webnovel

Aku Mira, Seorang Guide

"Mira, pasien berikutnya datang."

Aku tersenyum dan membalas, "iya! Tolong persilahkan masuk!"

Pintu ditutup dan kemudian dibuka lagi oleh seorang perempuan berambut panjang yang menunduk. Wajahnya terlihat gugup. Sepertinya dia cukup pemalu.

Aku menepuk kursi disampingku. "Kemarilah."

Perempuan itu mengangguk kecil dan duduk sesuai arahanku. Aku membalik kertas yang kupegang.

"Nona Emi benar? Hunter golongan S. Ada keluhan apa kalau boleh tahu?"

"I-itu... Ketika saya menggunakan sihir, sihir yang saya keluarkan tidak dapat saya kontrol dengan baik. Saya bahkan hampir mencelakai teman saya," kata Emi.

"Kalau begitu, apakah Anda dapat menatap mata saya sebentar?" Emi menegakkan kepalanya yang sedikit tertunduk. Matanya terlihat berkabut ungu.

"Kapan terakhir Anda mengunjungi Guide?"

"Sekitar dua bulan yang lalu... Apa separah itu?"

"Seorang Hunter minimal harus mengunjungi Guide sebulan sekali, jika tidak akan mulai muncul gejala seperti kesulitan dalam mengontrol kekuatan, pusing, cepat lelah, dan stress. Jika dibiarkan, Anda dapat hilang kendali, bahkan tidak dapat mengingat diri Anda sendiri."

Aku membalikkan telapak tangan Emi. Aku mengelusnya perlahan, dan mensejajarkan telapak tangan kami agar saling berhadapan. Diantara tangan kami, muncul cahaya berwarna kuning hangat yang semakin terang kemudian perlahan meredup.

Emi yang semula menutup matanya karena silau, mulai berkedip dan menatapku. Matanya sudah kembali normal. Kabut ungu itu telah menghilang.

"Baik, Guiding Anda telah selesai, silahkan pergi ke kasir untuk membayar." Emi bangkit dan kemudian membungkukkan dirinya.

"Terimakasih banyak, Nona Guide." Aku tersenyum dan melambaikan tangan. Emi membalas senyumanku dengan malu-malu dan lekas pergi dari ruanganku.

Aku merenggangkan tubuhku sejenak. Guiding hari ini cukup melelahkan.

Pintu ruanganku diketuk tiga kali, aku mempersilahkannya masuk.

"Halo, Mira! Itu pasien yang terakhir!" Temanku, Risa, masuk dengan gembira.

Aku menghela napas, "syukurlah, kebetulan energiku untuk Guiding sudah habis. Aku harap besok tidak separah hari ini."

"Haha, sabar ya, Mira. Itu karena kamu Guide yang sangat spesial! Jarang sekali menemukan Guide golongan B yang dapat menangani Hunter golongan S! Biasanya mereka hanya dapat melayani Hunter golongan A, itu saja sudah cukup melelahkan."

Aku tersenyum kecil, menurutku itu bukan hal yang patut dibanggakan. Aku hanya senang kemampuanku mampu membantu mereka sebelum lepas kendali.

"Oh iya, kak Dian mengajak untuk makan malam. Apa kau ikut?"

Aku menggeleng, "terimakasih tawarannya, tapi aku harus pulang sebelum kakakku datang."

"Oke, sampai jumpa besok!"

Risa kemudian pergi. Kurasa aku juga harus bersiap untuk pulang.

Namaku Mirai Asteria, dipanggil Mira, 25 tahun, masih lajang sejak lahir. Aku tinggal bersama kakakku di apartemen sederhana. Orangtua kami sudah tiada bertahun-tahun yang lalu, kami dirawat oleh keluarga ayah. Terkadang mereka datang menjenguk kami, memastikan bahwa kami baik-baik saja mengingat pekerjaan kami yang tidak biasa.

Aku menatap gedung pencakar langit diseberangku. Dulu, gedung itu tidak setinggi sekarang. Gedung tersebut dibangun 15 tahun yang lalu, tepat setelah dunia berubah.

