webnovel

Hasut

Penang Hospital, Penang, Malaysia, 1990.

Rizal masih penasaran mendengar cerita Atuk Irwansyah. Setelah kemarin malam pulang, siang hari ini ia sudah kembali menjenguk Atuk Irwansyah di rumah sakit. Ia juga ingin membantu mengurusi hal administrasi Atuk Irwansyah karena kuatir cucunya tidak jadi datang.

Rizal menemukan orang tua itu tertidur pulas sendirian di kamarnya. Setelah meletakkan buah tangan yang dibawanya, ia duduk di kursi yang dekat dengan sisi ranjang sambil memandangi wajah Atuk Irwansyah.

Tiba-tiba terdengar ketukan pintu kamar. Rizal bergegas membuka pintu.

"Assalamu'alaikum ... Hah, Rizal?"

"Fania? Masya Allah! Waalaikumussalam."

Rizal dan Fania saling terpaku berpandangan. Sesaat kemudian Fania menunjukkan ekspresi wajah marah pada Rizal.

"Fan, kamu itu cucunya Atuk Irwansyah?" tanya Rizal.

Fania mendengus.

"Beliau ada di dalam, ayo masuk, Fan," ajak Rizal canggung.

Fania masuk menghampiri kakeknya yang sudah terbangun dan duduk di ranjangnya. Mereka berpelukan, setelah itu Fania duduk di sisi ranjang, sementara Rizal duduk berdiri agak jauh untuk memberi kesempatan pada Atuk Irwansyah dan cucunya bicara.

*****

"Maafkan aku, Fania," ujar Rizal saat ia duduk berdua dengan Fania di kantin rumah sakit.

"Udah enggak penting, Zal. Udah 5 tahun yang lalu kejadiannya. Kamu kan terpaksa minta maaf, karena kita enggak sengaja ketemu di sini," sahut Fania ketus.

"Seenggak-enggaknya izinin aku buat ngejelasin. Aku punya alasan, kenapa mendadak ninggalin kamu dan menghilang tanpa kabar."

"Aku udah tahu. Kamu selalu minder soal kesenjangan ekonomi kita, selalu ngerasa enggak punya masa depan! Terus, menurut kamu, itu pantas buat jadi alasan ninggalin aku gitu aja?"

Rizal terdiam.

"Zal, masalah kamu itu sebetulnya bukan ekonomi, tapi kesombongan! Setiap bantuan yang datang dari aku pasti kamu tolak, aku sering banget bukain jalan buat kamu, mau kasih pinjaman modal usaha, ngenalin relasi, lowongan kerja, semuanya kamu tolak. Manusia sombong!"

"Iya, aku terima. Maafin aku, ya," ujar Rizal pelan.

Fania terdiam sejenak.

"Jangan memonopoli kebaikan, Zal. Kamu itu selalu ngebantu siapa aja yang butuh bantuan kamu. Apa salahnya gantian? Kasih kesempatan orang lain ngebantu kamu," omel Fania.

"Iya, aku salah, aku memang terlalu sombong waktu itu. Fan, aku kangen banget sama kamu," ujar Rizal.

Fania cemberut, sementara Rizal malah tersenyum.

"Aku harap saat ini kamu masih sendiri. Apa harapanku itu terlalu besar?" tanya Rizal.

"Apa urusannya?"

"Karena aku enggak mungkin melamar orang yang sudah bersuami untuk jadi istriku," jawab Rizal.

Fania merengut, lalu membuang muka untuk menyembunyikan perasaannya yang sebenarnya senang mendengar pernyataan laki-laki yang masih dicintainya.

"Serius, Fan. Alhamdulillah, sekarang insya Allah aku udah bisa untuk melamar kamu. Kehidupan ekonomiku udah jauh lebih baik."

"Terus, kenapa kamu enggak pernah cari aku?"

"Siapa bilang? Pas aku mampir ke Jakarta, orang yang nempatin rumah kamu ngasih tahu, kalo keluarga kamu udah pindah dan dia enggak punya alamat kamu."

"Siapa suruh ninggalin aku tanpa kabar?"

