"Mommyyyyy."
Nasya langsung menoleh ke arah pintu yang terbuka lebar.
"Sayang." Nasya bicara sangat pelan, hampir tidak bersuara menyambut kedua putri-putrinya yang tengah berlari ke arahnya.
"Uh. Putri-putri Mommy." Nasya memeluk mereka hangat, "Sama siapa kesini?" tanyanya seraya mencium dahi mereka sekali-sekali.
"Sama Oma," jawab Lea putri sulungnya.
"Mana?" tanyanya bingung karena mereka hanya masuk berdua.
"Assalamualaikum." Seseorang masuk ke dalam ruang rawat Nasya dengan tas jinjing cukup besar di tangannya.
"Ibu. Waalaikumsalam," jawabnya.
Nasya tersenyum hangat menyambut kedatangannya, kemudian ia menyalami tangannya lembut dengan Ibu mengelus kepala Nasya lembut.
"Sayang. Bagaimana kabarmu?" ucapnya seraya duduk di hadapan Nasya.
"Alhamdulillah baik, Bu," jawabnya sedikit berbohong.
Ibu mertuanya menatap Nasya teduh dengan mata yang berkaca-kaca. "Maafkan putra ibu, Nak?" ucapnya sembari menitikan air matanya.
Nasya meraih kedua tangannya. "Bu. Nasya gapapa. Nasya baik-baik saja," ucapnya dengan menguatkan hatinya supaya tidak ikut menangis.
"Oma. Oma kenapa?" tanya Letta putri kedua Nasya.
"Oma gapapa, Sayang," jawabnya dengan senyum paksa di wajahnya.
"Terus, … Oma kenapa nangis?" tanyanya lagi.
"Oma nangis … karena Oma bahagia. Oma punya Cucu baru lagi," ucapnya dengan ceria.
Letta tersenyum. Ia beralih menatap ibunya. "Mommy. Aku boleh liat Dedek bayi?" ucapnya meminta izin.
Nasya tersenyum hangat. "Boleh!"
"Boleh gendong, Mommy?" tanya Lea seraya bergerak mendekati adiknya yang tengah tertidur pulas.
"Nanti, ya, Sayang," ucapnya lembut penuh kasih sayang, "Dedeknya 'kan, lagi bobo."
"Eh, iya," jawabnya seraya menutup mulut.
Nasya tersenyum, lucu melihat tingkah menggemaskan putri sulungnya.
"Kalo Letta? Boleh, Mommy?"
Nasya mengelus kepalanya lembut. "Boleh. Tapi, nanti juga, ya? Kalau dedeknya udah bangun."
Mereka berdua mengangguk.
"Em?" Lea nampak berpikir, "Mana Daddy, Mommy?" tanyanya.
Deg.
Nasya mematung. Ia bingung harus jawab apa pada mereka.
Tatapan lembut dari mertuanya membuat Nasya tidak sanggup untuk memberitahu mereka yang sebenarnya, juga … itu hanya akan membuat mereka ikut merasakan sakit hatinya.
Tapi,
Harus apalagi yang harus Nasya katakan. Setiap hari, setiap menit, setiap detik. Apa ia harus terus-terusan berbohong pada anak-anaknya?
Di saat seperti ini. Nasya sangatlah terpukul.
"Ya Tuhan. Apalagi alasan yang harus hamba katakan pada kedua putri hamba," gumamnya dalam hati.
Cklek ….
Perhatian mereka teralihkan pada pintu yang terbuka.
"Om."
Senyum bahagia tercetak di wajah Nasya. "Terima kasih, Tuhan. Kau telah mempermudah segalanya."
"Oommmm."
Mereka berdua berlari ke arah pintu.
"Eehhhh…, ada Peri-peri cantik," ucapnya seraya berjongkok, lalu menangkap tubuh mereka berdua.
"Uh. Periku … Om kangen sama kalian berdua," ucapnya dengan memeluk tubuh mereka berdua hangat.
"Kalau kangen. Kenapa Om tidak main ke rumahku?" tanya Lea seraya melepaskan pelukannya.
Bang Azka tersenyum. "Siap, Peri cantik."
Mereka berdua cekikikan dengan mulut ditutup oleh kedua telapak tangannya.
Bang Azka berdiri dengan kedua tangan mereka ia genggam. "Kapan kalian kesini?" tanyanya.
"Baru, Bang. Mereka baru sampai," jawab Nasya.
Bang Azka tersenyum. "Ibu," ucapnya seraya menyalami tangan mertua Nasya.
Meskipun kelakuan anaknya bejat. Azka masih menghormati ibunya. Karena yang bersalah itu Alex, bukan ibunya.
Jadi, jalinan keluarga mereka masih utuh. Malahan, mertuanya Nasya sangat mendukung jika Nasya mau bercerai dengan anaknya.
Tapi,
Anak.
Anaklah yang Nasya beratkan. Ia harus memikirkan hati juga masa depan anaknya kelak.
