webnovel

episode 12

"Jangan berdiri saja, ayo jalan," sahut Verena dengan suasana hati yang senang.

Kalian tidak salah lihat, Verena murni tengah bahagia sekarang. Bahagia sebab Kanzia kini masih mempercayai dia, tidak mencurigainya seperti di rumah sakit kemarin.

"Kemarin mungkin hanya salah paham, tidak boleh terjadi lagi di masa depan," gumamnya menyakini diri sendiri, semua karena kemarin dia terlalu ceroboh membantah sang kakak.

"Kamu tidak pergi ke kampus?" tanya Kanzia memperhatikan punggung Verena yang kini tengah berjalan di depannya.

"Tidak, kampus terlalu membosankan. Kakak tahu selama kakak tidak ke kampus lagi, aku terlalu malas untuk kesana," jawab Verena di saat menjawab pertanyaan itu dengan wajah sedih.

Verena merasa bosan sebab tidak ada Kanzia di sana, tidak bisa melihat wajah yang telihat menyedihkan itu lagi, tidak ada orang-orang yang datang menghina Kanzia. Verena tidak dapat melihat air mata serta tangisan Kanzia yang menyenangkan hatinya.

Semakin tersiksa Kanzia,semakin bahagia dia melihatnya. "Kak Zia akan ke kampus lagi kan nanti? Gosip dan hinaan orang-orang iri yang tidak tahu malu itu, tidak perlu kakak dengar dan abaikan saja. Lagi pula, masih ada orang-orang yang mempercayai kakak, seperti Rena kan!" ujar Verena kini menghentikan langkah kakinya, berbalik dan menatap sang kakak.

"Kamu tidak boleh gitu, aku memiliki alasan khusus tidak pergi ke kampus beberapa hari ini," ujar Kanzia merasa sedih melihat Verena tidak mau pergi ke kampus karena dia.

Dahi Verena mengernyit, seolah merasakan sesuatu yang aneh. Tapi, mencoba menepis perasaan itu. "Tapi, kakak udah enggak sakit lagi! Ayolah kak, sebentar lagi kita juga akan ujian, kan!" tutur Verena memelas kala raut wajah memohonnya terlihat.

"Aku masih sakit, mungkin tunggu sampai ini sembuh," ucap Kanzia menunjuk kearah luka sayatan di pergelangan tangannya.

Mata Verena melirik tangan kiri Kanzia, tidak berselang lama berkata, "Luka ini sudah agak kering, lihat tidak ada darah lagi. Kak, jangan lam-lama tidak kuliahnya! Rena kesepian."

"Iya, jika tanganku sudah membaik." Kanzia mengatakan itu dengan senyum manis yang terukir di bibir pucatnya.

Verena langsung bahagia, segera mengajak Kanzia masuk ke dalam kamarnya. Dia juga tidak berlama-lama di sana, delapan sampai dengan sepuluh menitan, barulah dia pergi dari kamar Kanzia.

Kanzia menatap kepergian Verena diam-diam dan tampak tertawa pelan mengingat semua permintaan Verena tidak lama ini. Cenderung memaksakan kehendaknya, bahkan dia tidak perduli dengan lukanya yang masih basah."Kamu kesepian karena tidak ada orang yang membuli dan menghinaku, kan! Kamu masih mengatakan kesepian tanpa Kanzia, padahal kamu sendiri enggan bersamanya,"

monolog Kanzia di dalam hati, mencibir kata-kata yang Verena ucapkan.

Munafik, kakak mu itu memang sangat polos dan bodoh. Bagaimana bisa tidak menyadari kejahatan adiknya, padahal semua jelas ada di depan mata. Mungkin karena Kanzia saat itu sangat menyayangi sang adik, hingga dia berpikir semua yang Verena lakukan baik.

Tapi, pada akhirnya Kanzia mengetahui itikad buruk sang adik. Namun, semua tidak bisa di sesali lagi, nasi sudah menjadi bubur dan kini hanya menyisahkan penyesalan belaka.