Aku masih ingat malam itu, meteor berjatuhan, suara teriakan orang-orang, hancurnya bangunan, dan yang paling kuingat adalah kakakku yang melindungiku dari meteor yang jatuh.

Tepat beberapa detik sebelum meteor itu mengenaiku, kakakku memelukku, melindungi ku dari meteor itu. Awalnya aku pikir kita akan mati bersama, tapi anehnya aku tidak merasa terkena apapun. Begitu aku membuka mataku, aku melihat cahaya kebiruan terang muncul dari punggung kakak, mengelilingi kami berdua. Aku terkejut hingga tidak dapat mengatakan apapun.

Kakakku yang menyadari keanehan tersebut, membuka matanya. Wajahnya sama terkejutnya denganku. Tapi kemudian wajahnya berubah serius seolah menyadari sesuatu. Ia melepaskan pelukannya, cahaya kebiruan itu semakin terang dan meluas. Tiba-tiba saja, ditangan kanannya muncul sesuatu yang bersinar. Sinar tersebut memanjang dan kemudian memudar, digantikan oleh tombak panjang berwarna biru yang indah.

Kakakku berbalik, menatap kearah asal meteor itu yang telah hancur berkeping-keping. Pecahan meteor tersebut melayang dan kemudian mulai bersatu, membentuk sebuah pintu besar berwarna biru gelap.

Tiba-tiba saja, pintu yang tertutup itu terbuka dan mengeluarkan kabut tebal. Kakakku mundur, memastikan aku tetap di belakangnya. Kami terdiam, menantikan apa yang akan terjadi berikutnya.

Suara langkah kaki berat datang dari pintu tersebut. Dibalik kabut, aku dapat melihat sesuatu yang tinggi keluar darinya. Bentuknya seperti manusia, namun di kepalanya terdapat tiga tanduk tumpul di kiri dan kanannya. Kulitnya berwarna biru gelap. Matanya berwarna putih tajam. Taring giginya setajam jarum. Di lengan, ekor, dan punggungnya nya terdapat sirip tajam. Makhluk itu menatap kami.

Aku yang bersembunyi dibalik kakak, memegang erat pakaiannya. Kakakku menatap tajam makhluk tersebut. Makhluk itu tiba-tiba menggeram. Dari tangannya, keluar bola air beruap yang berputar-putar. Tanpa aba-aba, dia menembakkan bola air itu kearah kami.

Seolah paham apa yang ia lakukan, kakakku mengarahkan tombaknya dan menusuk bola air itu hingga pecah. Makhluk itu semakin marah. Ia menembakkan beberapa bola air dengan berbagai ukuran, namun dengan sigap kakakku memecahkan semuanya.

Melihat bolanya dihancurkan, makhluk itu mengepalkan tangannya dan melayangkan tinjunya dengan cepat. Namun kakakku berhasil menghindari nya.

Merasa usahanya sia-sia, makhluk itu melihat kearahku yang hanya dapat diam mematung. Perlahan ia mulai mendekat. Aku mundur perlahan dan kemudian menoleh ke kanan dan ke kiri. Jika aku lari, makhluk itu pasti akan langsung menangkapku. Tapi aku tidak bisa diam begitu saja.

Kakakku yang telah menghindar, mengeluarkan sesuatu dari tangannya. Kabut salju yang keluar dari tangannya, mengelilingi kami. Makhluk itu kebingungan, sepertinya dia tidak dapat melihat jelas di kabut ini. Kakakku berjalan perlahan kearahku sambil mengisyaratkanku untuk mendekatinya. Aku menghampirinya dan memeluknya.

"Ayo kita pergi," bisiknya. Aku mengangguk. Kami berjalan perlahan menjauh dari kabut ini. Ketika merasa sudah cukup jauh, kakakku menggendongku dan kemudian berlari cepat.

"Maaf ya, Mira. Kita harus cepat pergi."

