webnovel

epesode 1

Kanzia Volker Grayson tengah duduk dengan malas di atas kursinya, menatap makanan di atas meja dengan acuh tak acuh. "Tsk, kenapa juga aku harus makan." Kanzia meratapi piring di atas mejanya, sebelum dia menoleh kearah kursi kosong di kedua sisi. Kehidupan Kanzia sangat membosankan, dia tidak memiliki kesibukan yang berarti. Selain pergi bekerja di pagi hari serta pulang di sore harinya. Menoton sekali bukan, baiklah tidak perlu terlalu kalian pikirkan. "Hais, aku ingin sekali punya satu atau enam anak! Tapi, aku tidak mau menikah. Ah, siapa laki-laki yang mau memberiku benih dengan gratis ya!" imbuh Kanzia sembari memainkan sendok di tangannya, wajah cantiknya selalu tampak tidak bertenaga. "Begok!" ucap Evans menampol kepala sang adik dengan begitu enteng, "Maunya cuman benih doang, giliran di nikahi ogah! Ingat ini adikku yang tolol ini, besarin anak itu enggak gampang," sambungnya sembari menoel lagi kepala sang adik dengan wajah garang mirip kucing garong milik tetangga sebelah. "Halah, bilang aja sirik, kan! Pakai acara pukul kepala orang lagi, nanti kalau betulan goblok kan susah," sela Kanzia mendumel, makanan di sendok kini masuk ke dalam mulutnya. "Yaudah, bagusan gitu," ujar Evans terkekeh melihat wajah buruk rupa Kanzia, pria itu kini duduk di kursi depan sembari menoleh pada sang anak. Elliano Grayson, anak dari Evans Ellen. Benar sekali kalian semua tidak salah dengar. Evans memang tidak memakai nama belakang dari sang ayah, Ansel Grayson. Dia lebih suka menggunakan nama belakang dari sang ibu, Oliver Ellen yang biasanya sang ayah panggil dengan sebutan Lili. Katanya sih panggilan sayang ayahnya buat ibu mereka. "Bilang aja bucin, dari masih zigot udah jadi empan nyamuk," gumam Evans membantin, kala merenungi nasibnya saat kecil dulu. Cih, dasar ayah tidak berperikeanakkan. Evans maupun Kanzia lebih dominan gen Oliver, iya kalian tidak salah. Kedua anak Ansel itu tidak bisa diam, pecicilan dan banyak ulah, mereka hanya diam pas lagi tidur.

Hanya saja Kanzia sedikit berbeda, anak satu itu merupakan anak yang pemalas dan lebih menyukai kasur dari pada cowok-cowok yang ada di luaran sana.

Mata Kanzia melirik kearah Elliano yang diam dan duduk tenang di atas kursinya. "Ck, anak mu keknya lagi salah minum obat, deh! Lihat itu kalem kali," ujar Kanzia berkomentar sinis.

Evans menoleh kearah Elliano serta berkata," Baguslah, gak ketularan gila kek tantenya .""Tsk, gak anak, gak bapak. Sama aja ngeselin, cih!" sahut Kanzia berdecak kesal.

"Berhenti bertengkar, habiskan makanan mu Zia! Evans, istrimu tidak ikut?" tanya Oliver di kala baru saja keluar dari dapur dengan dua tangan membawa piring berisikan makanan.

"Gimana mau ikut, orang kakak ipar tekdung, Ma!" sahut Kanzia nyengir, sembari terkekeh kearah Evans yang memutar matanya malas.

"Zia!" ucap Oliver menggeleng pelan melihat putrinya itu mengoceh, giliran gini ribut, pas di suruh ke kantor males bukan main.

"Zia kan ngomong apa adanya! Aturan salahi si Evans, ngapain aktif kali buat anak! Elliano aja masih sebesar biji selasih," sahutnya tertawa cekikikan.

"Aku gak kecil lagi tante," sela Elliano jengah mendengar ocehan tantenya, di sela sarapan pagi bersama nenek dan kakeknya, dia masih sempat membaca novel-novel kesukaannya.

"Astaga, Nono kita udah lancar ngomong, ya! Ututu sayang," balas Kanzia menggoda sang keponakan tercinta.cemburu, ayah!" sahut Ansel memutar bola matanya malas. " Jaman sudah berubah, saya bukan anak SMA lagi."

"Oh, siapa tahu." Sahut Chiris tertawa pelan, membuat Ansel bersikap acuh tak acuh pada ayah mertuanya ini.

Acara sarapan pagi itu berjalan dengan ceria dan di penuhi canda tawa. Meskipun kini dia terlihat bersemangat, sebenarnya dia merasa bosan dengan kehidupannya sendiri.

Bukan faktor keluarga, namun kehidupan dia miliki begitu-begitu saja. Kanzia tidak merasa nyaman ketika berdekatan dengan orang lain