"Fan, percaya deh. Kalau kita berjodoh, Atuk Irwansyah pasti bahagia. Apa aku ngomong ke beliau aja ya, biar enggak kamu tolak," rayu Rizal.

Fania kembali membuang muka, ia berusaha menyembunyikan senyumnya.

"Gimana, Fan?"

"Kamu tuh nyebelin, tau enggak? Udah deh, aku males ngomong sama kamu, kita balik aja ke tempat Atuk."

Setelah berada di kamar Atuk Irwansyah, Rizal benar-benar mengejar dukungan Atuk Irwansyah, ia menceritakan hubungannya dengan Fania dan bilang ingin melamar cucunya. Setelah itu Rizal menawarkan Atuk Irwansyah dan Fania untuk menempati salah satu apartemennya yang kosong di Kuala Lumpur.

Rizal masih ingin mendengar Atuk Irwansyah untuk melanjutkan ceritanya. Untuk menguatkan alasannya, Rizal mengatakan bahwa ia berencana ikut ke Jakarta untuk mengantar sekaligus melamar Fania setelah menyelesaikan urusannya. Atuk Irwansyah setuju, ia menjadi kunci kemenangan Rizal untuk membuka kembali pintu hati Fania.

*****

Rumah Tengku Rasyid, Medan, 1938

Keluarga Tengku Rasyid dalam suasana berbahagia karena Tengku Sani dan Tengku Aisyah baru saja menikah beberapa hari yang lalu. Saat ini mereka sedang makan malam bersama.

Tengku Sani telah selesai makan, istrinya segera mendekatkan mangkok cuci tangan dan serbet untuk suaminya. Tengku Sani menoleh pada Irwansyah yang sedang memandangi pasangan pengantin baru tersebut.

"Ku ajak bersanding berempat, tak mau. Sekarang, kau gigit jarilah," ujar Tengku Sani.

Irwansyah hanya tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepala.

"Wan! Karene aku lebih dulu menikah, mulai malam ni kau panggil aku Abang, Paham?" canda Tengku Sani.

"Paham, Abangku," sahut Irwansyah.

Tengku Rasyid tertawa. "Wan. Kalau kau mau, Entu bersedie mengantar kau meminang Farisya, sebelum berangkat ke Belande."

"Ha! Apelagi? Pucuk dicinte, ulam yang tibe," ujar Tengku Sani sambil menepuk meja. "Tapi nampaknye, apepun yang tibe, angke timbangan saje yang ditengoknye. Gemar kali kawan ini menimbang."

"Bukan begitu, abangku yang bijaknye luar biase. Kau kan baru saje nikah, manalah elok bile tak berjarak," jawab Irwansyah, lalu ia menoleh pada Tengku Rasyid, "Lagi pule, Entu, Irwan ingin menikah setelah urusan sekolah selesai, supaye bise fokus dan cepat."

Istri Tengku Rasyid menggeleng-gelengkan kepala. "Niat kau itu betul, Nak. Tapi jangan lupe, perempuan cantik macam Farisya, pasti banyak yang nak meminangnye. Bile kau tak cepat, bise diambil orang, menangislah kau nanti sepulang dari Belande."

"Janganlah berharap yang tak bagus, Mak. Farisyanye pun dah setuju menunggu Irwan," jawab Irwansyah.

"Farisya setuju, lalu Tengku Hasyim dan bininye cemane? Orang tue tu lebih bijak menimbang resiko," sahut istri Tengku Rasyid.

Irwansyah memijit-mijit keningnya sendiri karena tidak punya jawaban.

"Sudahlah! Jodoh, maut, rezeki, Allah yang mengatur. Bile anak kite nak menikah dulu, nikah! Bile nak sekolah dulu, sekolah," sahut Tengku Rasyid lalu menepuk bahu Irwansyah. "Tapi, Wan, masih ade waktu sebulan sebelum ke Belande. Pikirkanlah baik-baik, apepun keputusanmu, Entu mendukung."

