webnovel

An Ice Cube Man

Garin Lituhayu, perempuan yang terikat perjodohan dengan putra semata wayang bosnya. Banyu Aron Wicaksono suaminya, begitu beku seperti es saat mereka berada di dalam kamar. Tanpa percakapan apalagi kehangatan, namun tetap bisa bersandiwara sebagai pasangan yang mesra ketika sudah keluar kamar. Garin begitu patuh pada suami dan keluarga Wicaksono. Menurutnya, "wani ngalah, luhur wekasane" (Berani mengalah demi kepentingan bersama adalah sikap luhur.) menjadi nasehat yang terus mengiang di pikirannya. Untuk mendapatkan cinta Banyu memang tidak mudah baginya. Semua harus dilalui dengan proses yang sangat menyakitkan untuknya. Tidak ada air mata yang tidak tumpah saat menghangatkan hati Banyu.

belapati · Thành thị
Không đủ số lượng người đọc
189 Chs

BAB 22

"Mas Banyu makan dulu ya." Pintaku saat asisten rumah tangga datang mengantar bubur.

"Uhuk." Dia terbatuk saat berusaha membuka matanya.

"Aku mau minum." Ucapnya lirih sekali. Hampir tidak terdengar.

"Iya Mas, duduk dulu ya." Aku membantunya untuk bangun.

Dia berusaha meminum air dengan bantuanku. Badannya lemas. Wajahnya pucat.

"Mas, Aku suapin bubur ya. Nanti setelah makan Mas Banyu istirahat lagi." Pintaku.

"Iya." Jawabnya lemah.

Aku menyuapinya, sedikit demi sedikit. Dia sempat menolak untuk suapan ke dua. Mungkin karena tidak nafsu makan. Aku berusaha membujuknya.

Pada suapan selanjutnya dia juga hampir tidak mau makan. Tapi entahlah aku mendapat kekuatan dari mana sampai bisa terus membujuknya. Aku tidak ingin dia semakin lemas.

"Mas, ini buburnya harus di habiskan. Kurang dikit lagi. Selesai makan ini, Mas Banyu bisa istirahat lagi." Ucapku kalem.

Dia hampir menghabiskan buburnya. Tapi belum sampai suapan terakhir dia telan, tiba tiba saja dia mual.

Dan "boom", semua keluar. Aku segera mengelap mulutnya. Memberinya minum.

"Pelan, pelan Mas."

"Sorry." Ucapnya lirih.

Aku segera mengambil baju ganti untuknya. Memintanya untuk melepas bajunya yang kotor.

Dia menggeleng. Aku tahu, dia pasti tidak bisa melepaskan sendiri. Jadi aku berusaha membantunya.

Jantungku berdegup kencang. Ini pertama kalinya aku menyentuhnya. Melakukan hal seintim ini.

Aku menggelengkan kepalaku. Ini bukan saatnya berpikiran aneh aneh. Dia sedang sakit. Tapi menyentuh kulit bagian pinggang dan perutnya saja membuatku bahagia.

'Garin, buang pikiranmu itu. Ini saatnya kamu merawat suami yang sedang sakit. Jangan memanfaatkan kesempatan.' Teriakku dalam hati begitu selesai mengganti pakaian Mas Banyu.

Aku segera keluar kamar meminta asisten rumah tangga untuk mengambil alat pembersih. Aku segera membersihkan sendiri. Aku tidak mau jika Mas Banyu terganggu.

"Mas, Kita ke rumah sakit saja ya?"

Dia hanya menggelengkan kepalanya. Aku tahu dia tidak kuat untuk saat ini. Tapi bagaimanapun kondisinya lebih penting.

Aku bergegas mencari supir. Aku memintanya menyiapkan mobil Mama. Aku juga meminta satpam untuk membantuku memapah Mas Banyu keluar kamar.

"Mbak Garin, kita punya kursi roda. Bekasnya ibu pas sakit dulu. Saya cek ke gudang dulu." Kang Badrun, sopir Mama.

"Iya kang."

Kang Badrun dengan cepat segera membawa kursi roda bekas Mama. Kalaupun harus dipapah sepertinya sudah tidak kuat lagi. Jalan satu satunya hanya menggunakan kursi roda untuk menuju mobil.

Mas Banyu hanya pasrah saja saat kita membawanya ke rumah sakit. Dia tidak mengatakan apa pun. Dia hanya tidur dengan bersandar di pundakku.

Mobil mulai memasuki rumah sakit swasta terdekat dari rumah. Dengan sigap para perawat membawa masuk ke ruangan pemeriksaan.

Dokter menempelkan stetoskop ke dada dan perut Mas Banyu secara berurutan. Lalu perawat juga mulai melakukan pengecekan tensi darah. Aku hanya bisa menunggu di sebelah Mas Banyu.

Begitu selesai dengan semua pemeriksaan aku masih harus menunggu hasil diagnosa dokter. Mas Banyu masih terbaring lemas.

"Demamnya baru hari ini ya bu?" Tanya sang dokter ramah.

"Iya dok."

