webnovel

Alta dan Allamanda

Philosophy Color Series 1 ## Bagi Lamanda, Alta adalah pembawa masalah dalam hidupnya. Tapi, bagi Alta, Lamanda adalah sebuah petaka, pembawa sial yang harus segera ia lenyapkan. Perjalanan cerita mereka penuh misteri, penuh dendam, dan.. luka. Hingga, pada akhirnya, salah satu dari mereka kalah telak dan merasakan beratnya penyesalan. Selamat membaca

yupitawdr · Thanh xuân
Không đủ số lượng người đọc
149 Chs

Bab 29 | Chocolate Cosmos

Bab 29. Chocolate Cosmos

When you're too nice to someone, he must think you're stupid enough to be used.

***

 

Aroma vanila bercampur coklat merebak di seluruh penjuru ruangan tempat Lamanda berada saat ini. Ia duduk di salah-satu anak tangga paling bawah sambil mengamati bunga chocolate cosmos di keranjang bunga dekat pintu masuk toko, tempat aroma itu berasal. Tadi, seorang kurir yang biasa mengantar persediaan bunga meletakkannya disitu bersamaan dengan bebungaan lainnya.

Mungkin karena terlalu larut memandangi bunga berwarna merah hati tersebut sehingga Lamanda tidak menyadari keberadaan seorang gadis yang sekarang sudah duduk disampingnya hingga sebuah suara yang terdengar tidak terlalu jelas membuatnya kembali ditarik ke dunia nyata.

Lantas Lamanda menoleh dan sedikit terkejut ketika mendapati keberadaan gadis disampingnya tersenyum, padahal gadis itu tadi berada di balik meja pelayan.

"Lo tadi ngomong sama gue? Sorry, tadi gue nggak fokus," ucap Lamanda tidak enak hati setelah berhasil menetralkan detak jantungnya.

"Enggak." Gadis itu tersenyum lagi lalu beranjak berdiri dan berjalan menuju bunga-bunga yang baru datang itu. Lamanda terus memperhatikannya hingga gadis itu jongkok di depan keranjang bunga yang Lamanda perhatikan. Gadis itu mengambil satu tangkai lalu mendekatkan kelopaknya ke hidung, menghirup aromanya dalam-dalam.

Lamanda masih mengingat dengan jelas bagaimana Kalka mengajak gadis itu kesini dan memperkenalkannya sebagai teman satu kelas. Tapi, jika dilihat dari interaksi keduanya, bagi Lamanda hubungan mereka tidak cocok jika dikatakan hanya sebatas classmate. Lebih dari itu. Meskipun keduanya mungkin akan mengelak jika ia menanyakannya.

Gadis itu bernama Violet. Penampilan luarnya terlihat cantik dan anggun, sangat menggambarkan bagaimana sosok perempuan yang sebenarnya. Kata Kalka ia juga dewasa dan pintar. Namun, yang membuat Lamanda merasa aneh adalah warna kulit dan rambut gadis itu sangat kontras. Kulitnya berwarna putih pucat sedangkan rambutnya berwarna hitam pekat membuatnya terlihat seperti keturunan vampire seperti di film-film yang Lamanda tonton. Ditambah lagi mata gadis tersebut heterochromia dengan warna biru dan ungu pekat. Yang jelas, gadis itu berbeda.

"Lo tahu apa yang kita bisa dapet dari bunga ini?" tanya Violet sembari berjalan mendekat ke arah Lamanda.

Lamanda mengernyit, ia memilih menggeleng dan menggeser tubuhnya bermaksud memberi Violet ruang untuk duduk.

"Bunga ini kelihatannya cantik, wanginya juga enak kayak kue coklat. Kalau orang nggak tau, mereka pasti pengen makan bunganya dan ngira kalau bunga ini aman serta nggak beracun."

"Emang bunga ini beracun?"

Violet mengangguk. Ia menyerahkan bunga tersebut pada Lamanda. "Kita tarik pelajarannya buat hidup. Di dunia ini, jangan pernah menilai satu hal karena tampilan luarnya aja. Bahaya."

"Kenapa tiba-tiba ngomong gitu?"

"Soalnya gue merasa lo mengalaminya."

Lamanda mengangkat sebelah alisnya. Ia menatap Violet meminta penjelasan lebih jauh namun gadis itu memilih untuk memalingkan wajahnya. "Mungkin itu cuma perasaan gue aja. Lupain ," ucap Violet.

Daripada kepikiran lebih jauh, Lamanda memilih melupakan seperti yang Violet katakan. Mereka kembali larut dengan dunia masing-masing sehingga ruangan penuh bunga itu kembali hening.

"Saat gue bilang gue bisa melihat apa yang terjadi di waktu selanjutnya, apa lo bakal percaya?" tanya Violet tiba-tiba membuat Lamanda menoleh.

"Maksud lo ngelihat masa depan?"

"Bisa dibilang begitu. Tapi bukan 'masa depan' dalam artian keseluruhan karena gue hanya bisa melihat apa yang akan terjadi dalam waktu dekat."

Sebenarnya Lamanda bisa saja untuk tidak percaya tapi melihat sorot mata Violet yang penuh kejujuran membuat ia menepis rasa tidak percayanya sedikit, hanya se-di-kit. Mungkin, gadis itu mengatakan sebuah kebenaran.

"Apa yang bisa bikin gue percaya?"

