webnovel

Bab 1. Civic Type-R

"Bi, Alara berangkat, ya," teriak Alara dari depan pintu rumah sambil memakai sepatu pansus hitam polos, sepatu favoritnya.

"Iya, Non." jawab Bi Aini yang tengah mengangkati piring kotor setengah berteriak dari dalam rumah.

Hari ini Alara kesiangan. Matahari sudah menyapa bumi sejak satu jam yang lalu. Aktifitas yang super padat kemarin membuat Alara harus bangun kesiangan pagi ini. Usai mengenakan sepatu, Alara langsung beranjak menjauh dari rumah berjalan menuju pintu gang di depan rumahnya untuk pergi ke jalan raya, menunggu angkot yang biasa mengantarkannya ke TKP (Taman Kanak-kanak Permata).

Alara mempercepat tempo ayunan kaki, berharap angkot yang akan membawanya nanti masih melintas di jalanan. Rumah Alara yang berlokasi di kampung kecil yang tersembunyi di balik gang membuatnya harus berjalan lumayan jauh untuk mendapat angkot. Angkot yang biasa membawanya itu sangat langka, jarang ada angkot yang mengarah ke sana. Selain jauh, ada satu hal yang membuat para sopir enggan mengantarkan penumpang ke sana. Yaitu, jalan yang sangat hancur, jalan yang dipenuhi lubang dan bebatuaan besar membuat kendaraan sulit untuk berjalan di sana.

"Huh!" dengkus Alara. Dadanya naik turun mengikuti irama detak jantung yang terpompa cukup kencang.

Tangan kanan Alara bergerak ke dahi mengelap keringat. Mentari kian menerik. Lima menit berlalu namun dirinya tak kunjung sampai. Alara berharap andai gang di rumahnya ini bisa disulap menjadi hilang, maka gadis itu tidak perlu berjalan melewati gang sempit untuk menuju ke jalan raya.

Meskipun itu kedengaran sangat mustahil, tapi angan-angan itu seakan tidak mau sirna dari akal pikirannya. Dalam lubuk hati yang terdalam dari seorang Alara hal itu seakan bisa terjadi. Entahlah, mungkin Alara punya imajinasi di atas rata-rata sehingga dirinya berangan demikian.

Alara kembali melanjutkan ayunan kakinya menyusuri gang kecil yang menjadi saksi bisu dirinya berubah menjadi wanita sholehah seperti sekarang. Benar atau tidak bahwa dirinya wanita sholehah, ia tidak tahu. Orang-orang terdekatnya atau bahkan orang yang tidak dikenal apabila ditanyakan kepada mereka apakah Alara wanita sholehah atau bukan, pasti mereka menjawab Alara adalah pribadi yang sempurna untuk disebut sebagai wanita sholehah.

Tapi kalau boleh jujur, Alara sendiri merasa dirinya bukan apa-apa. Kata sholehah belum pantas untuk ia sandang. Masa lalu yang kelam, penuh catatan-catatan busuk selalu menghantuinya di mana pun dan kapan pun ia berada.

Cit …!

Alara spontan mengerem, menghentikan langkah kakinya.

Baru saja kakinya mendarat di bibir aspal, batas antara jalan raya dan gang, hampir saja nyawanya melayang. "Astaghfirullah," ucapnya terkejut.

Berulang kali Alara mengelus dadanya, lega. Hampir saja nyawanya terbang bebas kalau pengemudi mobil itu tidak mengerem tepat waktu. Mobil Civic type-r berwarna putih berhenti tepat di hadapan Alara.

"Dasar pengemudi gendeng! Untung saja Allah masih ngasi aku kesempatan hidup," gerutu Alara.

Tak lama tiba-tiba saja pintu mobil mewah itu terbuka, keluar sosok lelaki memakai hoodie hitam dipadukan jeans abu-abu dan sepatu yang senada dengan warna jaket. Postur tubuh tinggi, otot yang menjiplak di balik hoodie hitamnya itu memberi gambaran bahwa ia adalah pria yang hobi pergi ke gym. Rahang tegas, kulit sawo matang, mengenakan kaca mata hitam membuatnya tampak kelihatan keren.

"Punya mata, kan?" Kalimat itu sukses menjadi awal pengacau hari Alara setelah keterlambatannya hari ini.

"Maksudnya?" Alara menaikkan alisnya sebelah, "Saya yang salah di sini?" Alara juga tak mau kalah. Dia merasa bahwa dirinya tidak ikut andil dalam musibah ini, dirinya hanya calon korban.

"Seharusnya anda bersyukur saya berhasil menyelamatkan nyawa Anda hari ini, tapi apa yang Anda lakukan? Atau Anda tidak pernah diajarkan cara berterima kasih?"

Hal pertama yang Alara lakukan adalah menarik napas panjang sebelum meladeni celotehan menyebalkan dari pria yang tidak dikenalnya. Telinganya terasa panas mendengar argumen yang terlontar bebas dari bibir lelaki yang berdiri tegak sambil memasukkan kedua tangannya di saku celana.

