Ada satu sifat menyebalkan dalam diriku. Yaitu, aku tidak bisa tidur jika aku belum menemukan sesuatu. Setelah makan malam tadi, Kak Fifah menyuruh semua anak voli untuk pergi ke ruangan yang disediakan. Karena anak-anak voli semuanya pria dan ada banyak, mereka ditempatkan di satu ruangan dengan sleeping bag mereka sendiri. Sementara aku dan Kak Fifah memiliki kasur untuk kami tiduri. Kak Fifah sudah tidur lebih dulu, sedangkan aku sendiri tidak dapat tidur sama sekali. Waktu sudah menunjukkan pukul setengah sebelas saat aku keluar dari kamarku dan pergi ke luar vila.
Di luar sangat dingin saat itu. Tapi aku hanya sebentar saja di sini untuk mencari sinyal. Jadi, mungkin tak apa jika aku tidak masuk untuk mengambil jaket di kamar.
Baiklah. Siapa penemu bus, sebenarnya?
Gordon Bronz. Orang Inggris lagi. Kenapa tidak orang Indonesia? Ya sudahlah tak apa. Tapi, kenapa dinamai bus, ya?
"Zee ...?"
Aku menggaruk hidungku sambil mengangkat wajah, melihat si pemanggil yang ternyata adalah Abimayu. Aku kira setan. "Ah, Abi," kataku sambil mulai mencari kenapa harus dinamai bus dan bukannya nama yang lain.
"Lo ngapain di sini?" Tanya Abimayu saat berada di dekatku. Dia terburu melepaskan jaket di tubuhnya. Abimayu meraih salah satu tanganku untuk dimasukkannya ke dalam lengan jaket.
"Lagi nyari tahu tentang bus." Jawabku. Terima kasih kepada Wikipedia. Aku jadi bisa tahu jika bus diambil dari bahasa Latin.
"Harus banget ya, nyari tau malem-malem gini?" Heran Abimayu sambil memasukkan tanganku yang lain ke dalam jaket.
Aku hanya menganggukkan kepalaku saja. "Gue nggak bisa tidur." Karena penasaran, tentu saja.
"Gue juga," katanya sambil meraih tanganku, membawaku ke sebuah kursi ayunan yang terdapat di teras vila tersebut. Kursi ayunan itu bisa dipakai 2 orang, walaupun rasanya sempit. Mungkin, karena itu aku harus duduk di pangkuan Abimayu. "Jadi, ini kali pertama lo naik bus?"
Aku mengangguk, menutup layar kunci dan mendongak menatap Abimayu yang hidungnya sudah memerah karena kedinginan. Lucu sekali hidungnya.
"Dan lo langsung nyari tau tentang itu?"
Aku kembali mengangguk. "Gue juga pernah nyari tahu tentang pesawat waktu pertama kali naik pesawat."
"Kenapa?"
Aku hanya mengedikan bahuku sekilas. Tanganku masuk ke dalam saku jaket Abimayu. Wangi Abimayu kini memenuhi indra penciumanku. "Bukannya aneh banget waktu lo sadar, semua benda di sekitar lo itu hasil dari sains? Bahkan, garam dan ponsel lo juga hasil dari sains, kan?"
Abimayu malah mendengus geli. Dia mengacak rambutku yang terurai malam ini. "Kepala lo itu, penuh banget sama pertanyaan, ya?"
Aku hanya menyenderkan kepala belakangku di dada Abimayu. "Itu karena gue suka menjawab sesuatu."
"Tapi nggak semua pertanyaan punya jawaban."
Hah? Memangnya ada? "Contohnya?"
"Perasaan orang," kata Abimayu sambil mengedikan bahunya. "Perasaan orang bisa berubah-ubah, dan itu bikin perasaan jadi sesuatu yang rumit dan kadang nggak bisa nemuin jawabannya."
Aku menggeleng tegas. "Perasaan juga punya jawabannya sendiri. Cuma, manusia selalu menyangkal apa yang dirasakan sebenarnya." Walaupun ini adalah jawaban Laras waktu membicarakan Abimayu, tapi tak apalah aku gunakan saja untuk membalas Abimayu.
Perut Abimayu berhenti bergerak. Aku segera menatapnya, takut-takut kalau Abimayu malah berhenti bernapas dan mati. Namun, yang kulihat adalah pandangan menerawang darinya. Aku kemudian memiringkan dudukku di pangkuan Abimayu, takut-takut Abimayu benar-benar mati karena aku bersender padanya.
Abimayu menatapku. Kali ini, aku tidak perlu mendongak saat membalas tatapannya. Abimayu malah tersenyum tipis padaku. "Mau gue kasih tau sebuah rahasia?"
Aku hanya mengangkat sebelah alisku. Rahasia? "Kalau kebongkar, bukan gue pelakunya. Temen gue cuma Laras."