"Maksud Emak pun begitu, pikirkanlah dulu, Wan. Bukannye nak membuat kau berkecil hati. Yang penting, bile memang kau nak menikah setelah pulang, selesaikan sekolahmu dengan cepat. Satu lagi, jangan kau kecewakan hati Farisya. Emak tentunye selalu mendoakan anak-anak emak supaye bahagie dunie dan akhirat," ujar istri Tengku Rasyid.

"Baik, Mak, Insya Allah. Terima kasih atas segale perhatian Emak dan Entu pade Irwan," jawab Irwansyah.

Tengku Sani berdiri kemudian menepuk pundak Irwansyah. "Wan, selepas kau makan, kawani aku cari angin. Dah lame kite tak pigi ke tempat sejuk. Mau tak ke Berastagi berdue?"

"Macam masih anak lajang saje, abang awak ni. Boleh kami pigi, Akak Aisyah?" tanya Irwansyah.

"Boleh, tapi janganlah Bang Irwan panggil awak, Akak. Macam langsung tue rasanye," sahut Tengku Aisyah.

"Kau dengar itu, San? Tak jadilah kau, ku panggil Abang, hehe. Awak selesaikan makanku sekejap, ye," ujar Irwansyah.

*****

Berastagi, 1938

Irwansyah dan Tengku Sani duduk di depan mobilnya yang parkir menghadap lembah.

"Pasti kau nak membujukku segere kawin?" tanya Irwansyah.

"Perasaan betul! Kau nak jadi bujang lapuk atau nak kawin dengan hantu belaw pun, suke hatilah," jawab Tengku Sani sambil tertawa, tiba-tiba wajahnya berubah serius. "Wan! Aku nak cakap tentang kondisi negeri Melayu. Ape kau tak merase, kote-kote kite ini sudah semakin sesak?"

"Itulah jadinye. Banyak betul lajang yang tak sabar nak cepat kawin macam kau," ledek Irwansyah.

"Aku serius, Wan."

"O, mak, memang serius nampaknye."

"Belakangan ni, aku merase bagai orang asing di tanah kelahiranku sendiri. Seringkali beberape orang terpelajar menudingku sebagai kaum feodal, antek-antek Belande, pengkhianat. Ape kau juge mengalaminye?"

Irwansyah terdiam sejenak. "Aku pun pernah bejumpe dengan orang-orang macam tu."

"Dimane dan kapan, Wan?"

"Di Langkat, pade sebuah acare musyawarah para pemude."

*****

(Cerita Irwansyah tentang pertemuannya beberapa hari yang lalu)

Rumah Rahman, Langkat.

Malam itu Irwansyah menghadiri undangan acara tertutup yang digelar para pemuda. Sebenarnya ia datang tepat waktu tetapi mereka telah mulai sebelum kedatangannya.

Saat ia tiba, seorang bernama Rusdi sedang bicara di antara sekitar 20 pemuda yang duduk bersila di dalam rumah panggung. Irwansyah masuk pelan-pelan agar tidak mengganggu, ia duduk di dekat pintu rumah lalu menyalami beberapa orang di dekatnya.

Irwansyah memperhatikan wajah para tamu sambil mendengarkan pidato Rusdi dengan serius. Beberapa tamu merupakan para pendatang yang belum pernah dilihatnya di Langkat. Usai pidato, para hadirin bertepuk tangan.

Rahman menyapa Irwansyah. "Selamat datang Bang Irwan! Untuk yang baru pertama kali berjumpa, kenalkan, ini Bang Irwan! Salah seorang tokoh pemuda Langkat asal Deli, Abang awak ini akan melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi ke Belanda. Kita berharap, sepulang dari Belanda, beliau akan menjadi pejuang yang tak kalah hebatnya dengan pejuang-pejuang senior di tanah Jawa."

Para pemuda bertepuk tangan, kecuali Syam, ia memandangi Irwansyah dengan sinis. Syam merupakan salah satu dari pendatang baru.

"Silahkan, Bang, sampaikan sesuatu untuk kami," pinta Rahman.

Irwansyah duduk bertumpu pada lututnya agar terlihat lebih tinggi. "Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Sebelumnya saya mohon maaf karena hanya mendengar sedikit penjelasan tentang perjuangan kemerdekaan, kalau tak salah, nama beliau Bang Rusdi."