"Untung saja ini belum sampai ke tahap itu, jika tidak. Aku pasti menjadi hantu di penuhi oleh dendam, sama seperti jiwa yang sudah meminta bantuanku." Batin Kanzia menghela napas lelah, kemudian merebahkan seluruh tubuhnya ke atas kasur.

Mengingat-ingat apa yang telah terjadi, pupil mata Kanzia tiba-tiba menyusut dan terkekeh saat mengingatnya. Namun, tiba-tiba Kanzia bangun dari tidurnya, melihat kearah bawah meja.

"Tsk, penyadap suara," gumam Kanzia dalam hati, tidak terduga dia menemukan hal-hal ini di sana.

Kanzia mulai memeriksa semua tempat, tidak ada yang terlewatkan. Saat ini dia mendapati enam alat penyadap yang ada di bawah meja belajar, bawah kasur, lemari dan sebagainya.

Kemudian dia menghancurkan lima dan kini dia menyisahkan satu. Sebelum di hancurkan sepenuhnya, Kanzia tampak tersenyum kecil, bak iblis yang siap melancarkan rencananya.

Meletakkan alat penyadap itu di tangan, tidak berselang lama Kanzia berkata, "Hah, semua orang tidak percaya padaku. Cuma Rena saat ini aku miliki, selain dia aku sendirian. Saat ini aku sangat beruntung memiliki adik baik hati seperti Rena."

"Rasanya aku tidak sanggup hidup lagi kalau Rena tidak ada. Ziaa, kamu sangat beruntung sekali, memiliki adik yang perngertian, peduli dan selalu ada buatmu," tutur Kanzia dengan bibir yang menyeringai dingin.

"Aku tidak boleh menyerah, demi Rena yang tidak pernah lelah berjuang untukku. Saat ini kamu hanya perlu mencari bukti kalau gosip itu tidak benar," sambungnya dengan suara berat dan bersemangat.

Kanzia berhenti sejenak, menatap penuh niat buruk kearah alat penyadap itu. Seringai kini terukir sangat jelas di bibirnya, jika Verena di sini, adik abal-abalnya itu pasti terkejut ketika melihat senyum evilnya.

Kemudian Kanzia kembali berkata, "Ah, buku ku jatuh! Eh, apa ini? Kenapa benda aneh ada di kamarku!"

Dengan dahi mengernyit, Kanzia melihat alat penyadap itu lama. "Hmm, bukannya ini alat untuk menyadapat suara? Siapa yang sudah memasang benda ini di kamarku?"

Ada banyak tanda tanya dalam benak Kanzia, kemudian dia diam dan suara krek membuat Kanzia menoleh kearah pintu. Kini posisi dari Kanzia tengah menginjak ke enak alat yang di temukan olehnya.

"Rena!" panggil Kanzia terkejut melihat sang adik

masuk ke dalam kamarnya dengan tiba-tiba begitu.

Mata Verena membesar sempurna ketika dia melihat enam alat penyadapnya di rusak oleh Kanzia. Ingin marah sebab harga alat yang di rusak sang kakak tidak murah.

Tapi, mengingat saat ini Kanzia menyadari di kamarnya ada alat penyadap. Dia tidak dapat memarahi Kanzia begitu saja, bisa-bisa nanti kakaknya malah mencurigainya.

"Rena, kenapa kamu masih di sini? Bukannya kamu mau pergi ke kampus?" tanya Kanzia di kala selesai menghancurkan alat penyadap di bawah kakinya.

Verena segera tersadar dan menghela napas berat seraya berkata, "Hah, aku barusan saja mendengar hal aneh dari kamar kak Zia. Jadi aku cepat-cepat datang ke sini, ternyata saat ini kakak menghancurkan alat penyadapku."

Wajah Kanzia tiba-tiba berubah dingin, pada saat ini Verena melihat perubahan wajahnya dan detak jantung Verena semakin kencang.

"Kamu memasang alat penyadap di kamarku! Sejak kapan? Kenapa kamu melakukan hal ini Ren!" tanya Kanzia dengan suara bergetar.

"Kak ... Rena bisa jelaskan," jawab Verena kini gugup, takut Kanzia tidak mempercayainya.