"Selain demam ada keluhan apa lagi?"

"Muntah dan pusing dok." Jawabku.

"Oh, jadi begini bu. Sepertinya Pak Banyu kecapean. Ini tensi darahnya juga rendah. Di usahakan untuk istirahat cukup hari ini. Makannya juga harus di jaga. Semoga segera sehat untuk Pak Banyu."

"Terima kasih dok."

"Ini resep obat untuk Pak Banyu. Jika dalam waktu tiga hari masih demam, sebaiknya diperiksakan kembali. Nanti kita ambil sampel darah untuk uji lab." Jelas dokter.

Aku bersyukur jika Mas Banyu tidak perlu rawat inap sekarang. Semoga saja Mas Banyu ga apa apa.

Aku segera memapah Mas Banyu untuk keluar. Sebelum masuk mobil aku sempat meminta Kang sopir untuk menebus obat setelah kita pulang.

Mobil segera melesat meninggalkan rumah sakit. Badan Mas Banyu masih panas sekali rasanya. Srigala dingin yang hidup di kutub sekarang sedang menjadi anak anjing yang lemah. Ternyata Mas Banyu memiliki sisi manja yang seperti ini.

Selama di perjalanan dia selalu menyandarkan kepalanya di bahuku. Walaupun pegal tapi aku bahagia. Bukan maksudku bahagia karena Mas Banyu sakit. Tapi aku bahagia ternyata Mas Banyu memiliki sisi manja dan membutuhkan aku seperti sekarang.

Mobil segera masuk ke istana Wicaksono. Satpam rumah dan kang sopir segera membantuku untuk membawa Mas Banyu masuk ke kamar.

Mas Banyu segera berbaring di atas ranjang. Aku atur suhu ruangan agar tidak terlalu dingin.

"Garin. Bisa kamu aja yang buatin buburnya? Tapi agak asin ya, lidahku pahit." Pintanya memelas.

"Iya Mas. Aku buatin bubur dulu." Mana mungkin aku bisa menolaknya.

Jika saja aku ini istri yang kejam pasti aku sudah membalas semua perlakuannya. Menurutku merawatnya seperti sekarang bisa menjadi balas dendam yang sempurna.

"Lo, Garin. Kamu ga ke catering?" Tanya Mama tiba tiba.

"Mas Banyu sakit Ma. Mama kok udah pulang?" Tanyaku balik.

"Sakit apa? Kamu kok ga ngabarin Mama. Tadi Mama minta dianter pulang. Perasaan Mama ga enak. Ternyata Banyu sakit."

"Maaf Ma, tadi aku harus bawa Mas Banyu ke rumah sakit. Soalnya badannya demam tinggi."

"Ya ampun. Ya udah Mama lihat Banyu dulu. Kamu lanjutin masaknya." Mama segera pergi ke lantai dua untuk melihat jagoannya.

Untung saja semua perlengkapan tidur Mas Banyu sudah aku bereskan. Mas Banyu juga tidur di ranjang. Ga perlu takut ketahuan deh.

Aku segera melanjutkan membuatkan bubur untuk Mas Banyu. Sebenarnya tadi mbak ART juga udah buat bubur. Tapi sepertinya tidak cocok di lidah Mas Banyu.

Aku segera mengantar makan siang untuk jagoan Mama yang sedang tumbang. Memang sebenarnya jam makan siang juga hampir terlewat.

Aku lihat Mama sedang memijat kaki Mas Banyu. Mas Banyu sepertinya masih tertidur. Untung saja obat juga sudah di beli. Jadi tinggal makan dan minum obat.

"Ma, Mama kalau cape istirahat dulu aja. Biar Aku yang urus Mas Banyu. Makan dan obat Mama udah aku siapin." Aku tahu pasti beliau khawatir dengan kondisi anaknya saat ini, tapi kesehatan Mama juga penting menurutku.

"Mama temani Banyu dulu."

"Mas, ayo bangun. Makan dulu, minum obat terus baru tidur lagi." Ucapku lirih di telinganya.

Mas Banyu segera membuka matanya dan terkejut melihat Mama yang sudah di dalam kamar.

"Mama suapi ya Banyu?" Mas Banyu hanya mengangguk saja.

Mungkin di mata Mama, Mas Banyu tetaplah anak kecil. Aku jadi ingat perkataan ibu. Walaupun sebesar dan sedewasa pun anak pasti akan selalu menjadi bayi kecil di mata orang tuanya.

Aku lihat Mama begitu telaten menyuapi Mas Banyu. Belau pasti juga merindukan saat saat seperti ini. Merindukan sosok anak anak dalam diri Mas Banyu. Yang pasti sangat mengharapkan kahadiran seorang cucu dari Mas Banyu.

Hi teman teman.

Apa kabar kalian semua?

Semoga selalu baik. Selalu dalam lindungan Tuhan.

Mau tahu dong kalian berasal dari mana? Sebutin juga dong makanan Khas di daerah kalian apa. Siapa tahu bisa untuk referensiku.

Thanks semua.

belapaticreators' thoughts