webnovel

Bab 7 - Thank You

Rasa silau dan sedikit pusing dirasakan Agnia saat baru saja membuka kedua matanya. Netranya meminndai ke sekitar.

Seketika wanita tersebut teringat dengan kejadian di restoran. Ia terduduk.

"Sebaiknya istirahat saja. Saya yakin tubuh Anda masih lemah."

Agnia menoleh ke sumber suara. Ia dihampiri oleh seorang pria yang datang dari arah luar. "Anda yag bersama Pak Prapta itu, kan?"

Dirga mengangguk. "Ya." Ia meletakkan makanan yang baru dibelinya untuk Agnia. "Makan lah. Anda pasti lapar. Saya tidak tahu apa Anda menyukainya atau tidak."

Agnia melihat ke arah kantong kresek yang berisi makanan. "Maaf jadi merepotkan. Seharusnya Anda jangan merepotkan diri sendiri. Saya merasa tidak enak hati."

"Saya ikhlas membantu Anda. Saya paling tidak suka jika ada wanita yang dipermainkan dan dilecehkan oleh pria bajingan seperti Prapta itu." Diam-diam tangan Dirga terkepal erat. Pandanganya lurus ke arah tembok dengan tatapan yang seolah ingin menguliti hidup hidup.

Hal itu tak lepasdari pengamatan Agnia. Wanita itu bingung mengapa Dirga sampai semarah itu? Padahal mereka tidak kenal satu sama lain atau ada hal lain yang menjadi alasan kuatnya? Hanya Tuhan dan Dirga yang tahu.

Agnia termenung. Bukan karena kejadian apes di restoran, tapi memikirkan bagaimana nasib pekerjannya. Ia tidak yakin masih boleh bekerja di sana. Sepertinya Agnia harus segera mencari tahu status kepegawaiannya.

"Kenapa melamun? Silakan dimakan stau makanannya akan menjadi dingin."

"Emm, Anda juga makan lah."

"Saya sudah maan tadi. Anda mkan saja."

Agnia mengangguk pelan. "Iya." Jujur saja Agnia merasa kurang nyaman makan sendiri terlebih satu ruangan dengn orang asing meskipun si pria telah membantunya. Sedangkan Dirga melihat gerak gerik Agnia yang merasa kikuk. Ia berkata, "Saya keluar sebentar." Dirga tau jika wanita tersebut merasa sungkan padanya. Jadi, ia memilih untuk keluar.

"Akhirnya pria itu keluar. Sebaiknya aku makan dengan cepat kalau nggak, pria tadi bisa kembali kapan saja." Beberapa menit kemudian, Agnia telah selesai makan. "Pria tadi belum kembali ya." Dengan inisiatif sendiir Agnia berjalan ke luar.

"Kenapa Anda malah di sini? Dokter bilang kalau Anda---"

"Saya sudah merasa lebih baik Pak Dirga."

"Oh, begitu rupanya." Dirga meliirk ke arah leher Agnia. "Saya yakin bekas cekikan Pak Prapta terasa sakit. Apa masih sakit?"

Refleks Agnia menyentuh lehernya. "Iya. Masih terasa sakit, tapi tidak sesakit saat Pak Prapta melepaskan cekikannya."

"Jika Anda sudah sepenuhnya pulih kita bisa pergi untuk melapor pada pihak berwajib tentang kelakuan pria kurag ajar tersebut."

Wanita di depan Dirga sontak membulatkan mata. "Aap-apa? Mm-melaporkan ke polisi? Untuk ap-pa?"

"Anda sudah tahu, tapi kenapa masih bertanya? Kelakuan Pak Prapta sudah keterlaluan. Dia harus dihukum atas perbuatannya."

Agnia sedikit menunduk. "Tt-tapi ..."

"Ada apa? Apa ada masalah?"

"Saya tidak bisa melaporkan Beliau ke kantor polisi?"

Dirga terkejut. "Kenapa? Apa sewaktu saya pergi Pak Prapta datang dan melakukan pengancaman?"

Agnia segera menggeleng. "Bukan karena itu, Pak."

"Lalu?" sahut Dirga dengan cepat. Tak sabar mengetahui alasan penolakan Agnia.

"Bagaimana orang seperti saya, rakyat kecil melaporkan Pak Prapta yang status dan sosialnya jauh lebih tinggi? Yang ada orang-orang akan menuduh saya menggoda pria itu dan mereka akan mempertanyakan kenapa saya dari awal menerima untuk duduk di samping Pak Prapta."

