webnovel

Kehidupan baru

Alana memandang rumah barunya dengan jengahnya. Berantakan, dekil, debuan dan juga kotor, seperti rumah yang tidak dihuni selama sepuluh tahun.

Padahal rumah ini terlihat sangat besar, nuansa white gray serta cat putih berpadu, membuat suasana rumah ini menjadi hangat. Tapi sayang hanya satu, tidak pernah terurus.

"La gak ngurus rumah ini berapa tahun?" tanya Alana.

Alaskar yang sibuk dengan ponselnya lantas menolehkan kepalanya kepada Alana, kemudian matanya beralih menjelajah kesetiap sudut ruangan ini. Banyak sekali sarang laba-laba, debu ada dimana-mana.

"Gue lupa gak nempatin nih rumah berapa tahun, intinya udah lama banget."

"Yakin lo, rumah ini gak di huni setan? kalo kata nenek gue sih, rumah yang udah gak di huni selama bertahun-tahun bakal jadi sarang hantu." Alana bergidik ngeri, mengusap lengannya yang tiba-tiba terasa merinding.

"Percaya aja lo sama mitos." Alaskar menyentil keras dahi Alana.

"Sakit tau!" rintih Alana pelan.

"Lebay! Buruan bersihin!" suruh Alaskar.

"Lo juga bantuin dong, gue mana mampu bersihin sendirian rumah lo yang segede ini,"

"Males" jawab Alaskar dengan entengnya.

Alana menghela nafasnya, punya suami gak berguna banget. Ia melihat jam yang melingkar di lengannya, menunjukkan pukul setenga lima. Bisa kemaleman bersihinnya kalau begini.

"Lo diem kalo gak mau bantuin, jangan buat rusuh."

"Iya sayang" Alaskar mengedipkan sebelah matanya.

Hal itu membuat Alana ingin mencakar-cakar wajah Alaskar. Bukannya baper, yang ada malah kesal.

Alana berjalan mengambil sapu. Gadis itu mulai memulai aktivitasnya dengan menyapu di setiap sudut ruangan, mulai dari bawa tangga, kolong meja, kolong kursi sampai belakang pintu.

Tapi seketika Alana membeku bak patung kalah Alaskar yang entah sejak kapan sudah berdiri di belakang Alana, meraih rambut Alana yang terurai, mengumpulkannya menjadi satu, lalu mencepolnya asal menggunakan karet yang entah ia dapatkan dari mana. Bukannya apa, ia hanya risih melihat istrinya ini membersihkan rumah dengan rambut terurai yang sekali-kali menjuntai ke depan menutupi pandangannya.

Setelah selesai, cowok itu beralih mencekal gagang sapu yang di pegang Alana.

"Apalagi Alaskar?" tanya Alana dengan ekspresi sok b aja, padahal beda dalam hatinya yang sudah salting brutal.

"Lo duduk aja biar gue yang sapu." ucap Alaskar.

Alana mengerutkan dahinya bingung, kesambet apa nih cowok tiba-tiba jadi baik seperti ini? apa jangan-jangan Alaskar kerasukan arwah penunggu rumah ini.

Tidak-tidak! Alana menggelengkan kepalanya kuat mencoba berfikir positif.

"Bawa sini sapunya, gue gak percaya sama omongan lo yang katanya mau bantuin gue. Lo pasti mau berantakin debu yang udah gue kumpulin baik-baik 'kan?" tuding Alana menunjuk wajah Alaskar.

Alaskar menurunkan jari telunjuk Alana. "Kata siapa? gue lakuin ini demi kalian,"

"Demi kalian?" beo Alana heran.

Alaskar mengangguk, "Iya demi kalian, lo dan bayi kita, gue takut bayi kita kenapa-napa kalo lo kecapekan"

Alana melebarkan bola matanya "ALASKARANJING! BAYI APAAN YANG LO MAKSUD!"

***

Saat ini, sepasang pasturi muda yang melalui hari-hari mereka penuh ke absurd-an itu tengah berdiri di bawah teriknya matahari dengan tangan yang hormat dan kepala yang mendongak ke arah bendera.

Apalagi jika bukan di hukum.

Semuanya karena Alaskar, laki-laki itu sengaja menyeting alarm agar Alana bangun terlambat.

Masa bodo dengan dirinya sendiri, dia juga sudah biasa dengan hukumannya yang seperti ini.

Tidak seperti gadis yang ada di sampingnya ini yang selalu mengutamakan ke disiplinan, apalagi dia ketua osis di SMA Tirtamulia ini.

"Ini semua gara-gara lo tau gak Al, coba aja lo gak sembarangan setting alarm, pasti gak bakal jadi kaya gini kan!" Alana mendorong bahu Alaskar.

