Luna sedang asik memilih tangkai bunga mawar di salah satu toko bunga langganannya. Sudah tiga hari ia mengurung diri di rumah Rosa. Dan hari ini ia memutuskan untuk jalan-jalan keluar sembari mencari udara segar diluar rumah. Ia berakhir di toko bunga dekat taman bermain anak-anak yang adalah toko bunga langganannya.
Bunga mawar adalah pilihannya. Bunga favoritnya yang selalu bisa menghibur hatinya yang tengah gundah, terombang ambing dan tersakiti. Menghirup aroma mawar dan menikmati kecantikannya adalah sesuatu yang ingin ia lakukan sekarang. Berwarna-warni bunga disana sudah mampu membuatnya sekejap melupakan masalah yang ia hadapi.
"Luna?" suara dari seorang pria yang memanggil namanya.
Luna tertegun, sontak ia menoleh ke arah sumber suara. "Dokter Altheo?" gumam Luna.
Pria itu terkekeh ringan. "Astaga, itu terlalu formal. Panggil saja aku Theo. Terdengar lebih akrab bukan?" ujar Altheo dengan ramah. Luna pun ikut terkekeh, ia merapikan rambutnya ke belakang telinga dengan malu-malu. Lalu perlahan kembali mendongak, menatap wajah rupawan Altheo yang jauh lebih tinggi darinya.
"Tapi anda adalah seorang dokter. Bahkan anda pernah merawat saya di rumah sakit. Sangat tidak sopan jika saya memanggil nama anda tanpa gelar dokter."
Altheo menggaruk lehernya yang tak gatal. "Ah bagaimana ya mengatakannya. Tapi aku merasa sedikit tidak nyaman jika kau memanggilku dengan nama yang terlalu formal. Bisakah kau memanggilku dengan Theo saja? Dan jangan pakai saya, itu terlalu formal. Seolah kita baru pertama kali bertemu sebagai orang asing. Bukankah sekarang kita berada diluar rumah sakit? Jadi, Nona Luna yang cantik. Maukah kau memanggil Theo padaku?"
Luna semakin terkekeh, wajahnya seketika merona. Ia tak dapat menyembunyikan rasa malunya pada sang dokter yang berucap sangat lembut padanya.
Luna pun kembali mendongak, menatap sang dokter. "Baiklah jika itu permintaanmu dok—eh, Theo?"
Seketika Altheo melayangkan senyum menawan yang dapat dipastikan bisa membuat puluhan wanita kehabisa nafas hanya dengan sekali melihatnya.
"Terimakasih Luna. Sekarang aku merasa sangat nyaman mendengarnya. Ngomong-ngomong kau sedang apa?"
"Em, tentu saja membeli bunga. Tidak mungkin aku kesini membeli obat kan Theo?" goda Luna yang membuat mereka tergelak tawa bersama.
"Haha, aku jadi malu karena menanyakan hal yang sudah jelas jawabannya."
"Lalu kau sendiri, sedang apa di sini? Kau tidak ke rumah sakit? Aku yakin pasienmu sedang tersiksa karena begitu merindukanmu Dokter Altheo."
"Benarkah sebegitunya? Lalu pasienku di sini, apakah tidak merindukanku juga?"
Seketika Luna memerah, wajahnya sudah seperti udang rebus. Dan hal itu membuatnya sangat menggemaskan. Tanpa sadar Altheo mengelus pipi Luna dengan lembut.
Luna tertegun, ia dapat merasakan kehangatan dari telapak tangan kokoh pria bertubuh jenjang itu.
"Ah, maaf?" Altheo tersadar, lalu segera menarik tangannya dari pipi Luna. Seketika suasana menjadi canggung. Luna memalingkah wajahnya ke arah bunga matahari, lalu berpura-pura memilihnya. Begitupun dengan Altheo yang memalingkan wajah kea rah lain, namun bibirnya tak bisa berhenti tersenyum. Ia melirik Luna yang tersipu malu di sebelahnya.
"Kau ingin membeli bunga matahari?" tanya Altheo lebih dulu untuk menghilangkan kecanggungan mereka.
"A-ah, i-ini,,, tidak. Aku tidak begitu menyukainya."
"Lalu kenapa kau memilihnya?"
Luna tersentak, ia pun baru sadar bahwa tangannya tengah sibuk memilih-milih tangkai bunga matahari. Luna merasa malu, ia ketahuan tengah salah tingkah karena pelakuan Altheo tadi. Buru-buru Luna menarik tangannya.
"Ah ini, temanku tadi menitip padaku untuk membelikannya bunga. Kurasa dia menyukai matahari makanya aku memilihnya. Ya begitu." Sahut Luna setengah panik.