Hembusan angin yang terlampau kencang membuat pintu kaca toko berderak dan membuat lonceng diatasnya berbunyi terus-terusan. Hal itu memancing Violet untuk berjalan ke arah pintu dan melongokkan kepalanya keluar. Melihat betapa gelapnya langit saat ini. Padahal hujan tidak turun.

Ia memilih menutup pintu rapat dan menguncinya dari dalam. Ia bisa membukanya lagi nanti saat ada pembeli.

"Lo bilang apa tadi?" tanya Violet sambil berjalan ke arah Lamanda lagi.

Lamanda yakin bahwa matanya tidak bermasalah. Ia mengerjap beberapa kali mencoba memastikan apa yang ia lihat sekarang. Jantungnya berdegup kencang yang mengakibatkan tangannya bergetar hebat.

"Lo kenapa?" Violet mendekati Lamanda yang terlihat seperti ketakutan.

"Rambut lo..." ucap Lamanda susah payah.

Mendengar itu, Violet menjumput rambutnya yang tergerai dan mencoba melihat apa yang dimaksud Lamanda. Ia tersenyum sumir saat mulai mengerti lalu ia memandang Lamanda. "Apa lo bakal jauhin gue dan nggak mau temenan sama gue karena hal ini?" tanya Violet sambil menunjuk rambutnya.

Tentu saja Lamanda memilih diam. Ia memejamkan mata untuk meminimalisir rasa sakit yang tiba-tiba menyelinap di dadanya.

"Lamanda... are you okay?" Violet kembali duduk dan meraih tangan Lamanda yang terasa sangat dingin. Bulir-bulir keringat mulai nampak di dahi gadis tersebut. Violet menyekanya. "Lo sakit? Lo bawa obat?"

Bagi Lamanda ia seperti sedang bermimpi. Bagaimana bisa ia melihat rambut hitam pekat Violet bercahaya dan berubah warna menjadi ungu pekat dalam kurun waktu yang sangat singkat. Mata sebelah gadis di depannya yang tadi berwarna biru pekat itu sekarang juga jadi berubah menjadi ungu pekat.

"Lo tenang dulu dan nggak perlu takut ke gue," kata Violet dengan raut panik melihat ekspresi kesakitan Lamanda. Deru napas gadis itu juga tidak teratur. "Tenang ya... gue nggak akan nyelakain lo."

Akhirnya, Lamanda mengangguk.

"Sekarang, lo bawa obat?"

Lamanda mengangguk lagi. Ia menunjuk ke arah meja kasir. Violet yang mengerti langsung mengambil sling bag Lamanda dan mengeluarkan botol obat didalamnya.

Setelah itu tidak ada pembicaraan lagi. Lamanda langsung meminum obatnya, menenangakan dirinya, dan mengatur napasnya. Saat ia kembali melihat Violet, gadis itu masih dengan keadaan yang sama. Rambut dan matanya masih tidak kembali seperti semula.

"Sorry, karena gue bikin lo takut," ujar Violet. Ia tersenyum dengan tatapan sendu.

Lamanda tersenyum. "Sorry, karena gue bikin lo merasa bersalah," balas Lamanda.

Seketika cahaya pada rambut Violet perlahan menghilang, lalu warna keunguan tadi teredam warna hitam yang tiba-tiba menjalar melalui ujung-ujung rambutnya. Begitu juga dengan mata gadis itu, semua kembali seperti semula.

Lamanda menahan napas melihat kejadian itu dari dekat. Saat akan mengatakan sesuatu, Violet lebih dulu membuka suara.

"Kalau setelah kejadian ini lo jadi takut sama gue, gue maklum dan lo berhak buat jauhin gue."

Lamanda diam sejenak. Setelah yakin dengan apa yang akan ia lakukan, Lamanda tersenyum. "Gue nggak akan jauhin lo kok," tutur Lamanda. Lalu Lamanda memberanikan diri menyentuh ujung rambut Violet. "Ini nggak serem, ini keren. Tadi gue cuma kaget," lanjutnya.

Violet terkekeh. Ia memasukkan obat Lamada kembali ke dalam sling bag setelah itu meletakkannya di pangkuan Lamanda.

"Terhitung empat detik setelah gue selesai ngomong. Orang yang sejak tadi lo pikirin bakal nelfon lo," ujar Violet membuat Lamanda bingung.

Dan benar saja, tidak lama kemudian ponselnya berdering. Lamanda meneguk ludahnya tidak percaya, namun tak mengurungkan ia untuk mengambil ponselnya dan melihat id caller yang tertera disana. Lamanda menggeser icon hijau dan mendekatkan ke telinganya.

"Gue di depan rumah lo. Buka pintunya."

Belum sempat Lamanda menjawab sambungan telepon sudah terputus.

"Darimana lo tahu kalau bakal ada yang nelfon gue?" tanya Lamanda sambil memasukkan ponselnya kembali.

"Bukannya gue udah bilang di awal?"

Lamanda tercekat. Ia kembali mengingat perkataan Violet tadi. Kejadian aneh dan pengakuan tidak masuk akal itu otomatis kembali berputar di pikirannya. Membuatnya kembali bingung untuk percaya atau tidak. Lamanda berdeham, menetralkan perasaannya kemudian memberanikan diri menatap mata Violet

Mengabaikan semua tentang keanehan Violet, Lamanda akhirnya memilih opsi teraman untuk pengalihannya. "Hmm, gue.. pulang dulu ya," pamit Lamanda pada akhirnya.

Violet tersenyum. Sepertinya gadis itu memang hobby menarik kedua sudut bibirnya keatas.

"Oke, take care."