"Jangan dengarkan orang lain. Anda tidak bersalah dalam hal ini. Anda duduk di sampingnya merupakan bentuk profesionalitas bukan untuk menggoda."

"Pak DIrga mungkin tahu, tapi bagaimna dengan mereka? Orang-orang akan berpikir berbeda dan menatap saya sebagai wanita penggoda. Saya hanya ingin hidup tenang di sini tanpa hambatan apa pun." Agnia ingin sekali menjebloskan Prapta ke dalam penjara, kalau perlu hukum seberat mungkin.

Namun, Agnia ingat jika dalam kasuus seperti ini, korban lah yang dipertanyakan dan disalahkan oleh masyarakat. JIka dirinya memang menang dalam gugatan, itu lebih baik, tapi jika tidak? Orang-orang akan memandang dirinya sebagai wanita gampangan dan mau-mau saja di ajak duduk bersama.

"Saya akan membantu untuk bisa menjebloskan Pak Prapta dalam penjara."

"Pak Dirga jangan mereotkan diri sendiri lebih jauh lagi."

"Saya merasa biasa saja."

"Tapi saya yang keberatan."

Dirga mengembuskan napas. Ia seharusnya sudah menebak ending dari permasalahan yang menimpa Agnia yaitu memilih mundur dan mencoba melupakan apa yang terjadi. Sungguh memang menyedihkan.

Di saat korban ingin speak up, justru hujatan demi hujatan diterima. Entah bagaimana pola pikir masyarakat sekarang ini. Apa mereka harus berada di isi korban baru bisa paham?

"Baiklah jika anda menolaknya."

"Kalau begitu saya permisi dulu Pak."

"Perlu saya antar?"

"Tidak perlu. Terima kasih atas tawarannya. Saya permisi."

*****

Agnia mengunci kontrakannya rapat-rapat. Ia juga menutup seluruh gorden dan jendela kemudian masuk ke dalam kamar. Agnia memegangi dadanya yang serasa tidak enak. Ia takut dan khawatir tentang kejadian yang menimpanya.

"Tenang Agnia. Kamu harus tennag." Agnia menarik dan mengembuskan napasnya. Meski begitu perasaan waswas masih saja ada di pikirannya.

Drrt drtt drrtt

Agnia kaget mendengar suara yang baru saja didengar. "Suara getar ponsel toh ternyata." Meliha ke arah layar ponsel. "Bu, Mika." Ternyata si penelepon adalah Mika, pemilik restoran tempatnya bekerja. "Halo, Bu Mika. Ada apa ya menelepon?"

"Begini. Saya tahu kejadian yang menimpa kamu. Saya turut prihatin. Maaf belum bisa menjenguk kamu."

"Ibu jangan meminta maaf. Bukan salah Bu Mika." Jari-jari Ania memiilin-milin pakaiannya. "Saya ingin bertanya pada Bu Mika."

"Silakan tanya saja."

"Apa saya masih bisa bekerja di sana?" Detak jantung Agnia berdetak lebih cepat dari biasanya.

"Tentu saja boleh."

"Beneran Bu saya masih bisa bekerja di sana?"

"Iya, tentu saja boleh dong. Saya nggak punya alasan untuk memecat kamu. Lagian yang salah pria iu, bukan kamu. Biar saya tebak, kamu berpikir jika saya menganggap kalau kamu lah yang salah, mencoba menggoda beliau. Benar, bukan?"

"Kok Bu Mika bisa tahu?"

"Ya dari cerita-cerita orang seperti kamu yang pernah mengalaminya. Hanya saja banyak dari mereka yang dipecat untuk menyelamatkan reputasi restoran."

"Apa Bu Mika nggak ingin melakukannya?"

"Apa kamu ingin saya melakukannya?"

"Jangan Bu."

Mika di seberang sana tertawa kecil. "Saya nggak akan berbuat seperti itu. Tenang saja. Lagi pula saat kejadian ada Pak Dirga yang menjadi saksi. Pak Dirga itu orang penting, bisa dibilang lebih penting dari Pak Prapta. Pak Dirga berjanji untuk bersaksi jika pihak Pak Prapta macam-macam pada kita. Sudah dulu ya, baterai ponsel saya mau habis. Semoga lekas sembuh ya Agnia."

"Terima kasih Bu." Akhirnya Agnia bisa bernapas lega.