"Lalu bunga mawar putih itu? Apa itu untukmu?"
Luna melirik mawar putih di tangannya. "Iya, ini bungaku. Aku sangat menyukainya."
"Aku tau itu." Ujar Altheo.
"Dan kau, mau membeli bunga apa kesini? Biar kutebak? Kau mau memberikan ke pasienmu?" tebak Luna dengan polos. Namun Altheo menggeleng. "Bukan."
"Hm… Lalu untuk siapa? Luna nampak berpikir dan itu sangat menggemaskan.
"Ah aku tau. Apa ini untuk kekasihmu? Kau akan berkencan kan Theo?"
Althea kembali menggeleng. "Kau salah lagi nona."
"Hm,,, lalu untuk siapa? Jangan-jangan kau membeli untuk dirimu sendiri? Sepertiku?"
Altheo tak menjawab, dia justru mengambil bunga mawar putih di tangan Luna.
"Bagaimana jika aku mengatakan, bahwa aku kesini membeli bunga untuk seorang gadis yang sangat spesial di hatiku?"
"Sudah kuduga. Pasti kau ingin memberikannya pada gadis yang sedang kau dekati. Mau kubantu memilihnya? Aku sedikit tau tentang bunga-bunga yang disukai wanita."
"Boleh, aku sangat senang jika kau yang memilihnya." Luna menukiknya alisnya.
"Maksudku, kau sendiri mengatakan bahwa kau tau tentang bunga. Tentu aku sangat senang mendapat bantuan darimu. Pasti dia akan sangat menyukai bunga yang akan kuberikan. Karena itu dipilih darimu lansung. Seorang ahli bunga."
"Ah sudahlah Altheo. Hentikan semua bualanmu itu. Jangan membuatku merona dan terlihat memalukan di depanmu. Sini biar kupilihkah bunga untukmu. Kupastikan gadis beruntung itu akan menyukainya."
"Ya tentu. Dan kupikir aku yang beruntung, jika mendapatkannya." Gumam Altheo yang terdengar samar di telinga Luna.
**
Luna dengan semangat memilihkan bunga untuk Altheo. Ada beragam jenis dan warna yang ia ambil. Lalu menyerahkannya kepada seorang Florist laki-laki untuk dirangkai dengan indah.
"Nah lihatkan, buket bunganya sangat cantik." Luna menyerahkan buket bunga yang telah dirangkai seorang florist dari hasil bunga pilihannya kepada Altheo.
"Iya, sangat cantik. Seperti pemilihnya." Puji Altheo yang lagi-lagi berhasil membuat Luna merona.
"Sudah hentikan Theo. Tidakkah kau lelah menggodaku." Luna memukul ringan lengan Altheo seraya menyembunyikan rona di wajahnya.
"Berapa ini tuan? Sekalian dengan bunga mawarnya." Ujar Altheo pada florist itu.
"Hei, tidak usah. Biar aku membayar punyaku." Sergah Luna. Namun Altheo sudah keburu memberikan black cardnya kepada florist itu.
"Tidak apa-apa. Anggap saja sebagai ucapan terimakasihku, karena kamu telah membantuku memilih bunga-bunga cantik ini."
"Tapi,,"
"Tidak baik menolak pemberian orang lain. Benarkan?"
"Hm, baiklah. Terimakasih. Tapi lain kali, biarkan aku membayarnya padamu."
"Ide yang bagus. Bagaimana jika aku menagihnya sekarang?"
"Sekarang? Tapi kau baru saja mentraktirku bunga."
Altheo menggeleng. "Bukan bunga."
"Lalu?"
"Temani aku hari ini. Dengan begitu kuanggap kita impas."
"Tapi kau akan berkencan dengan gadis yang kau sukai."
Altheo tersenyum tipis lalu melangkah keluar dari toko bunga itu. Luna yang masih tak mengerti, mengikuti Altheo keluar dari sana. Mereka berjalan hingga sampai di depan mobil Pajero berwarna putih yang adalah milik Altheo.
Altheo berbalik, menatap Luna yang masih kebingungan. "Jadi, kau mau menemaniku hari ini?"
"Bagaimana dengan gadis yang akan berkencan denganmu?" tanya Luna dengan polos.
Altheo kembali tersenyum. Tanpa diduga, ia memberikan buket bunga berwarna-warni itu kepada Luna.
"Untukmu," ujar Altheo dengan lembut.
Sontak Luna mengernyit. "Ha? Untukku? Bukankah ini untuk---?" Luna tertegun, sesuatu yang aneh melintas di pikirannya. Dan seolah mengerti, Daniel mengangguk.
"Ya, bunga ini untukmu. Karena kau, adalah wanita yang special di hatiku."
Bersambung