Tak terasa satu minggu telah berlalu, Daniel berhasil menahan Luna di apartemennya. Meskipun Luna tak setuju untuk tinggal disana lagi. Namun Daniel memaksa, bahkan ia mengambil semua pakaian Luna di apartemen Rosa. Tentu saja Rosa menolak keputusan Daniel untuk membawa semua barang-barang Luna dan membuat sahabatnya tinggal disana bersama pria brengsek yang telah menyakiti sahabatnya. Namun Rosa hanya wanita biasa, ia tak dapat menahan Daniel. Hingga akhirnya Rosa menyerah dan membiarkan Luna tinggal disana untuk sementara waktu. Sampai Rosa bisa membawa Luna kabur dari apartemen Daniel.
**
Luna menghela nafas kasar. Sama seperti hari sebelumnya. Ia hanya bisa menatap keluar jendela atau sesekali menonton TV demi menghilangkan kebosanannya di apartemen itu. Daniel benar-benar mengurungnya. Tak membiarkan Luna keluar untuk alasan apapun. Dan dia hanya boleh keluar rumah apabila Daniel yang menemaninya. Bahkan Daniel menyita ponselnya agar Luna tak bisa menghubungi siapapun. Daniel memberinya ponsel baru dengan nomor baru yang hanya diketahui Daniel.
Luna tak menyangka Daniel memiliki sifat seperti ini. Daniel benar-benar berubah setelah bertemu wanita itu. Ah memikirkannya saja membuat Luna ingin menghancurkan tempat ini. Dia sangat membenci wanita itu. Wanita yang telah menghancurkan hubungannya dengan Daniel.
Tringggg…. Tringgggg….
Luna tersentak, tiba-tiba ponselnya bordering. Ia mengambil ponselnya yang ia letakkan di atas nakas. Luna mengernyit melihat nomor asing yang tertera pada layar. Dan ia tau nomor itu bukanlah kode negara Thailand. Melainkan kode nomor Inggris. Luna seketika berpikir bahwa itu adalah panggilan dari keluarganya di London. Dengan cepat ia menjawab panggilan telfonnya.
"Halo, siapa ini?"
"Luna? Astaga akhirnya kau menjawab panggilanku. Kau tau aku sangat khawatir karena belakangan ini kau sulit dihubungi."
"Ah maaf kak, ponselku rusak. Jadi Daniel memberikanku ponsel baru. Aku lupa memakai sim card yang lama. Jadi aku tak bisa memberimu nomor ponselku yang baru."
"Oh baik sekali calon adik iparku. Kau sangat beruntung memiliki calon suami sebaik Daniel. Dia sangat perhatian dan pengertian. Jangan sampai kau mengecewakannya ya."
Luna terkekeh lirih mendengar ucapan kakaknya. Andai Lalista tau, bagaimana Luna menghadapi masalah ini. Bagaimana perilaku Daniel yang sebenarnya. Bagaimana Daniel menyakitinya. Pasti Lalista akan menarik kata-katanya dan membawa Luna pergi ke London untuk tinggal bersamanya disana.
"Luna? Halo? Kau masih disana?" Lalista memanggil Luna, memastikan adiknya masih disana, Karena Luna tak kunjung menjawabnya.
"Ah maaf kak, aku kelilipan. Sampai dimana kita tadi?"
"Kita bahkan belum membahas apapun Luna. Aku hanya memuji calon suamimu, dank au diam tak menjawabku. Apa kau baik-baik saja Lun? Sepertinya kau sedang banyak pikiran. Apa aku perlu kesana?"
"Tidak kak, sama sekali tidak perlu. Aku baik-baik saja."
"Ah syukurlah, kakak sangat senang mendengar kau baik-baik saja. Lalu dimana Daniel? Apa dia tidak bersamamu?"
"Tidak kak, dia sedang bekerja."
"Kukira kalian sedang bersama. Aku sering menelfonmu tapi tidak pernah kau jawab. Jadi aku menghubungi Daniel untuk meminta nomormu."
"Oh begitu,,"
"Apa kau tidak bekerja Lun?"
"Tidak kak, aku sudah lama resign."
"Kenapa? Apa kau sakit? Kenapa tidak mengabariku?"
"Tidak kak, aku baik-baik saja. Daniel menyuruhku berhenti bekerja, karena kami harus mengurus persiapan pernikahan. Dan dia tak mau membiarkanku bekerja setelah menikah nanti."
"Oh My God. Lihatlah, calon adik iparku sangat baik. Kau beruntung sekali akan menikah dengannya Luna. Aku tak sabar akan ke Thailand. Kami disini sangat merindukanmu. Ibu bahkan sudah menyiapkan hadiah istimewa untuk pernikahanmu."
