue kering bersamaan, tapi tangannya tiba-tiba berhenti, lalu meletakan kembali kue dan coklat itu kedalam bungkusan.

"Akan aku simpan untuk Ayah." Ucap Susan.

Mendengar perkataannya itu membuat John merasa jantungnya seperti berhenti, lalu meledak meninggalkan rasa sakit di dadanya. John menoleh kearah Alison dengan spontan. Wajah Alison sedikit memerah, kedua matanya berkaca, dia menggigit bibirnya untuk menahan tangisnya. Sementara Katherine sudah berlinang air mata, menutup mulutnya dengan kedua tangannya agar tidak mengeluarkan suara. Katherine sudah tidak dapat membendung kesedihannya, dia menerjang Susan dan memeluknya dengan erat, meraungkan kesedihannya. Susan yang terkejut perlahan mulai menangis, dan membuat rumah itu diselimuti tangisan kesedihan.

Waktu menunjukan pukul 12.00

Katherine sedang membawa Susan ke kamar tidurnya, yang tertidur setelah kelelahan menangis. John kini mengerti yang ingin Alison pertemukan dengannya bukanlah Katherine, tapi anak itu.

"Mungkin kau telah memenuhi tujuan hidupmu John, dan kini kau kebingungan untuk mencari tujuan yang baru. Tapi untuk kali ini aku mohon kepadamu, bantulah aku, demi anak itu, tolong jangan berhenti." Ujar Alison.

Mendengar perkataannya membuat John kembali teringat perkataan Ibunya. Jangan pernah berhenti. dan membuatnya mengingat semua momen dan perasaannya saat kecil dulu, perasaan sesal, kecewa, marah dan dendam yang menghantui masa kecilnya dulu, dan jika dia membiarkannya semua perasaan itu juga akan menghantui Susan, gadis kecil itu akan merasakan apa yang John rasakan.

"Kau tidak perlu memintanya, itu sudah tugasku sebagai jaksa." Jawab John dengan penuh keyakinan.

Kini John sudah tidak memperdulikan semua perasaan ragunya, dia tidak lagi perduli apa keadilan itu ada atau tidak, dia hanya memenuhi hatinya dengan satu keyakinan. Walaupun aku tidak bisa membawa keadilan setidaknya aku bisa membawa kebenaran.