Abimayu terkekeh dan mengangguk. "Oke," ucapnya sambil mengambil napas panjang. "Gue ..., bukan anak yang diinginkan."
Aku hanya mengangguk saja menanggapinya. "Gue juga. Tadinya, nyokap bokap pengen punya anak cowok, tapi keluar cewek. Yaitu gue."
Abimayu malah tertawa pelan mendengar ucapanku. Akhir-akhir ini, dia sering sekali tertawa. "Bukan. Bukan gitu," ucapnya sambil menghela napasnya pelan. "Bokap jatuh cinta sama nyokap gue waktu masih kecil. Tapi istilahnya, kalau gue nggak keburu kebentuk, dia nggak akan nikah sama nyokap kandung gue. Lucu kan?"
Aku hanya menggelengkan kepalaku. Lucu dari mananya? Kenapa Abimayu selalu menaruh kata lucu di setiap ironi dalam hidupnya? Membuat aku merasa kasihan saja padanya. Padahal, walaupun Laras menangis sekencang apapun, aku tidak kasihan saat dia bercerita.
"Di keluarga gue, punya sebuah kepercayaan. Namanya kutukan orang Eropa."
"Kutukan orang Eropa?" Ulangku, dan Abimayu mengangguk. Aku baru tahu tentang kutukan itu. Apa aku harus mencaritahunya? Tapi tunggu. Abimayu kan orang Asia?
"Ketika umur seorang anak di keluarga Damian udah lebih dari angka 10, maka kutukan orang Eropa itu bisa aktif."
"Kutukannya kayak gimana?"
"Kutukannya, kalau di umur 11 tahun anak dari keturunan Damian jatuh cinta, maka cinta itu adalah cinta sejati."
Aku mengedip mendengarnya. "Karna itu lo terpaku sama Kania?"
"Um," angguk Abimayu. Dia malah kembali mendengus geli yang sarat akan ironi. "Tapi, bokap gue nggak mempan sama kutukan itu."
Aku kembali mengedip mendengarnya. Kali ini, ada perubahan dari ekspresi Abimayu. Bibirnya yang tadi tersenyum penuh ironi, kini semakin memaksakan senyum dan terlihat kaku ketika menggerakkan bibirnya. "Dia jatuh cinta sama nyokap gue di umur 11 tahun, dan jatuh cinta sama nyokap tiri gue di umur tuanya. Kakek gue bahkan nggak bisa nerima pernikahan itu sampai sekarang, karena dia percaya tentang kutukan orang Eropa itu. Kira-kira, menurut lo, kenapa bokap bisa gitu?"
Padahal aku ingin menanyakan tentang ibu kandungnya, tapi Abimayu sudah bertanya pendapatku lebih dulu. Aku menyelipkan rambutku ke belakang telinga. Mataku kembali mengedip saat jari telunjukku menggaruk alisku. Sebenarnya, "lo mau gue ngomentarin yang bagian mana?"
Abimayu mengedikan bahunya santai. "Terserah."
Aku mengangguk. "Dari namanya aja, gue kurang yakin."
"Maksud lo?"
"Kutukan. Kenapa harus pakai kata-kata itu buat disandingkan sama kata cinta sejati?"
Abimayu malah terkekeh. "Jadi, menurut lo, bokap gue bener, gitu? Dia nyentuh cewek lain disaat dia punya nyokap gue."
Aku mengedipkan mataku berkali-kali. Kalimat yang tidak asing datang dari Abimayu. "Kayak kita, ya?" Tanyaku kemudian, membuat Abimayu seketika terdiam dengan pandangan terkejut. Aku menghela napas panjang. "Lo mau gue kasih jawaban yang masuk akal, nggak?"
Abimayu mengedipkan matanya, terlihat penasaran.
Aku mulai meneruskan ucapanku. "Johnny Depp pernah bilang, jika kamu jatuh cinta pada 2 orang dalam satu waktu, maka pilihlah orang kedua. Karena kamu tidak akan jatuh cinta pada orang kedua jika kamu benar-benar jatuh cinta pada orang pertama," ucapku, membuat Abimayu malah makin terdiam. "Tapi gue nggak setuju dengan omongan itu, setelah tau banyak hal tentang cinta."
Kali ini dia yang mengedip mendengar ucapanku. "Kenapa?"
"Karna cinta itu bukan sesuatu yang instan. Kalau lo belum benar-benar yakin yang lo rasain sama orang pertama itu adalah cinta, seharusnya lo mundur dari awal. Johnny Depp cuma pengen putus sama pacarnya, makanya dia ngomong gitu. Dia nggak bener-bener jatuh cinta sama orang pertama. Dia cuma nyari status pacaran doang."
Abimayu mengedipkan matanya berkali-kali. Mulutnya terbuka setengah. Sedetik kemudian, dia tertawa pelan. "Cuma lo yang berani ngomong gini atas quotes Johnny Depp."