"Maaf sebelumnya, saya sama sekali tidak mengenal Anda. Tiba-tiba Anda datang dan hampir mencelakakan saya, tapi apa yang Anda lakukan? Bukannya minta maaf malah seolah-olah Anda merasa saya yang bersalah," Alara menjeda omongannya membenarkan posisi cadarnya yang hampir menutupi mata karena berbicara terlalu cepat, "Saya rasa cukup di sisi saja pertemuan kita hari ini. Silakan Anda masuk kembali ke dalam mobil dan pergi dari tempat ini."

Lelaki itu tampak bengong mencerna omongan Alara. Wajahnya menyiratkan rasa takjub melihat Alara yang cukup berani melawan dirinya.

"Anda—"

"Cukup!" Alara menaikkan tangannya ke hadapan lelaki itu memberinya isyarat untuk tidak melanjutkan ucapannya, "Saya sedang sibuk sekarang, dan saya yakin Anda pun sedang sibuk. Daripada kita sama-sama membuang waktu, lebih baik Anda pergi sekarang."

"Bagus. Selamat!" Lelaki itu bertepuk tangan sambil mengangguk-ngangguk puas, bibirnya membentuk kurva kecil yang melukiskan rasa remeh merespon ucapan Alara.

"Saya pamit, Assalamu`alaikum." Alara langsung memutar badannya dan melanjutkan langkah menjauh dari lelaki itu.

Dasar cowok aneh, batin Alara

Sepanjang jalan Alara mendengkus kesal karena ulah lelaki itu. Baru kali ini seumur hidup bertemu pria yang super menyebalkan. Ia kira Alara akan gentar melihatnya? Tentu tidak, sekali pun dia anak konglomerat Alara takkan merasa gentar jika ia tidak salah sama sekali. Jelas-jelas Alara jalan bagus-bagus namun tiba-tiba saja sebuah mobil berjalan kencang dan hampir menabraknya. Untuk sekedar menanyakan apakah Alara baik-baik saja tidak keluar dari mulutnya, apalagi meminta maaf. Sungguh hal yang mustahil.

"Dasar cowok gak beres!" dumelnya lagi. Kaki Alara menyentuh sebuah kaleng minuman. Karena terlalu kesal hatinya, sengaja ia menendang kaleng itu ke depan lebih kuat.

"Semoga aja aku gak ketemu lagi sama dia."

Pucuk dicinta ulam pun tiba. Benar-benar tak disangka, angkot yang biasa mengantar Alara ke TKP tiba-tiba saja muncul dan berhenti di pinggir jalan menunggu Alara naik. Alara menampar pelan pipinya.

Sakit.

Itu berarti dia sedang tidak bermimpi. Alara masih tidak percaya, ia melirik jam tangannya. Pukul 08.40. Baiklah, ia sedang tidak bermimpi. Itu artinya Alara akan sampai di TKP dalam hitungan menit. Dengan senang hati Alara langsung berlari kecil menaiki angkot dan bersiap menuju TKP.

***

"Tarik napas, hembuskan. Tarik napas, hembuskan," Alara menginstruksi dirinya sendiri. Ya, Alara belum siap untuk masuk ke dalam ruangan. Gadis itu mengatur napasnya persiapan menghadapi kenyataan pahit yang sebentar lagi akan Alara terima. Telinganya sudah siap dan kebal mendengar keluh kesah orang-orang di TKP yang sudah lama menunggunya.

"Bismillah," ucapnya pelan di ujung bibir.

Tangannya perlahan menyentuh knop pintu, rasa dingin menyambar ubuhnya. Tiba-tiba saja ia menggigil karena ketakutan.

Krek!

Pintu terbuka. Mata Alara membulat sempurna, tidak ada siapapun di dalam sana. Hanya ada meja dan kursi yang tersusun rapi seperti biasa.

Alara melangkahkan kakinya perlahan memasuki ruangan takut-takut. Ia merasa waspada. Bukankah ini aneh? Hari ini adalah hari Rabu, yang seharusnya ruangan yang biasa dipenuhi suara riuh anak-anak malah sepi tanpa siapa pun di dalamnya. Alara tidak ada menginformasikan bahwa hari ini adalah hari libur. Lantas ke mana perginya mereka semua?

Benar-benar aneh. Tidak ada tanda-tanda sama sekali jika ada dari mereka yang sudah datang. Ruangan ini benar-benar kosong.

Karena merasa belum begitu yakin, Alara meneruskan langkahnya mendekati sudut ruangan dengan pembatas jaring melekat di sana dipenuhi bola-bola plastik aneka warna. Sebuah tempat yang menjadi favorit para murid-murid TKP termasuk Alara.

Seketika tubuh Alara menegang saat sebuah sentuhan mendarat di bahunya. Alara merasakan ada rasa hangat di bahunya yang sukses membuat rasa takut menjalar di sekujur tubuhnya.

Glek. Alara menelan salivanya.

Perlahan gadis itu memutar badannya untuk melihat siapa yang berhasil membuatnya takut.

"Argh …!" jerit Alara tertahan.