"Terimakasih ka. Aku juga sangat merindukan kalian."
"Tapi Lun, kenapa pernikahan kalian diundur? Ayah dan Ibu sangat kecewa. Kami khawatir ada sesuatu yang terjadi. Tapi calon mertuamu mengatakan pada ayah bahwa semuanya aman. Ayah dan ibu bahkan hampir terbang ke Thailand untuk bertemu denganmu. Tapi karena kesibukan disini yang tak bisa ditunda. Jadi mereka batal kesana. Dan aku juga tidak bisa kesana. Mia sangat rewel dan aku harus terus di sisinya."
Mia adalah keponakan Luna. Dia adalah anak dari kakaknya bersama Demian. Pria rupawan dari London. Mia sudah berumur 1 tahun, dan Luna belum sekalipun pernah bertemu dengan keponakan mungilnya.
"Ah aku jadi merindukan Mia, apa dia baik-baik saja kak?"
"Tentu, Mia sangat baik. Kami disini justru sangat mengkhawatirkanmu. Ibu bahkan sering bermimpi buruk tentangmu. Makanya aku sering menghubungimu tapi ternyata kau mengganti ponselmu."
Tanpa diduga Luna menitikkan air mata, ia terisak. Tiba-tiba ia teringat kembali dengan masalah yang menimpanya. Dia ingin mengadu, ia ingin menangis di pelukan keluarganya. Ia sangat merindukan mereka.
"Luna? Kau kenapa? Kenapa menangis? Apa ada masalah? Katakan padaku Lun."
Luna menggeleng, ia mengusap air matanya. "Tidak kak, aku baik-baik saja."
"Lalu kenapa kau menangis?"
"Aku hanya merindukan kalian."
Lalista menghela nafas lega. "Kukira ada apa Lun. Kupikir kau ada masalah. Jika kau merindukan kami. Maka pulanglah. Ayah, Ibu dan aku menunggumu di sini. Kami juga sangat merindukanmu, adikku sayang."
"Ya, aku akan pulang kak. Aku janji aka segera kesana."
"Kami menunggumu Luna. Jika terjadi sesuatu padamu. Jangan ragu untuk menghubungiku. Kau adalah adikku. Apapun yang menimpamu, aku berhak tau dan membantumu. Jangan pernah merasa sendiri oke? Aku menyayangimu."
"Aku menyayangimu juga kak."
Luna mengusap air matanya lagi. Tubuhnya merosot ke lantai, ia menggenggam ponselnya seraya terisak. Ia benar-benar ingin mengatakan yang sebenarnya kepada kakaknya. Ia ingin menangis, ingin mengadu, ia ingin pulang.
"Aku tidak baik-baik saja kak."
**
Ting Tong…
Luna mengernyit, selama seminggu ini ia tak pernah mendengar bel berbunyi, Karena Daniel melarang siapapun datang kesana. Hanya Daniel yang selalu datang, tak pernah ada orang lain. Bahkan kurir delivery sekalipun. Daniel benar-benar melarang siapapun datang untuk menemui Luna.
Bel terus berbunyi. Akhirnya Luna beranjak dari duduknya lalu melangkah menuju pintu. Ketika dibuka, Luna benar-benar menyesal telah membuka pintu itu. Karena yang menekan bel apartemennya adalah seorang wanita yang sangat ia benci.
"Kau?" sembur Luna.
"Ya it's me. Kenapa, kau kaget? Atau kau takut menemui calon istri yang sebenarnya dari pria yang masih kau anggap tunangan?"
Lihat, baru saja mereka bertemu tatap. Wanita itu sudah seperti ular, kata-katanya yang pedas dan menusuk. Seperti bisa yang mematika dalam sekali sembur.
"Terserah padamu. Kau membuat waktuku. Silahkan pergi, karena pria yang kau cari tak ada di sini."
Clarissa justru menyeringai licik. Ia mendorong bahu Luna tanpa dosa. Lalu melenggang masuk ke apartemen itu, seolah rumahnya sendiri. Luna memutar bola matanya malas. Ia sedang tak ingin untuk berdebat dengan wanita ular itu. Luna pun menutup pintu dengan kasar lalu menyusul Clarissa masuk ke dalam rumah.
"Mau apa kau kesini? Sudah kubilang Daniel tak di rumah."
Clarissa tak menghiraukan ucapan Luna. Dengan tenang ia duduk diatas sofa lalu menaikkan satu kakinya ke atas lutut. Ia merebahkan punggungnya dengan santai ke sandaran sofa.
"Kenapa diam saja? Aku adalah tamu di rumah ini. Kau tak mau menawariku minum? Seperti saat pertama kali kita bertemu? Luna?" Clarissa menyeringai sengit.
Bersambung