"Lagipula," aku meneruskan pendapatku. "Dari mana Johnny Depp tau kalau itu bakal jadi pilihan terakhir dia? Yang kedua bisa jadi yang pertama juga, kan? Trus abis gitu, jadinya bukan cuma cinta kedua ataupun pertama. Itu bakal bertambah lagi jadi cinta ketiga, keempat dan seterusnya kalau kita terpaku sama quotes dia. Dan lagi, kalau misalkan pasangan udah nikah, teori itu jadi nggak berlaku lagi. Kalau udah nikah, cinta kedua bukanlah cinta, tapi kesalahan. Sebuah dosa."
"Sebuah dosa?"
"Um!" Anggukku. "Bukan cuma satu orang yang tersakiti. Dua keluarga, tersiksa sama cinta kedua dalam pernikahan. Itulah kenapa disebut sebuah dosa."
Abimayu menganggukkan kepalanya, terlihat puas dengan jawabanku. Dia mengacak-acak rambutku lagi. "Zee udah gede, ternyata. Bisa sampe berpendapat kayak gitu. Itu kan susah, Zee, buat orang kayak lo? Lo ngasih jawaban pakai perasaan, loh. Hati lo nggak papa, kan? Nggak sakit, kan?"
Aku tersenyum manis untuk meledeknya. Namun Abimayu malah terdiam, dan aku dengan bebas mengulurkan tanganku untuk menampar pelan pipinya berkali-kali. "Ya. Dan gue nggak mau denger itu dari cowok yang nyentuh cewek lain disaat dia udah punya cewek."
Abimayu malah terkekeh pelan. "Udah pinter ngejawab, ya, ternyata." Katanya sambil tersenyum manis.
Sungguh, "Kenapa lo sekarang jadi sering senyum?"
Abimayu mengerjap sebelum mengangkat kedua alisnya tinggi-tinggi. Dia kembali terkekeh pelan. "Mungkin, karna gue nyaman sama lo?"
"Itu pertanyaan?"
Abimayu mengedikan bahunya dan kembali terkekeh.
Aku menarik napas sejenak. Mataku menatap wajah Abimayu dengan lamat-lamat. Wajah ini yang digilai banyak wanita. Wajah ini juga yang selalu berada dalam narasiku selain Laras. Aku memicingkan mataku, menatapnya dengan saksama.
Abimayu masih menghadapku, tapi matanya menatap ke arah lain. "K-kenapa ngeliatinnya gitu banget?"
"Bisa lo ceritain tentang lo dan Kania?" Pertanyaan itu tiba-tiba saja hadir dalam benakku. Aku tidak menyalahkan wajah Kania yang biasa-biasa saja. Aku juga tidak menyalahkan kehidupan Kania yang seperti Cinderella. Namun, aku pun penasaran tentang bagaimana 2 orang yang berbeda latar belakang bisa bersatu. Seperti Kate Middleton dan Pangeran William.
"Lo mau gue cerita? Semalem ini?" Heran Abimayu, menaikkan sebelah alisnya.
Aku mengedip. Benar juga. "Oh iya yah udah malem, besok latihan," ucapku, kemudian turun dari pangkuan Abimayu dan berdiri. "Kira-kira, kapan lo bisa ceritain itu ke gue?"
Abimayu lalu mengedipkan matanya, terlihat bingung. "Besok kan tim sibuk banget. Apalagi ada latih tanding sama anak sekolah lain. Jadi, mungkin waktu di bus lo bisa duduk bareng gue?"
Aku mengernyitkan alis. "Gue duduk bareng Kak Fifah." Dan Kak Fifah sudah berjanji akan memberikanku jawaban mengenai kenapa dia bisa menyukai kapten selama itu.
"Lo bisa pindah bareng gue. Kak Fifah sama kapten."
Aku menggelengkan kepalaku. "Enggak. Kak Fifah mau cerita banyak hal sama gue. Gue juga mau belajar sosialisasi dari Kak Fifah."
Abimayu mengatupkan mulutnya, membuat bibirnya bergaris lurus. Dia menghela napas panjang. "Kalau begitu, pulangnya?"
"Di rumah gue?"
"Nggak. Gue nggak mau diganggu Laras. Di tempat gue aja."
Aku mengedip dan mengangguk. "Oke. Kalau gitu, gue ke kamar dulu sekarang."
"Bareng," Abimayu berdiri dengan cepat, sementara aku sudah mulai berjalan ke dalam vila. Sebuah tangan tiba-tiba tersampir di kedua bahuku. Punggung dan kepalaku memberat seketika saat Abimayu bersandar sepenuhnya di punggungku.
Aku hanya menghela napas. Apa dia tidak sadar diri kalau dia itu berat?