"Uda Rusdi, Bang. Beliau orang awak," koreksi Rahman sambil tertawa.

"Panggil saya Rusdi saja Bang, tampaknya saya lebih muda dari Abang," ujar Rusdi.

"Oh, baiklah. Saya sebenarnya ingin bertanya saja. Apa boleh?" tanya Irwansyah.

"Bang Irwan tentulah layak menyampaikan pemikiran di sini, tetapi jika sebelumnya ingin bertanya, itu pun boleh. Silahkan, Bang," sahut Rusdi.

"Terima kasih. Saya setuju dengan dengan hal-hal yang yang masih sempat saya dengar. Pertanyaan saya, apakah seluruh raja, sultan, pemuka adat, pemimpin masyarakat hingga tokoh ulama di sini telah diajak bicara dan setuju dengan ide perjuangan membentuk satu negara baru ini?" tanya Irwansyah.

"Saya jawab sebisa saya, Bang. Tentunya, diantara yang tadi abang sebut, ada yang pernah diajak bicara dan ada pula yang belum. Ada yang setuju dan ada pula yang tidak setuju. Itulah yang jadi tugas kita, berusaha meyakinkan pada mereka yang belum paham," jawab Rusdi.

"Maafkan, karena sempitnya ilmu, saya tentu harus lebih banyak bertanya, agar bisa ikut membantu meyakinkan orang lain. Kita tentu tahu, di negeri ini banyak kerajaan yang telah berdiri berabad-abad lamanya. Kita tidak sedang mendirikan negara di atas tanah kosong yang tak bertuan. Jika negara baru kita berhasil berdiri, bagaimana bentuk negara dan pembagian kekuasaannya dengan kerajaan-kerajaan itu?" tanya Irwansyah.

Rusdi berpikir keras, ia tampaknya belum memiliki jawaban.

"Kau seorang bangsawan?" tanya Syam.

"Bukan, tapi saya cukup dekat dengan para bangsawan," jawab Irwansyah.

Syam tertawa sinis. "Oh, pantas! Hey, kawan-kawan, untuk apa kita mengajak seorang penjilat bangsawan bicara soal perjuangan?"

"Syam!" bentak Rusdi.

"Jangan kau potong dulu, Rusdi! Kau pun harus dengar! Kita harus bisa membedakan siapa kawan, siapa lawan! Para bangsawan tak mungkin setuju dengan cita-cita kita, begitu pula dengan para penjilatnya yang berjiwa hamba sahaya!" ucap Syam.

Burhan yang duduk di sebelah Rahman berdiri dengan wajah marah. "Hey pendatang, jaga mulut kau!"

Rahman pun ikut berdiri sambil memegang bahu Burhan untuk mencegah kemungkinan buruk.

Burhan menepis tangan Rahman. "Aku orang asli kampung sini! Tak pernah kami punya masalah dengan bangsawan! Kalau kau mau sok hebat, ayo kita berkelahi di luar!"

"Burhan, duduklah. Tunjukkan pada para pendatang baru, bahwa kita bisa bermusyawarah dengan kepala dingin," pinta Irwansyah.

Burhan sangat hormat pada Irwansyah, sebagaimana umumnya para pemuda kampung lainnya. Ia pun mau duduk kembali. "Maaf, Bang Irwan."

"Tadi saya hanya bertanya. Bila ada yang berkenan menjawab, jawablah, bila ada pertanyaan atau pernyataan yang salah, sanggahlah. Bila tak penting untuk ditanggapi, abaikanlah. Berbeda pendapat itu soal biasa, sepanjang kita bisa bicara baik-baik," ujar Irwansyah.

"Saya jawab! Tugas raja itu berperang melawan penjajah! Bukan tunduk pada penjajah! Untuk apa raja yang tidak ikut berperang mendapat bagian kekuasaan?" ujar Syam sambil menatap Irwansyah.

