webnovel

Bab 16 - Ramuan Cinta.

Kau berhasil masuk ke dalam hatiku.

Dan aku tak akan melepaskanmu pergi begitu saja dari sini.

Kau akan selalu… Selalu ada di sana.

Dalam relung hatiku yang paling dalam.

***

"Arrio… aku benar – benar tak mengerti…" kata Arra sambil mengunyah setiap suapan makanan yang Arrio berikan ke dalam mulutnya.

Sementara Arrio hanya mengangguk dan kembali menyuapkan makanannya ke dalam mulut Arra lagi.

"Kenapa kita rasanya bisa sangat dekat seperti ini ya? Padahal seingatku, aku tak pernah mengenalmu sebelumnya. Dan kita bahkan baru berteman kurang dari satu bulan." Lagi – lagi gadis itu bicara sambil mengunyah makanannya di dalam mulut. "Atau sudah sampai satu bulan?" tanya Arra sekali lagi sambil memastikan.

Dia bahkan berlagak menghitung hari dari awal mereka bertemu sampai dengan saat ini menggunakan jari – jarinya yang lentik dan bibir yang bergerak sendiri.

"Intinya… apa ya, yang bisa membuat kita jadi bisa sanat dekat seperti sekarang?"

Arrio menyendok makanan yang terakhir dan menyuapkannya lagi ke mulut Arra.

"Kau dengar kata – kataku atau tidak sih?" gerutu Arra masih dengan mulut yang penuh. "Kau semgaja memasukkan makanan ini supaya aku tak bisa bertanya lagi padamu, ya?" tebaknya kesal.

"Sudah habis. Kau masih lapar atau ini sudah cukup?" Arrio bukannya menjawab pertanyaan dari Arra. Tapi dia justru bertanya balik pada gadis itu.

"Masih agak lapar. Tapi aku mau makanan berkuah yang menyegarkan. Yang pedas dan enak…" jawab Arra mengikuti alur Arrio beitu saja. "Kau tahu maksudnya kan?" pertanyaannya mengarah pada apa yang dia inginkan sejak tadi.

"Mie instannya stop dulu," kata Arrio.

"Mck!" lagi – lagi Arra berdecak kesal, "kenapa sih? Kalau mie instan itu beracun, pasti tidak akan ada yang memproduksinya secara massal dan penjualannya juga akan segera dihentikan di seluruh dunia. Tapi kau lihat juga, kan? Hampir di setiap sudut Negara di manapun itu, pasti akan punya variasi mie instannya sendiri. Jadi bagian mana yang salah dari makan mie instan?" tanya Arra.

"Salahnya bukan pada produsen atau distributor yang menjual mie instannya. Tapi kesalahan ada padamu. Kamu yang selalu mengkonsumsi makanan itu hampir setiap hari dan setiap waktu, bahkan tanpa kendali sedikit pun yang bisa menjadi masalah besar. Karena bagaimana pun, makanan itu mengandung banyak zat pengawet yang tak bagus untuk kesehatan tubuhmu juga. Jadi kalau kamu, mengkonsumsi makanan itu seenaknya. Sama saja dengan kamu yang tidak bisa menjaga kesehatanmu. Tahu?" kata – kata dari bibir Arrio kini semakin panjang mengalir untuk Arra.

"Hanya malam ini, Rio… aku masih mau memakannya. Aku sudah membayangkan bagaimana segar dan hangatnya kuah mie itu masuk ke dalam tenggorokanku yang kering ini. Kenapa kau tega sekali padaku, sih?" keluh Arra lagi. "Lagipula… kenapa dari tadi hanya aku yang menanggapi ucapanmu? Kenapa kamu tidak pernah menjawab pertanyaanku sebelumnya?" tanya Arra yang akhirnya sadar kalau selama obrolan mereka, Arrio belum satu kali pun menjawab pertanyaannya.

"Soal kedekatan kita?" tanya Arrio singkat.

Dan gadis itu menganggukkan kepala sambil menatap Arrio dengan harapan yang sangat besar, untuk bisa mendapatkan jawaban.

"Semua itu bisa terjadi karena takdir yang membuatnya jadi seperti itu," jawab Arrio dengan gamblangnya.

Arra mengernyitkan kening. Dia makin tidak mengerti dengan maksud jawaban Arrio.

"Kau bicara apa, sih? Memangnya apa hubungannya, pertemuan kita dan pertemanan kita berdua ini, dengan sebuah takdir yang kamu sebutkan barusan?" tanya Arra balik.

"Takdir Tuhan Arra." Arrio menambahkan. "Sesuatu yang tak bisa kamu jelaskan dengan logika. Tapi bisa kamu rasakan dengan sangat jelas di dalam dirimu. Sama seperti hubungan kita. Tidak ada logika yang bisa menjelaskan gamblang, kenapa kita sampai pada titik ini. Tapi kita hanya bisa merasakan bahwa kita semakin dekat setiap waktu," ujarnya.

Arra menghembuskan nafas.

"Aku masih tidak mengerti. Tapi akan aku coba pikirkan, apa yang kamu maksud."

Dan jawaban Arra barusan, mendapat tanggapan dari Arrio dengan sebuah senyuman yang lucu dan sampai menunjukkan beberapa deretan gigi Arrio yang putih dan rapih.

"Mau jalan – jalan denganku?" tawar Arrio.

"Jalan kaki?" tanya gadis itu lagi.

Arrio menggelengkan kepalanya. "Pakai motor. Aku pinjam motor milik Harbert yang ada di garasi rumah," jawabnya.

"Memangnya, kita mau ke mana?" pertanyaan kembali dilemparkan Arra.