Mungkin, dengan kesabaran. Ia bisa melunakkan hati suaminya sedikit demi sedikit.
.
.
Sore hari
.
.
"Om. Kenapa Dedek tidur terus, sih?" tanya Lea yang duduk di samping om-nya.
Bang Azka tersenyum. "Kalau lari, itu namanya Lea," jawabnya bercanda.
Lea tertawa pelan.
"Nah. Kalau cerewet, namanya Letta," tambahnya seraya mencubit pipi Letta gemes.
Letta terkikik. "Tapi, ya, Om. Letta, 'kan, mau gendong," ucapnya dengan wajah cemberut.
"Mau gendong?" tawarnya.
Mereka berdua mengangguk.
"Bentar, ya?"
Mereka mengangguk lagi.
Bang Azka mendekati kasur yang sedang Nasya tempati.
"Mau ngapain, Bang?" tanya Nasya bingung.
"Mereka mau gendong, Sya?" jawabnya.
"Tapi, Bang."
"Bentar doang," ucapnya.
Nasya menatap kakaknya yang sudah sangat lihai memangku seorang bayi.
"Bang. Kenapa Abang tidak menikah saja? Abang sudah cocok, lho, jadi seorang Ayah?" ucapnya memuji.
Bang Azka menoleh sebentar. Kemudian ia melangkah pada kedua gadis kecil yang tengah menunggunya di sofa.
"Melihatmu masih seperti itu … Abang belum siap untuk menikah," jawabnya seraya duduk di antara Lea dan Letta.
"Bang." Nasya menatapnya sedih, juga tidak percaya.
"Nih. Siapa yang mau duluan?" tanya Bang Azka pada mereka berdua.
"Letta dulu, Om. Biar nanti Lea," ucapnya selalu mengalah demi adiknya.
"Uh. Kakak yang baik."
Bang Azka mengarahkan bayi merah itu ke tangan Letta.
"Begini," ucapnya seraya membenarkan tangan Letta untuk mendekap tubuh adiknya.
"Eh, Om. Dedeknya joget!" ucapnya girang saat adiknya menggeliat.
Bang Azka dan Letta cekikikan. "Itu bukan joget, Sayang."
"Itu dedeknya pegel, Dek," tambah Lea.
"Oh. Kirain joget," ucapnya seraya tertawa pelan.
Selama beberapa menit Letta memangku adiknya. Dia merengek.
"Om. Pegel," rengeknya.
Bang Azka tersenyum manis. "Sini," ucapnya seraya mengambil bayi mungil itu dari pangkuannya.
"Sini, Om." pinta Lea.
Bang Azka mengangguk. Kemudian ia menyerahkan bayi itu ke pangkuan Lea.
"Om. Pegel," rengek Letta lagi.
"Sini. Om pijitin," ucapnya seraya meraih kedua tangan Letta lembut.
"Eh." Bang Azka tertawa saat Letta malah naik ke atas pangkuannya.
"Letta ngantuk," ucapnya.
Bang Azka tersenyum. Kemudian ia membaringkan tubuhnya di atas pangkuannya.
"Anak manja," candanya seraya mengusap-ngusap kepala Letta.
"Kamu sudah pandai gendong, ya?" ucap Bang Azka pada Lea.
Lea tersenyum manis. "Lea 'kan dulu udah pernah gendong Letta," jawabnya manis.
Lea benar-benar mewarisi karakter ibunya. Dia manis, lembut, juga penyayang. Ia juga selalu sabar menghadapi sikap adiknya yang cerewet juga manja.
"Kakak yang baik." Bang Azka benar-benar kagum dengannya.
"Bang. Letta bobo?" tanya Nasya seraya turun dari atas tempat tidur.
Bang Azka mengangguk.
"Boboin sini," ucapnya seraya menepuk kasur yang ia tempati tadi.
"Lea tunggu bentar, ya?" ucapnya khawatir ia merasakan pegal.
"Gapapa, Om. Lea kuat, kok." jawabnya.
Bang Azka tersenyum bangga. Ia kemudian memangku tubuh Letta, lalu ia tidurkan di atas kasur.
"Anak baik," ucapnya seraya mencium kening Letta sekilas.
"Sini. Biar Mommy yang gendong." pinta Nasya.
"Gak, Mommy. Mommy istirahat saja. Mommy pasti lelah dan capek setelah melahirkan dedeknya Lea."
Mata Nasya berkaca-kaca saat mendengar perhatian tulus dari anak sulungnya.
"Sayang." Nasya menciumi seluruh wajah anaknya.
"Makasih, Sayang." ucapnya terharu.
Lea tersenyum. "Mommy istirahat. Biar Dedek sama Lea aja."
Nasya menggeleng. "Mommy mau disini sama anak sulung Mommy."
Lea tersenyum. "Mommy baik-baik, ya?"
Nasya menatapnya bingung. "Mommy gapapa, Sayang. Mommy baik-baik saja."
Lea hanya tersenyum tipis. Kemudian tatapan fokus lagi pada adik keduanya.