Telinga Alaskar terasa panas, kalimat itu yang sedari tadi keluar dari mulut gadis ini.

"Lo udah ke seratus sembilan kali bilang kaya gitu, gak capek apa itu mulut, tinggal laksanain hukuman apa susahnya."

"Apa kata orang kalo Alana Revalina seorang ketua osis di hukum seperti ini? Rusak nama gue yang udah gue susun baik-baik!" Alana menatap Alaskar sinis.

Cowok dengan pakaian urak-urak kan itu menye-menye menirukan omongan Alana. Benar-benar ya! Pengen nimpuk rasanya.

"Panas tau Al, lo mah enak pake topi bisa ketutupan. Sedangkan gue?"

"Lo ngodein gue buat gue minjemin lo topi? jangan ngarep lo!"

Alana menatap Alaskar sinis "Apaan sih lo, sorry aja ya gue gak ada niatan mau ngode-ngodein lo seg-"

"Ehm" seorang guru yang kerak di panggil Bu Bona, Guru bk kelas 11, yang sedang mengawasi masa hukuman mereka itu berdehem pelan, telinganya terasa panas karena sedari tadi terus mendengar percekcok-an antara keduanya. "Bisa diam?," Matanya menyorot kedua remaja itu dengan tajam. "Tinggal laksanain aja gak usa adu bacot kalian!"

Alaskar dan Alana seketika bungkam, nih guru mulutnya kek anak-anak muda saja.

Bu Bona menatap keduanya secara bergantian, lalu beralih fokus menatap Alana "Kamu itu ketua osis Alana, seharusnya kamu memberi contoh kepada anak-anak lain dengan contoh yang baik, bukan dengan contoh yang buruk kayak begini."

Matanya beralih lagi ke Alaskar "Dan kamu Alaskar kelas 12 IPA 4, yang kabarnya sering berbuat onar itukan? murid kaya kamu ini yang biasanya tidak memiliki masa depan." katanya lebih tepatnya di tujukan untuk Alaskar.

Masih dengan posisi berdiri mendongak hormat ke arah bendera, mata Alaskar menyipit karena silau teriknya matahari. Sudah panas-panasan, kaki kesemutan karena kelamaan berdiri dan harus mendengar ocehan-ocehan yang keluar dari mulut Guru ini. Apalagi pembahasannya mengenai tentang masa depan, hello! lagian dia anak dan cucu satu-satunya pewaris keluarga dari Adijaya. Santai aja, warisan keluarga Adijaya tidak akan habis walaupun dua puluh turunan, jadi kalau soal masa depan tidak usah khawatir.

"Guru itu kalo ngomong, kamunya jangan diem aja! gak punya mulut kamu?" tanyanya memelototkan matanya garang.

Alaskar memejamkan matanya sejenak, meredam kesalnya, pengen nendang sumpah!

"Iya Bu!" sahut Alaskar.

"Jangan cuma iya! iya!, harus berubah, jangan gini-gini aja, mau jadi apa kamu nanti kalau begini terus?"

"Jadi ultramen sabi kali Bu" sahutnya ngawur.

"Nyaut aja kamu! kalo guru ngomong didengerin! jangan di jawab! ngelawan kamu?"

Alaskar menghembuskan napas kasar, serba salah memang! "Udahlah, mati aja gue benernya Bu."

***

Saat ini ke empat pria yang di ketahui member dari geng Wolves itu tengah berbincang di markasnya. Tidak hanya mereka saja, disana masih ada banyak anak-anak Tirtamulia yang juga termasuk anggota Wolves.

Katanya sih membahas masalahnya dengan geng sebelah yang berulah kembali.

"Bisa-bisanya si Rion keroyok Andre," Raka memukul meja di depannya.

"Sekarang Andre di mana, Ka?" tanya Alaskar. Tak ada raut bercandaan dari wajahnya.

Raka menoleh. "Ada di rumah sakit Medika. gue kemarin kesana sama Vano,"

"Gila banget sih, si Rion, bisa-bisanya main keroyokan." Decak Vano terheran-heran.

"Berapa orang yang keroyok Andre?" tanya Gama. Cowok pendiam itu tidak pernah bercanda sekalipun.

"Yang gue liat tadi ada sekitar sepuluh orang," saut Indra, Indra ini masih satu angkatan dengan Alaskar, juga termasuk anggota dari Wolves.

"Gimana Al? mau semperin kesana? saran gue kita kesana aja. Soalnya mereka makin dibiarin malah makin menjadi. Kesel gue, Al. Banyak dari anak-anak SMA kita yang jadi sasaran dia." ujar Raka.

Alaskar berdiri dari duduknya, kemudian menyambar rokok serta ponselnya.

"Atur aja waktunya. gue udah cape urusin manusia anjing kaya dia."

***