"Kamu lagi mau ke mana sekarang?"

Gadis itu memutar bola matanya dan berdecak mendengar Arrio yang selalu menanggapi pertanyaannya dengan sebuah pertanyaan juga. Bukan sebuah jawaban pasti yang tak memerlukan jawaban lagi.

"Kamu yang mengajak aku, kan. Lalu kenapa aku yang harus memikirkan di mana dan ke mana kita akan pergi?" ucap Arra balik kepada Arrio.

"Karena alasanku pergi adalah kamu. Jadi kamu yang akan menentukan sekaligus menjadi penunjuk jalan untukku," jawab Arrio.

"Penunjuk jalan…" Arra tertawa.

Sementara Arra belum memutuskan tujuan mereka saat itu. Arrio sudah lebih dulu pergi ke dalam untuk mengembalikan piring dan mencuci piring kotornya sampai bersih. Lalu dia segera mengambil kunci motor yang sengaja digantung di dekat pintu dapur untuk mengeluarkan motor milik Harbert dari dalam garasi rumah penginapan tersebut.

Tin tin!

Suara klakson motor yang terdengar, mengundang Arra untuk datang dan meluhat ke arah jalanan dan tersenyum lebar melihat Arrio sudah bersiap di atas motornya, dengan sebuah helm klasik yang ditebak Arra menjadi milik Harbert sebenarnya.

**

"Apa kau akan melakukan ini kepada putrimu?" tanya seorang wanita berusia sekitar 50 tahunan kepada pria yang usianya sepuluh tahun lebih tua di atasnya.

"Dia sudah memiliki umur yang cukup untuk memulai rumah tangga…" jawab si pria.

"Tapi dia masih terlalu muda, Sayang. Jangan kau samakan jaman ini dengan jaman kita dahulu. Di jaman sekarang, perempuan bangsawan sekali pun akan menikah setelah usianya hampir mendekati 30 tahun. Sementara putri kita, bahkan belum menginjak usia 20 tahun sekarang!" protes itu kembali berlanjut.

"Aku tak mengatakan bahwa dia harus menikah tahun ini, Sayang… tapi mengenalkan dia dan memastikan siapa yang akan menjadi pasangannya. Itu jauh lebih penting. Karena kalau dia sudah punya pasangan yang pasti, aku dan kamu akan lebih tenang menjalani masa tua kita. Karena dia sudah punya orang yang tepat untuk menjaganya. Menggantikan kita yang semakin menua," jelas pria tersebut lagi.

"Apa masih bisa melakukan itu?" lirih si wanita dengan perasaan ragu. "Aku takut dia sudah punya seseorang yang dia sukai. Kalau sudah begini, nanti pasti akan muncul konflik baru di antara kita bertiga," katanya lagi merasa khawatir.

"Tenanglah sayang… aku tidak mau juga memaksa dia. Sebelum aku mengenalkan dia dengan pria pilihan kita. Aku akan mencari tahu lebih dulu, apakah dia sedang dekat dengan seseorang atau tidak sekarang," ujar si pria lagi menenangkan wanitanya.

Pria dan wanita ini adalah sepasang suami istri yang sudah memasuki usia separuh abad tahun ini. Mereka yang masih memiliki putri kecil, di mana putri mereka yang paling kecil tersebut masih sangat muda dan terhitung belum dewasa, ingin sekali mereka kenalkan dengan seorang pria yang merupakan putra tunggal dari keluarga yang masih menjadi kerabat jauh keduanya. Darah bangsawan yang masih mengalir dalam tubuh mereka, membuat pasangan ini tidak ingin putri kecil mereka jatuh ke tangan yang salah.

Pergaulan bebas dan banyaknya pria kurang ajar yang hanya mengincar harta, nafsu dan kesenangan sesaat. Sedikit banyak mempengaruhi keputusan tersebut.

Tentu saja, tidak ada satu orang tua pun yang ingin anaknya jatuh ke tangan pria sembarangan. Apalagi jika harus menghabiskan sisa hidup dengan pria tersebut dalam sebuah mahligai pernikahan.

Arra. Chiarra.

Putri kecil mereka yang juga menjadi putri bungsu di keluarga tersebut.

"Daripada hanya menyelidikinya diam – diam. Akan lebih baik kalau kita menanyakan langsung hal itu kepada Arra. Bagaimana pun juga, menyelidiki hal pribadi begitu pada putri kita sendiri, bisa membuatnya tersinggung dan sakit hati." Wanita yang menjadi ibu dari Arra tersebut mengingatkan suaminya.

"Bagaimana kalau besok kita ke sana. Sekalian menjenguk dia dan membahas masalah ini dengannya?" ajak sang suami.

"Aku setuju. Aku akan menyiapkan beberapa makanan favoritnya nanti untuk kita bawa ke sana," jawab sang istri.

Philips—ayah Arra mengulas senyuman dan mengedarkan pandangannya ke luar jendela. Langit malam Yunani yang menjadi favoritnya, kini terasa cukup berbeda. Entah atmosfer apa yang membuatnya jadi seperti ini. Tapi satu hal, bahwa Philips merasakan hal buruk yang semakin mendekat pada dirinya dan juga keluarganya. Dia khawatir akan hal itu. Meski tidak tahu hal buruk apa yang bisa menimpa mereka sebenarnya.

"Aku harus bersiap dengan segala kemungkinan yang terburuk."

Dia berharap, saat sesuatu yang tak baik itu datang ke dalam keluarganya. Dia tetap bisa tenang, karena putri kecilnya sudah berada di tangan yang aman.

***