Kakakku, entah bagaimana, dapat berlari cepat sekali padahal ia juga menggendongku. Tiba-tiba kakakku melompat tinggi hingga ke atas bangunan-bangunan. Aku sedikit memekik, meremas pakaian kakakku. Ia berhenti ketika kami telah cukup jauh dan tinggi dari tempat tadi. Kakakku menurunkanku, tapi tidak melepas pelukannya dariku.

"Tadi makhluk apa, kak?" tanyaku.

"Kakak juga tidak tahu, tapi kakak yakin makhluk itu adalah monster yang keluar dari meteor yang jatuh tadi. Jika melihat kondisi sekarang, kakak yakin monster itu tidak hanya satu maupun dua," jawab kakakku sambil menunjuk salah satu tempat.

Aku melihat kearah yang kakak tunjuk. Tempat itu penuh dengan asap, bekas meteor yang jatuh. Disekitarnya orang-orang nampak berlarian terbirit-birit. Dari kepulan asap itu, keluarlah beberapa monster yang terbang. Monster tersebut menyerang orang-orang. Darah berceceran ditanah, teriakan samar-samar terdengar dari berbagai penjuru tempat, sirine mobil polisi dan ambulans saling bersahutan, beserta suara dentuman yang terus berdatangan.

Tidak ada satupun kata yang keluar dari mulut kami. Kami berdua tahu, ini bukanlah akhir namun sebuah awal dari suatu bencana besar. Selama satu jam kami hanya duduk diatas atap gedung, mengamati keadaan dibawah sana.

Aku melirik kakakku yang nampak fokus, entah apa yang sedang ia pikirkan. Aku mengelus perlahan punggung kakakku. Ia sedikit terkejut namun tidak bergeming. Suara angin sayup-sayup menemani malam kami.

Aku menatap kearah langit. Walaupun meteor yang jatuh tadi cukup banyak, bintang di langit pun juga masih sama banyaknya. Seandainya aku tidak mengajak kakak untuk keluar karena hujan meteor, apa semuanya tidak akan terjadi seperti ini? Kupikir dengan jalan-jalan bersama akan meringankan beban kakak, ternyata aku hanya menambah beban saja.

Tiba-tiba kakak mengelus rambutku. Aku menatapnya.

"Mira, ayo kita pulang."

Aku terdiam sesaat sebelum menjawab, "ayo."

Kami turun dengan kakak yang menggendongku lagi. Seperti sihir, kami dengan cepat sampai ke rumah. Beruntung, rumah kami tidak terkena jatuhan meteor sama sekali. Ketika masuk, kami langsung mengunci pintu dan jendela dengan rapat, televisi kami nyalakan untuk mengetahui berita terbaru. Kakak menyiapkan makan malam sambil menonton berita.

Setiap kanal televisi menayangkan berita yang sama. Beberapa mengatakan ini adalah bencana besar, ada pula yang mengatakan ini adalah akhir dari dunia, sisanya mengatakan ini adalah fenomena alam. Namun diantara berita-berita tersebut, tidak ada satu pun yang mampu menjawab penyebab jatuhnya meteor di beberapa belahan bumi ini.

Kakak yang telah selesai memasak, memberikanku sepiring masakannya. Kami makan dengan lahap ditemani oleh berita televisi yang terus menampilkan tayangan yang sama. Selesai makan aku membantu kakak mencuci piring dan setelahnya kami memutuskan untuk tidur di ruang keluarga. Seandainya ada peringatan evakuasi, kami dapat langsung keluar rumah.

Selama aku tidur, samar-samar aku merasa kakak membisikkan sesuatu di sampingku. Karena aku begitu mengantuk, hanya satu hal mampu kuingat, yaitu "Snow Mist" yang berulang kali kakak ucapkan malam itu.

"Mira, ayo kesini!"

Kakakku dengan semangat menaiki gundukan reruntuhan bangunan semalam. Pagi-pagi sekali kami bangun dan bersiap untuk pergi keluar. Setelah berkeliling disekitar perumahan, kami akhirnya mendengar berita tentang pengungsian terdekat. Kami memutuskan untuk pergi kesana karena berpikir akan mengetahui lebih lanjut kondisi terbaru bencana semalam.

