Azmi : Sama seperti keindahan langit jingga, aku mulai terpikat. . .
Tetes peluh melengkapi sendu senja. Sinarnya yang jingga memerah delima dan pesona jingganya sangat menentramkan jiwa. Tidak ada seorang pun yang mampu mengingkari keindahannya. Aku berdiri di antara siang dan malam. Senja yang jingga hanyalah setetes dari selautan nikmat yang Allah berikan kepada manusia. Namun nafsu telah menjadi penguasa hati. Banyak manusia yang tidak melihat nikmat dan mensyukuri.
Angin sepoi-sepoi menerpa pori-pori kulit yang basah oleh peluh. Dingin merasuk seketika. Kuluruskan kakiku yang mulai lelah. Di tengah lapangan kulihat ada empat temanku yang masih bertahan dengan bolanya. Meliak-liuk ke kanan dan kiri agar bola itu tidak direbut oleh lawan. Kurebahkan tubuhku di atas rumput yang tidak rata. Sungguh, langit telah mempesonakanku. Langit biru kemerah-merahan dan angin yang bertiup pelan mulai menjernihkan pikiranku. Tidak terasa aku tumbuh menjadi remaja laki-laki yang mengenal rasa berdebarnya dekat dengan perempuan. Kupejamkan mataku. Merasakan berbagai memori yang silih berganti lewat di benakku dan berharap ada salah satu yang bertahan di sana. Dari jauh kulihat wajahnya samar-samar. Kerudung besar dan gamis panjangnya berkibar diterpa angin. Dia berjalan mendekat ke arahku. Wajahnya semakin jelas. Tatapan teduhnya memaksa bibirku tersungging tipis. Wajah memerahnya membuatku ingin menyentuh pipi lembutnya.
Suara adzan Mahgrib menyadarkanku. Kugerakkan sepenuh kekuatanku untuk melangkah. Aku terus berjalan sedangkan yang lainnya sudah menunggu di tepi jalan. Semua otot ini terasa begitu kaku, namun berjalan bersama sahabat memberikan kekuatan tersendiri. Sampai di depan pintu rumahku, ku rebahkan lagi kaki lelah ini. Ku luruskan sambil merasakan syahdunya suara adzan yang bersahutan.
“Mi, mandi sana lalu sholat,” teriak ibuku yang sudah lengkap dengan mukenanya.
“Iya Bu. Azmi langsung mandi. Kalau ibu dan ayah mau berangkat duluan tidak apa-apa bu,” jawabku.
Satu prinsip yang selalu ku pegang, aku tidak boleh sekalipun membentak orang tuaku apalagi ibu. Selama ini aku mencoba menuruti apa yang dikatakan olehnya. Peluh ini sudah kering sempurna. Aku bergegas mandi. Seperti remaja laki-laki lainnya, aku hanya butuh lima menit untuk mandi. Selesai mandi, aku langsung memakai baju dan sarung menuju ke masjid. Untunglah jarak masjid dan rumahku hanya dua puluhan meter.
Makan malam kali ini terasa sempurna. Jarang sekali ayah pulang cepat. Biasanya dia pulang jam sembilan malam.
“Mi, aku mau tanya sesuatu kepadamu. Jujurlah pada ayah,” ayahku melirik tajam ke arahku lalu kembali konsentrasi dengan sepiring nasi di depannya.
“Iya Yah, insyaaAllah,” aku mencoba menyingkirkan rasa penasaran.
“Apa kau sudah punya pacar ?”
Pertanyaan ayah sangat mengejutkan. Aku menatap matanya yang menandakan keseriusan walau bibirnya tersenyum tipis. Aku menoleh ke arah ibu, dia tersenyum lebih lebar.
“Tidak Yah. Aku selalu ingat kata ayah kalau aku tidak boleh pacaran. Ayah juga yang bilang kalau lelaki sejati bukan memacari perempuan yang dicintainya, tapi menikahi perempuan yang dicintainya,” aku mencoba lebih tenang.
“Ayah dulu pernah muda Nak. Anak usia dirimu ini adalah awal suka dengan lawan jenis. Ayah hanya berpesan, jangan terlalu memberi harapan lebih kepada seorang perempuan. Pada hakekatnya perempuan itu rapuh. Perasaan mendominasi semua perilakunya. Lelaki sejati tidak akan pernah menyakiti perempuan. Jika kau benar-benar ingin memilikinya, langsung saja kau nikahi dia. Jangan menyiksanya dengan memacarinya. Kau pun sama. Orang jatuh cinta itu seperti orang yang mabuk. Akal sehatnya hilang. Mungkin sekarang kau bisa bilang seperti itu, tapi ketika cinta tidak bisa kau pisahkan dengan nafsu, maka zina lah yang akan kau lakukan. Mencintai manusia seperlunya saja Mi, tetapi curahkanlah cinta kepada Allah,” nasehat ayah.
