Menyembuhkan luka memang tidak semudah yang dibayangkan. Mengobati rindupun tidak semudah bertemu dan saling berpelukan. Kadang memang ada rindu yang memang tidak bisa dituntaskan. Rindu yang tertuju pada mereka yang sudah pergi meninggalkan raga. Cukup lama Sindi menangis waktu itu, hingga membasahi baju Krisnanda. Luka yang dirasa begitu dalam, pedih menyayat hati bahkan waktu pun tak dapat mengobati. Karena, dia tidak akan pernah kembali.
Setelah tangis yang begitu panjang, Sindi akhirnya lebih tenang. Meminjam kamar mandi untuk mencuci wajahnya dan merapikan sedikit riasan, kemudian pamit pulang pada Krisnanda karena hari yang semakin gelap.
"Terimakasih kak, sudah mau menemaniku. Maaf aku menceritakan hal itu lagi," ucap Sindi, "Kakak nggak apa-apa kan?" tanyanya.
"Aku nggak apa-apa kok, tenang aja," jawab Krisnanda.
"Syukurlah, aku pamit kak ya. Sekali lagi terimakasih," Sindi pamit.
"Iya, kamu hati-hati nyetirnya," pesan Krisnanda.
Sindi tersenyum, nampaknya dia sudah benar-benar tenang. Dia berlalu, semakin menjauh meninggalkan rumah Krisnanda.
Krisnanda sendiri tidak bisa memungkiri, hatinyapun sedikit bergejolak. Hal yang sudah lama dia lupakan, diungkit kembali. Dengan guyuran air, dia berusaha menenangkan dirinya. "Tenangkan dirimu, Kris," ucapnya pada diri sendiri. Setelah membersihkan diri, dia memutuskan untuk tidur. Suasana hatinya tidak begitu bagus, untuk pertama kalinya dia tidak ingin menceritakannya pada Sonya. Memilih untuk menenangkan pikirannya lebih dulu.
Jauh, di tempat yang berbeda, Sonya masih gelisah memikirkan hal yang dia saksikan di rumah Krisnanda. Masih sesak rasa di dada, ketika dia mengingatnya. Masih bertanya-tanya siapakah perempuan itu. "Itu pasti pacarnya Krisnanda. Tapi, kenapa dia nggak pernah cerita sama aku. Terus ngapain dia baik banget sama aku dan bodohnya aku berharap lebih," ucapnya pada diri sendiri.
Terbangun di pagi hari dengan pikiran yang lebih tenang, Krisnanda memutuskan untuk menghubungi Sonya. Tidak seperti biasanya, dia tidak menerima satu pesanpun darinya. Padahal, sehari penuh mereka tidak berkabar kemarin. Dia pikir Sonya akan mengiriminya banyak pesan seperti sebelumnya, ternyata tidak. Menunggu lebih lama, tetap sama, tidak ada satupun pesan. "Coba aku chat aja," gumannya.
"Sonya, kamu sibuk nggak? Ada yang ingin aku ceritakan."
Menunggu cukup lama, ini pertama kalinya dia mendapat balasan yang dingin dari Sonya.
"Maaf Kris, aku sibuk. Lain kali aja," balas Sonya.
"Ada apa dengannya, tumben balasannya dingin gitu," Krisnanda berbicara sendiri.
Semenjak hari itu Sonya memutuskan untuk sedikit menjauh. Dia tidak ingin menjadi pengganggu dalam hubungan Krisnanda dan perempuan itu. Sekaligus, ingin menghapus secara perlahan, harapan demi harapa yang muncul di hatinya. Memang sakit, tapi dia tidak mempunyai pilihan lain. Berusaha dengan keras, menahan dirinya untuk tidak mengirim pesan kepada Krisnanda. Menjawab pesannya sesingkat mungkin, menggunakan kesibukannya di kampus sebagai alasan. Bahkan Sonyapun mengabaikan telpon dari Krisnanda.
Masih merasa baik-baik saja pada awalnya, namun semakin lama Krisnanda semakin curiga. Sonya sudah berubah, dia menjadi dingin dan selalu enggan untuk diajak bercerita. Selalu menghindari dirinya. Selalu mengatakan dirinya sibuk dan tidak pernah mengangkat teleponnya. "Bisa gila aku kalau Sonya terus kaya gini," ucapnya. Sempat berpikir, apakah dia melakukan kesalahan pada Sonya, apakah dia sempat mengatakan sesuatu yang menyakiti hati Sonya. Tak peduli seberapa keras dia berpikir dan mengingat, dia tidak kunjung mendapat jawaban.
Hari-hari berikutnya masih sama, bahkan Sonya sama sekali tidak bisa dihubungi. Membuat Krisnanda naik pitam, dia begitu khawatir. Apakah terjadi sesuatu padanya? Apakah dia baik-baik saja? Semua pertanyaan itu berputar di kepalanya, membuatnya semakin pusing. "Sonya sebenarnya kamu kenapa? Apa kamu nggak bisa cerita sama aku?" gerutunya. Krisnanda yakin, ada sesuatu yang Sonya sembunyikan. Sempat berpikir untuk menyusulnya ke Surabaya, dia tidak tahu, sejatinya Sonya sudah berada di Bali. Krisnanda semakin gelisah, "Tidak. Kamu nggak boleh kaya gini, Kris. Kamu harus tetap tenang," berusaha menenangkan dirinya dan mencoba kembali mengirim pesan kepada Sonya.
"Sonya, aku minta maaf karena terus menganggumu. Maaf jika aku menyakitimu. Aku harap kamu mau membalas pesanku."
Hanya melihat sekilas pesan yang dikirim Krisnanda. Sesungguhnya, Sonya sangat ingin membalas pesan tersebut. Ingin sekali mendengar lelucon dari Krisnanda ketika mereka berbincang lewat telpon. Ingin sekali menceritakan semua keluh kesahnya beberapa hari ini. Tetapi, setiap dia ingin melakukannya, ingatan hari itu lebih dulu membayang. Membuatnya lebih memilih untuk menahan dirinya. Semakin menyesakkan dada, namun dia selalu meyakinkan dirinya, " Kamu pasti baik-baik aja, Sonya."
Krisnanda tidak bisa menahannya lagi, dia terus menerus menelpon Sonya walau terus diabaikan. Sonya akhirnya menyerah, dia menjawabnya.
"Hi, Kris," ucapnya.
"Kamu kemana aja? Kenapa kamu nggak balas pesanku? Kamu sebenarnya kenapa?"
Banyak sekali hal yang Krisnanda tanyakan, membuat Sonya tidak bisa mengeluarkan sepatah katapun. Sonya pun tidak bisa menahannya, akhirnya dia mematikan handphonenya. Membenamkan kepalanya pada bantal, menangis sekencang-kencangnya. Sedang Krisnanda terus mencoba menghubunginya, namun tidak bisa. Tidak terasa, air matanyapun mengalir juga. Kesal, marah, khawatir, perasaannya campur aduk. Masih dibelenggu perasan yang menggebu, namun salah paham belum menemukan titik temu.