Aku dengan perlahan menaiki reruntuhan itu. Berkali-kali kakakku menawarkan untuk menggendongku, tapi aku menolaknya. Setelah sampai diatas, kakakku menunjuk posko pengungsian yang tidak jauh dari tempat kami berada. Posko tersebut cukup ramai, entah berapa orang yang telah menjadi korban bencana semalam.

Karena turunannya cukup curam, kakakku memaksa menggendongku yang akhirnya aku terima dengan syarat untuk segera menurunkanku ketika kami telah sampai bawah.

Tak lama setelah kami sampai di posko itu, seorang pria menghampiri kami. Pakaiannya cukup rapi, yang lebih membuatku heran adalah jas yang ia pakai ditengah teriknya matahari.

"Apakah kalian Hunter?"

Hunter? Kami saling bertatapan. Seolah paham isi pikiran kami, pria itu menjawab, "Hunter adalah manusia yang memiliki kemampuan diluar nalar, kami menyebutnya 'skill'. Aku yakin salah satu dari kalian adalah Hunter."

Pria itu menatap kakak seolah meminta jawaban. Awalnya aku ingin meminta kakak untuk tidak menjawab. Tapi sayangnya aku kurang cepat.

"Ya, aku adalah Hunter. Lalu kau siapa?"

"Namaku Rian Cahya, Hunter. Dan yang disampingmu?"

Pria itu mengalihkan pandangannya kearahku. Aku bersembunyi di balik kakak.

"Dia adikku, Mira. Dia bukan Hunter," jawab kakak.

"Begitu kah? Tapi jika bukan Hunter, sepertinya dia punya kemampuan yang unik."

"Ya?" Aku memelototi pria itu, tanda tidak ingin diajak berbicara. Melihatku, pria itu hanya menghela napas.

"Sudahlah, sepertinya itu hanya perasaanku saja."

Pria itu kembali menatap kakakku.

"Hunter punya tugas untuk membasmi monster yang muncul semalam. Karena jumlah Hunter di posko ini tidak banyak, aku harap kau juga ikut membantu."

Kakakku terdiam. Ia melirikku. Dengan cepat, aku menggelengkan kepalaku. Itu terlalu berbahaya, kakak bisa terluka. Lagipula kita tidak tahu apakah pria itu mengatakan hal yang sebenarnya atau tidak. Aku menatap kakakku dengan wajah memelas.

"...Apa aku juga boleh membawa adikku juga?"

Aku terbelalak, apakah pesanku tidak tersampaikan?

"Sebenarnya ini cukup berbahaya, ditambah adikmu bukan Hunter. Tapi jika dia cukup jauh dari area pertarungan, kupikir tidak masalah asalkan ada yang menjaganya."

Kakak mengangguk, "baiklah, aku akan ikut membantu. Lebih banyak orang, lebih baik bukan?"

Pria itu ikut mengangguk, "kemarilah, akan kutunjukkan tempatnya."

Kami lalu berjalan mengikuti pria itu. Letaknya cukup jauh dari pengungsian, tapi itu bagus agar tidak ada korban lagi yang berjatuhan. Ternyata tempat yang kami tuju adalah taman yang kemarin kami datangi. Keadaannya semakin buruk oleh darah yang mengering dan beberapa mayat yang masih belum di evakuasi.

Kami mendatangi kumpulan orang terlihat bersiap-siap. Pakaian mereka juga sedikit aneh. Di samping mereka juga terdapat benda aneh seperti tombak milik kakak. Rian, pria tadi, menghampiri seorang laki-laki yang terlihat lebih muda darinya.

Warna rambutnya merah tua. Tingginya sama seperti Rian tapi entah mengapa terlihat lebih kecil darinya. Mata biru tuanya menatapku heran, namun tidak menghentikannya memakai sarung tangan hitamnya. Mungkin dia melihatku aneh karena hanya aku satu-satunya anak kecil disini.

Setelah berbincang sejenak dengan Rian, ia menghampiri kami. Rian mengikuti dari belakang.

