Rubi memerhatikan sosok tegap tinggi tersebut. Tak disangka masih ada orang sebaik Arsan di kawasan seperti ini. Rubi menelan saliva dengan berat. Pikirannya kalut karena terlilit oleh masalah.
"A- aku, aku-"
"Tak penting siapa jati dirimu, tapi aku yakin kau pasti kabur dari rumah," potong Arsan. Ia tak mau Rubi merasa tertekan dengan pertanyaannya.
Sementara itu, Rubi tampak membeku di tempat.
"Terimakasih sudah menyelamatkanku," ujar Rubi lirih. Tak tahu harus melakukan apa guna membalas budi baik Arsan.
"Sebaiknya kau pulang. Tidak baik wanita sepertimu berkeliaran di tempat seperti ini,"
Pulang? Sebuah kata yang sangat Rubi hindari. Dia sudah salah mengambil langkah. Rubi terlampau terbawa hati sehingga enggan menanti kepulangan Jaya. Seharusnya mereka menyelesaikan masalah ini secara dingin. Rubi tahu, pasti saat ini Jaya sedang mengkhawatirkannya.
"Aku ingin tinggal di sini saja," balas Rubi tanpa pikir panjang.
Kedua bahu Arsan naik serta perutnya bergoyang-goyang mendengar penuturan Rubi. Orang yang sedang bermasalah pasti pikirannya memang pendek. Mau makan apa Rubi di kolong jembatan ini? Arsan yakin bahwa Rubi tidak punya pengalaman untuk menjadi gembel.
"Lihatlah, Nona!" kata Arsan. "Apa kau mau hidup seperti kami ini, hem? Tidak memiliki tempat tidur apalagi rumah dan makan pun jarang. Di sini juga keras, tak pandang pria maupun wanita. Jika kita dianggap mengganggu, maka mereka tak segan-segan untuk menyakiti. Aku yakin perempuan sepertimu tak akan mampu hidup di jalanan," sambungnya sambil menunjuk-nunjuk kawasan itu.
Rubi memerhatikan ke mana telunjuk Arsan berlabuh. Memang benar kata pria tersebut. Baru saja Rubi menginjakkan kaki di jalanan, tapi dia sudah menemukan banyak masalah. Apalagi jika hidup selamanya di sana. Bisa-bisa Rubi mati berdiri.
"Kau mulai berpikir, kan? Bagus!" Arsan tersenyum miring.
"Aku ingin pulang saja," titah Rubi setelah lama menimbang.
"Memang seharusnya begitu,"
"Tapi aku takut orang-orang jahat itu mencelakaiku lagi,"
"Biar kuantar kau pulang,"
Tawaran Arsan membuat Rubi tersenyum. Wanita memang begitu, terlalu labil. Kalau pada akhirnya Rubi akan kembali, lalu untuk apa dia pergi?
"Kau bukan orang jahat, kan?" Sepasang mata Rubi menyipit.
"Aku pasti sudah menculikmu sejak tadi jika aku orang jahat. Sudahlah, ayo!" Arsan melangkah lebih dulu dan diikuti oleh Rubi.
***
"Bagaimana ini, Pa? Sudah larut malam, tapi Rubi tak kunjung kita temukan," keluh Jaya. Saat ini dia dan Papanya sedang mencari keberadaan Rubi.
Keduanya mengelilingi seantero kota. Jaya sangat mengkhawatirkan istrinya tersebut. Ia tahu betul bagaimana kejamnya orang-orang jalanan. Jaya hanya tak ingin Rubi diculik lalu diperlakukan semena-mena.
"Sabar, Jaya. Kita jangan menyerah." Hanya kalimat itu yang mampu Hardi haturkan guna menenangkan putranya. Sejujurnya ia pun sungguh khawatir dengan Rubi.
Jaya dan Hardi terus melancarkan misi. Bahkan, mereka sudah dua kali mengisi BBM hanya karena habis digunakan berkeliling. Jaya semakin takut dan mulai menduga-duga hal aneh.
"Jangan-jangan Rubi tercebur ke dalam sungai," ucapnya.
"Husss! Kau jangan berbicara seperti itu. Memangnya apa yang membuat Rubi sampai bisa nyemplung ke sungai?" sangkal Hardi tak terima.
"Atau, Rubi diculik orang dan disekap,"
"Jaya, berhentilah untuk berpikir yang buruk-buruk!" tegur Hardi kesal. Ia masih berharap bahwa menantunya dapat pulang dengan keadaan selamat.
Jaya tak lagi berkicau. Ia fokus menyetir mobil dan memerhatikan sekeliling jalan. Hingga 20 menit ke depan, Jaya melihat seorang wanita bertubuh mungil berdiri di sebelah pria asing. Seketika Jaya menginjak rem mobil. Ia memundurkan kendaraan roda empat itu hingga bersisian dengan objek yang dipandang.
"Astaga! Itu Rubi, Pa. Dengan siapa dia?" Tak perlu menunggu jawaban dari Hardi, Jaya langsung melompat turun.
"Hei, kau bawa ke mana istriku, hah?"
Bugh! Bugh! Bugh!
Tanpa pikir panjang, Jaya langsung menimpuk wajah lelaki tegap tersebut.