"Baiklah, izinkan saya agak berpanjang lebar. Apapun sebutannya, baik raja, sultan, kaisar dalam sistem monarki atau presiden dalam sistem republik,kemudian baik kerajaan, kesultanan, kekaisaran, negara serikat, negara federal hingga negara kesatuan, semua itu adalah tentang politik atau kekuasaan. Termasuk apa yang sedang kalian perjuangkan, juga adalah tentang kekuasaan. Mengenai penjajahan, sebelum penjajah dari Eropa datang, negeri-negeri kita sendiri pun saling menjajah, begitu pula di antara negeri para penjajah dari Eropa itu, mereka juga saling menjajah. Dunia memang sedang berada di zaman takluk atau ditaklukkan. Saat berhadapan dengan penakluk, penguasa itu hanya punya dua pilihan politik, yaitu perang atau takluk tanpa perang. Menang perang dapat semua, kalah perang kehilangan semua dan takluk tanpa perang kehilangan separuh. Setiap raja atau sultan di negeri-negeri kepulauan kita ini punya kebijakan politik masing-masing. Jadi maaf, bukan saudara Syam yang harus menentukan tugas dari raja."

"Oh, kau ini pembela para raja yang suka menghisap darah rakyatnya?" serang Syam.

Irwansyah tersenyum. "Setahu kami yang sudah lama tinggal di sini, Sultan tidak pernah menghisap darah rakyatnya. Justru, kami merasakan ketentraman, kedamaian serta ikut menikmati kemakmuran."

"Jika ingin rakyat tentram damai dan makmur, hapuskan seluruh kerajaan!"

"Maaf, apakah niat perjuangan kita ini untuk menyatukan semua penguasa untuk membuat negara yang lebih besar atau justru ingin jadi penjajah baru yang menjajah saudaranya sendiri?" tanya Irwansyah.

Syam tertawa mengejek, "Apa saya bilang? Untuk apa mengajak seorang penjilat bangsawan bicara soal perjuangan kemerdekaan?"

"Mudah-mudahan pendapatmu tak mewakili pemikiran para pejuang kemerdekaan. Jika perjuangan ini ingin berhasil, maka kita harus bersatu, merangkul semua kalangan sebagaimana ikrar Sumpah Pemuda."

"Betul! Kecuali para bangsawan!"

"Bahkan demi persatuan, saya berharap semua hadirin sabar menghadapi orang yang suka memecah belah dan terus memaksakan prasangka buruknya," jawab Irwansyah.

*****

(Kembali pada percakapan Irwanysah dan Tengku Sani)

Berastagi.

"Astaghfirullahaladzim. Aku tak menyangke, ternyate ade yang begitu sangat membenci kaum bangsawan," ujar Tengku Sani.

"Orang seperti Syam membenci bangsawan, karene tak kenal dekat," sahut Irwansyah.

"Jangan-jangan bangsawan pun kurang mendekat? Jangan lupe, Wan. Bangsawan tu manusie biase. Ada yang baik, ade pule buruk perilakunye. Aku pun pernah marah kali pade seorang bangsawan kite yang tak perlu ku sebut name," ujar Tengku Sani.

"Ape sebab?"

"Garang betul die, Wan! Mentang-mentang berkuase, main tangan die pade orang tak berdaye."

"Pasti ada sebab."

"Perkare kecil. Cume karene kambing menghalangi mobilnye yang nak lewat. Disepaknye kambing sekaligus yang punye."

"Lalu, ape yang kau buat?"

"Ku tumbuklah muncung bangsawan tu!"

"Alamak! Ngeri kali, kau, San!"

"Ah, kau pun same. Dah banyak orang mentiko27 yang kau kibas hingge tejengkang. Untung Syam bejumpe dirimu setelah kau agak sikit berakal."

Irwansyah tertawa.

"Wan, satu hal penting lagi yang nak kubicarakan. Menurutku, Emak betul. Ape salahnya kau menikah sebelum pergi ke Belande?"

"Nampaknye, cerite pertama tadi cume sekedar pembuke. Ujung-ujungnye, kau kembali nak membujukku segere kawin, kan?"

"Iyalah! Hahaha!"

*****

Catatan Kaki

27. 'Mentiko" adalah sebutan untuk 'lupa daratan" dalam bahasa Melayu.