“Iya Yah, Azmi aku mengingat nasehat ayah ini,” kataku sambil menundukkan pandangan.
“Apa kau sedang suka dengan seseorang Mi ?” tanya ibu.
Pertanyaan ibu membuatku tersipu. Wajahku memerah. Tidak sanggup aku menyembunyikannya.
“Azmi tidak tahu Bu. Jangan bahas itu Bu. Yang jelas Azmi tidak pacaran. Azmi juga belum siap untuk menikah, baru saja naik ke kelas tiga Bu. Mau fokus ujian dan mempersiapkan rekruitmen tenaga kerja setelah lulus nanti,” kataku mengalihkan pembicaraan.
Ayah dan ibu sejenak terdiam dan saling menatap.
“Azmi, dari kecil sampai saat ini kamu selalu bilang ingin menjadi seorang guru. Gaji ayah dinaikkan sejak kemarin dan jam kerja ayah sekarang hanya sampai jam lima sore. Sedangkan ibu sudah mempunyai pelanggan tetap untuk menjahitkan pakaian mereka ke tempat ibu. Tadi sebelum kamu pulang, ayah dan ibu sudah sepakat untuk menguliahkanmu. Bagaimana menurutmu Mi ?” kata Ayah.
Aku terkejut mendengar penjelasan ayah. Mataku berbinar seakan tidak percaya apa yang baru saja aku dengar.
“Apa ayah dan ibu serius ?” tanyaku antusias.
Ayah dan ibu serentak mengangguk. Hatiku berbunga-bunga. Bunga yang sempurna mengembang dan siap dipetik. Bahagia sekali mendengar hal itu. Sesaat kemudian adzan isya’ menghentikan pembicaraan kami. Aku berangkat ke masjid dengan perasaan penuh bahagia.
Aku bergegas berganti baju. Malam ini ada pengajian di masjid desa tetangga. Sebagai ketua remaja masjid, aku diundang bersama pengurus remaja masjid yang lainnya. Tidak ada yang istimewa. Hanya hatiku berdesir hebat ketika berjalan beriringan dengan Mbak Uly. Dia satu tahun lebih tua dariku. Saat ini dia sedang menunggu hasil seleksi jalur undangan masuk perguruan tinggi negeri.
“Mi, kenapa diam saja ?” kata mbak Uly.
Aku gugup. Satu kalimat pun tidak keluar dari mulutku. Aku hanya terpaku memandang tatapan teduh dan senyum manisnya.
“Aku hanya ngantuk saja mbak, hehe...” jawabku sekenanya.
“Ini,” kata mbak Uly menyodorkan permen kepadaku.
Aku mengambilnya walau sebenarnya aku tidak memerlukan itu. Kami memasuki halaman masjid yang dipenuhi kursi. Aku memilih tempat di tengah. Sedangkan Mbak Uly berada di sisi lain karena laki-laki dan perempuan dibedakan tempatnya. Acara molor sampai satu setengah jam karena menunggu ustadz dan pak camat datang. Aku mulai bosan. Tanganku mencoba mengambil ponsel di sakuku. Awalnya aku berniat berselancar di dunia maya, tetapi semua perhatianku tertuju pada sebuah SMS yang baru saja masuk.
“Bosan,” pesan Mbak Uly.
“Sama Mbak, aku juga bosan.”
“Badanku meriang Mi. Kamu punya minyak kayu putih ?”
“Punya Mbak. Aku antar ke situ ya ?”
“Tolong ya Mi.”
Aku berdiri dari tempat dudukku. Bergegas mencari tempat duduk Mbak Uly. Mudah menemukan dia. Berada pojok paling depan. Di belakang mbak Uly ada anggota remaja masjid lainnya. Mereka menatapku curiga. Seakan-akan ada sesuatu di antara aku dan mbak Uly. Aku tidak mempedulikannya. Paling utama adalah kesehatan mbak Uly.
“Ini mbak pakai saja jaketku biar tidak kedinginan,” kataku sambil memberikan jaket hitam yang kubawa.
“Lalu kamu sendiri bagaimana Mi ?”
“Aku sudah pakai baju lengan panjang, jadi sudah terasa hangat mbak.”
“Makasih ya Mi.”
“Iya mbak, sama-sama,” kataku berlalu menuju ke tempat dudukku.
Acara semakin membosankan saat sambutan terlalu lama. Aku dan Mbak Uly tenggelam dalam lautan obrolan SMS malam itu. Suasana mencair dan tidak sekaku dulu. Mbak Uly bahkan sering membuat candaan yang membuatku tertawa kecil. Malam itu menjadi lembut dengan kehadiran mbak Uly bermata teduh.
Uly : Jingga yang selalu saja begitu. . .
“Cukup sekian kajian muslimah hari ini, semoga bermanfaat dan apabila terdapat kesalahan, saya mohon maaf. Wassalamu’alaykum Warahmatullahi Wabarakatuh...” Ustadzah Salamah menutup kajian muslimah sore hari ini.