"Mas? Sudah, Mas. Stop!" teriak Rubi dan Jaya mendadak menghentikan aksinya.
"Kau terluka?" tanya Rubi pada Arsan.
Jaya dan Hardi saling pandang. Apa Rubi dan sosok itu saling mengenal? Rubi kelihatan khawatir dengan keadaan Arsan yang sempat terhuyung ke belakang.
"Ah, tenang saja. Aku tak apa-apa," jawab Arsan.
"Rubi, kau dari mana saja? Kenapa bisa bersama pria ini?" tanya Jaya tak sabaran.
Arsan menyorot mimik layu Jaya dan Hardi. Pukulan lelaki itu cukup kuat, tapi Arsan tak ingin membalasnya. Ia dapat menebak bahwa dua lelaki di hadapannya adalah keluarga Rubi. Wajar mereka menimpuk Arsan karena mengira bahwa dialah yang telah menculik Rubi.
"A- aku, aku tadi…"
"Jaga wanita ini baik-baik. Dia nyaris dipalak preman," ujar Arsan menengahi. "Kau sudah bertemu keluargamu dan tugasku selesai sampai di sini," sambungnya membidik netra Rubi.
Arsan pun pergi tanpa menunggu respon sang lawan bicara. Sesekali ia mengusap pelipisnya. Rubi dapat melihat tubuh tegap Arsan yang tersorot lampu jalanan dan membentuk siluet. Jika tidak ada pria itu, Rubi tak dapat membayangkan bagaimana nasibnya sekarang. Barangkali dia sudah menjadi santapan preman-preman jalanan.
"Arsan!" teriak Rubi. Saat itu juga sosok yang dipanggil menoleh ke belakang. "Terimakasih telah menolongku, ya," lanjutnya tersenyum ramah.
Arsan tak menjawab. Ia hanya menganggukkan kepala mantap seraya mengacungkan ibu jari. Pemandangan itu jelas membuat Jaya dan Hardi semakin bingung. Apakah Rubi memang sengaja kabur dengan lelaki bernama Arsan itu?
"Aku tidak mengerti dengan semua ini," titah Jaya menahan cemburu.
Rubi menoleh dan keadaan menjadi tegang. Sejujurnya Rubi begitu malu untuk kembali ke rumah.
"Maafkan aku, Mas." Cepat-cepat Rubi merengkuh tubuh Jaya. Ia menenggelamkan kepala di dada bidang Jaya.
"Rubi, apa yang sebenarnya terjadi? Siapa pria itu?" Kini, giliran Hardi pula yang berbicara.
"Kita pulang saja dulu ke rumah," ucap Jaya kemudian membukakan pintu mobil untuk Rubi.
Sesampainya di rumah, keluarga Hardi langsung menyembulkan diri ke dalamnya. Mereka duduk di sofa ruang tengah.
"Jelaskan pada kami, Rubi," ucap Jaya.
Rubi menarik napas dalam. Dia sangat merasa bersalah karena sudah kabur dari rumah.
"Maafkan aku, Mas. Aku putus asa setelah tahu bahwa Mama tidak merestui pernikahan kita. Aku kabur dan di tengah jalan aku dicegat oleh beberapa preman. Arsanlah yang menyelamatkan dan mengantarku pulang ke rumah" terang Rubi. Mengingat hal itu membuat batinnya kembali tercabik-cabik.
Selanjutnya Rubi menceritakan bagaimana awal mula ia menemukan kertas keinginan dalam rumah tangga yang kala itu ia tulis bersama Jaya.
"Aku merasa tidak pantas berada di tengah-tengah kalian makanya aku kabur," titah Rubi setelah ia selesai membagikan kisahnya.
"Biar Papa yang berbicara," ujar Hardi mengambil alih.
Rubi dan Jaya mendengarkan penjelasan Papa mereka dengan apik.
"Rubi, aku tak ingin menutup-nutupi sesuatu darimu. Memamg benar kalau Anti dan putriku tidak menyukaimu. Namun kau jangan khawatir, karena aku yakin lambat laun pasti hati mereka akan terbuka. Semua hanya tentang waktu, Rubi,"
Pantas saja Rubi merasakan kejanggalan saat bertemu dengan mertua serta adik iparnya. Ternyata memang benar jika keduanya membenci Rubi. Rubi patah semangat. Dia jadi minder menjadi bagian dari keluarga Hardi.
"Apa yang membuat Mama dan Melani tidak menyukaiku, Pa? Apa aku pernah menyakiti kalian?" tanya Rubi.
"Hal itu tidaklah penting. Aku yakin suatu saat Mama dan Melani bisa menganggap keberadaanmu," timpal Jaya.
"Benar, Rubi. Yang paling penting kau jangan pernah mengulang perbuatan ini lagi. Kami sangat membenci hal ini," sambung Hardi.
Rubi hanya mengangguk pasrah. Rubi sangat mencintai suaminya. Di sisi lain, Rubi akan menjadi sebatang kara lagi, jika berpisah dari Jaya. Tidak! Rubi trauma dengan masa-masa itu. Ia tak ingin kembali ke belakang.
"Maafkan kesalahanku, Mas. Aku akan terus mencoba menjadi istri dan menantu terbaik," lirihnya seraya meneteskan air mata.
***
Bersambung