"Perkenalkan, ini Dian Chandra. Panggilannya Dian. Dia adalah salah satu Hunter yang akan membantu kita. Dan ini adalah..."

"Yuna, Yuna Asteria. Dan ini adikku, Mira. Mohon kerjasamanya."

"Aku dengar dari Rian adikmu bukan Hunter. Tidakkah lebih baik dia tidak berada disini?"

"Aku juga berpikir begitu, tapi aku tidak bisa meninggalkannya sendiri."

Ah, kakakku sangat menyayangiku. Kalau aku bisa, aku juga akan pergi jauh-jauh dari sini bersama kakak. Sayangnya kakak memilih untuk membasmi monster-monster itu.

"Kalau aku yang menjaganya, apa itu tidak masalah? Aku juga khawatir anak ini terluka karena pertarungan ini."

Oh? Kakak ini ingin menjagaku?

"Aku tidak keberatan, tapi kuharap dia tidak merepotkanmu. Terkadang dia cukup manja."

"Baiklah, jika tentang itu tidak masalah karena aku sudah terbiasa menjaga adik-adikku."

"Terimakasih."

Wajah kakak terlihat sedikit rileks daripada tadi. Apa kakak segitu khawatirnya denganku?

"Oh iya, karena sepertinya kamu baru mengerti tentang Hunter. Apa kamu sudah dapat melakukan ini?"

Jari Dian seperti sedang mengetuk-ngetuk sesuatu di udara. Padahal tidak ada apa-apa disitu, itulah yang kupikirkan sebelum sebuah kotak panjang berwarna ungu muncul dari ujung jarinya. Aku mengerjapkan mataku, apakah ini sihir?

"Ah itu! Aku mencobanya semalam, tidakkah ini seperti gim?"

Bahkan kakak juga bisa? Ah, tapi jika mengingat kekuatan kakak sepertinya itu tidak terlalu mengejutkanku.

"Iya, jika di gim, ini namanya 'Status'. Kita bisa melihat informasi kekuatan dari sini."

Jari-jemari Dian nampak melakukan gerakan memutar dan mengarahkan layarnya kearah kami.

+

[Status Utama]

Dian Chandra

19 tahun

172 cm

64 kg

Hunter Golongan A

Skill Utama: Shadow Blades

+

Wah apa ini? Terlihat keren sekali.

"Kita bisa membuat orang lain melihat isi Status Utama maupun sebaliknya. Sehingga mereka hanya bisa melihat bahwa kita sedang membuka jendela ini namun tidak mengetahui isinya," jelas Dian lalu menutup Menu nya.

"Kakak, apa kakak juga bisa?"

"Iya, kakak juga bisa membukanya."

"Benarkah? Aku ingin lihat!"

Kakakku mengetukkan jarinya ke udara, persis seperti yang Dian lakukan. Ia lalu menurunkan Menu nya kepadaku agar aku dapat melihatnya dengan mudah.

+

[Status Utama]

Yuna Asteria

15 tahun

158 cm

49 kg

Hunter Golongan S

Skill Utama: Snow Mist

+

Oh, "Snow Mist". Aku mendengar kakak menggumamkan ini beberapa kali semalam. Disini juga tertulis "Hunter Golongan S", jika ini mirip gim, maka kakak lebih kuat dari orang itu!

"Kakak sama kerennya--bukan, tapi kakak lebih keren!" ucapku bersemangat.

Kakak terkekeh, "benarkah? Terimakasih!"

Aku mengangguk senang. Kalau kakak Hunter, apa aku juga bisa sekeren kakak? Dengan iseng aku juga mengetukkan jariku di udara, dan anehnya jendela gim yang mirip juga muncul di depanku.

+

[Status Utama]

Mirai Asteria

10 tahun

129 cm

32 kg

Guide Golongan B

Skill Utama: ????

+

Aku terdiam. Kakakku dan Dian terkejut hingga tidak dapat berkata apapun, sementara Rian sepertinya tidak terlalu terkejut melihatnya, seolah telah menduga hal seperti ini.

Aku...seorang Guide? Seperti kakak? Tapi tunggu, Guide itu apa ya?