Aku bergegas memasukkan buku catatan kecil ke dalam tas cokelatku. Aku selalu rutin mengikuti kajian muslimah ini setiap tiga kali seminggu. Awalnya memang hanya mengikuti ajakan teman, namun aku merasa cocok dan nyaman belajar di sini. Hingga akhirnya aku bisa memperdalam ilmu agamaku saat ini.
“Uly, pulang bareng ya soalnya nanti di lapangan dekat perempatan jalan dipakai untuk tanding bola, jadi banyak anak laki-lakinya. Aku malu,” ajak Putri yang kebetulan rumahnya satu jalur denganku.
“Iya tenang aja. Ayo pulang sekarang.” ajakku mengiyakan.
Aku dan Putri bergegas melangkahkan kaki keluar dari pintu masjid. Rumahku memang tidak jauh dari masjid, hanya perlu melewati perempatan dekat lapangan dan sekitar 50 meter kemudian sampai . Tidak terasa kami telah sampai di perempatan dekat lapangan, tak kusangka hari ini lapangan ramai sekali tidak seperti biasanya. Aku dan Putri mulai berjalan agak cepat. Tak enak rasanya menjadi pusat perhatian. Keinginan hati ingin menundukkan pandangan, namun apa boleh buat, jalan yang hanya mempunyai lebar beberapa meter ini dipenuhi motor yang dan jalanan menjadi sempit memaksa kami untuk fokus melihat ke depan agar tidak menabrak orang dari berlawanan arah.
Lima menit sudah aku dan Putri melewati jalan yang rumit tadi. Kini tinggal beberapa langkah lagi kami akan keluar dari keramaian itu. Langkahku sedikit terganggu ketika mataku mengangkap sosok laki-laki yang begitu dalam menatapku. Tak hanya hari ini saja, setiap kali aku bertemu dengannya, ia selalu begitu. Dia yang selalu saja begitu adalah Azmi. Anak laki-laki yang masih duduk di kelas 3 SMA, satu tahun lebih muda dariku. Azmi adalah ketua remaja masjid di desa ini dan dia selalu baik padaku. Ia sudah seperti adik bagiku. Tatapan Azmi mungkin simbol sapaaan padaku. Aku lantas memberikan senyum untuk membalas sapaannya.
Aku merebahkan tubuhku di atas tempat tidurku. Aku lelah sekali. Sejak tadi pagi aku belum istirahat. Aku sibuk menyiapkan berkas-berkas untuk pendaftaran kuliah. Mengambil transkrip nilai di sekolahku yang dulu dan mengurus surat-surat di kantor desa untuk keperluan beasiswaku. Belum lagi setelah ba’da isya’ nanti ada undangan dari desa sebelah untuk menghadiri pengajian.
Waktu memang berjalan sangat cepat. Meskipun hanya satu detik, manusia tiada daya untuk menghentikannya. Tak terasa jam sudah menunjukkan pukul 19.00 WIB, aku bergegas melaksanakan sholat Isya’ lalu siap-siap pergi ke pengajian. Kupakai gamis berwarna abu-abu tua lengkap dengan jilbab lebar abau-abu muda. Aku memang tidak suka berpakaian dengan corak yang cerah, karena terlalu mencolok. Aku bergegas berpamitan dengan ibu dan ayahku lalu segera melangkahkan kakiku menuju masjid. Aku sudah pasti ditunggu teman-teman yang lain.
Sesampainya di tempat pengajian, aku mencari tempat duduk di urutan paling depan dan paling pojok. Tujuan utamanya agar aku dapat fokus mendengarkan pengajian, di tengah kondsi tubuhku yang kelelahan ini. Selama satu jam aku dapat fokus mendengarkan rangkaian acara pengajian, namun lama kelamaan aku mulai bosan dan tubuhku mulai tidak kuat. Aku mulai pusing dan mengantuk. Aku mulai minta minyak kayu putih pada teman-teman yang berada di dekatku, namun nihil hasilnya. Tidak ada yang membawa. Sejenak kemuadian, aku ingat Azmi. Aku menghubunginya melalui pesan singkat. Tak disangka ia membawa apa yang aku butuhkan dan mengantarkannya langsung kepadaku. Azmi terlampau baik padaku, sampai-sampai jaket yang dipakainya, ia pinjamkan padaku.
Tubuhku sudah mulai sehat, namun aku sudah bosan dengan pengisi acaranya yang kurang menarik. Aku lanjutkan saling berbalas pesan singkat dengan Azmi sebagai penghilang rasa bosan. Satu kali ini saja aku tidak fokus ke acara pengajian dan aku rasa, aku tidak akan macam-macam dengan Azmi, layaknya hubungan adik dan kakak. Aku mulai bercanda dengannya dan terus tenggelam dalam pesan yang pembahasannya tidak jelas.