webnovel

Bab 3 - Ini Semua Salah Kamu!

"Kok bisa nggak tahu? Memangnya suami kamu nggak bilang mau ke mana?" tanya Ratna.

Agnia menggeleng kecil. "Nggak Bu. Mungkin Mas Ivan sedang mencari kerja. Nanti juga pulang sendiri." Agnia tak ingin berkata jujur. Ia merasa jika menceritakannya, Ratna akan menganggap hidupnya tragis seperti di sinetron-sinetron.

"Mencari kerja kok sampai nggak pulang berhari-hari? Cari kerja di mana?" Ratna heran dengan Ivan yang selalu hilang entah ke mana. Ketika ia menanyakan pada Agnia, wanita itu pasti menjawab jika Ivan sedang bekerja atau sejenisnya.

Awalnya Ratna percaya, tapi semenjak Agnia semakin keras bekerja, dirinya jadi ragu. Apa Ivan bekerja? Memangnya sekecil apa gaji Ivan sehingga sang istri harus banting tulang? Kecuali kalau pria itu tak bekerja. Semua akan terasa masuk akal.

Agnia tahu jika Ratna tak percaya dengan ucapannya. Namun, mau bagaimana lagi? Tak tahu harus beralasan apa.

"Ayo kita makan Bu Ratna."

Ratna ingin membahas lebih lanjut, tapi mengingat mereka belum makan, ia urungkan niatnya. Pembicaraan mengenai Ivan menguras tenaga. Entah lah, Ratna tak suka saja dengan pria itu. Terlihat pemalas dan tak ada tanggung jawab.

"Iya."

Mereka berdua makan dengan hening. Hanya ada suara ayam dan kambing yang sesekali bersuara. Sepuluh menit kemudian, keduanya telah selesai.

"Ayo ibu bantu membersihkan."

"Tidak usah Bu Ratna. Ibu kan tamu di rumah ini. Sebaiknya Ibu duduk saja. Biar saya yang melakukannya."

Melihat kekeras kepalaan Agnia, Ratna akhirnya mau mengalah. "Baiklah. Ibu tunggu di sofa." Ratna pindak ke sofa. Netranya melihat ponsel yang tergeletak di atas meja. Terbesit satu hal dalam pikirannya. Ia ragu apa harus melakukannya? "Dia harus tahu."

Membulatkan tekad, Ratna mengambil benda tadi dan mencoba menelepon Ivan. Setelah beberapa saat menunggu tidak ada jawaban, hanya ada suara dering. "Ck! Ke mana lagi pria itu? Disaat begini bukannya pulang ke rumah malah hilang entah ke mana." Mencoba sekali lagi, tapi kali ini ponselnya tidak aktif. "Malah tidak aktif. Memang ya si Ivan benar-benar keterlaluan!"

"Bu ratna sedang apa?"

Yang ditanya pun kaget. Tiba-tiba saja Agnia berada di dekatnya. "Kaget saya."

"Maaf Bu."

"Tidak apa-apa." Ia meletakkan kembali benda itu ke tempatnya. "Saya tadi mencoba menghubungi Ivan, tapi ponselnya mati. Emm, maaf ya kalau saya lancang pegang ponsel dan telepon suami kamu Nak Agnia."

"Tidak apa-apa Bu. Saya rencananya juga akan menelepon Mas Ivan. Terima kasih karena ibu sudah mewakilkan saya tadi." Ada rasa kecewa saat mengetahui Ivan tidak bisa dihubungi.

Sempat berharap Ivan menganggat dan menanyakan kabar dirinya. Namun, realita selalu berbeda dengan ekspetasi.

"Kamu nggak marah apa suamimu nggak pulang-pulang?" Agnia hanya diam. "Si Ivan sudah tahu kan kalau anak kalian tidak selamat?" Berat rasanya mengungkit hal menyedihkan tersebut. Namun, rasa penasaran Ratna sangat tinggi.

Agnia terdiam lagi. Tidak tahu harus menjawab apa. Ia tak mungkin juga berbohong. Terpaksa menggelengkan kepala pelan. "Mas Ivan belum tahu. Ini bukan salahnya dia kok Bu. Saya yang lupa memberi kabar. Saya terlalu fokus pada rasa duka. Jadi, tidak ingat tentang keberadaan Ivan."

Ratna mengembuskan napasnya jengah. "Tetap saja si Ivan salah. Kalau dia peduli dan tahu tentang tanggung jawabnya sebagai kepala rumah tangga, harusnya pulang atau paling tidak tanya kabar istri di rumah. Ini malah hilang nggak tahu ke mana. Ponselnya juga nggak bisa dihubungi. Suami kamu benar-benar keterlaluan. Seenaknya saja dia pergi tanpa beban!" Ratna mengeluarkan uneg-unegnya yang sedari tadi dipendam.

Pernah mendengar desas desus jikalau suami Agnia itu belum bekerja dan pemalas. Selain itu, bila mendapat uang akan langsung digunakan semua untuk keinginan pribadi tanpa pikir panjang.

Ratna tentu tak bisa percaya sepenuhnya pada kabar burung tersebut. Namun, setelah kejadian yang menimpa Agnia, berita itu seperti memang benar adanya.

Agnia hanya bisa terdiam mendengar kemarahan Ratna. Ia tak ingin menyanggah lebib banyak lagi atau Ratna akan marah padanya. Wanita itu telah berbuat banyak untuknya, baik dulu maupun sekarang.

"Bu Ratna mau minum teh?"

"Tidak perlu. Saya akan pergi sekarang. Ada hal yang harus saya urus." Ratna berdiri begitu pun Agnia. "Saya pamit ya. Kalau ada apa-apa jangan sungkan untuk bilang ya Nak Agnia."

Kepala Agnia mengangguk. "Iya, Bu ratna. Hati-hati di jalan."

*****

Beberapa jam berlalu setelah kepergian Ratna. Agnia mencoba menghubungi kembali Ivan. "Ponsel Mas Ivan kok nggak bisa dibubungi terus ya? Apa dia baik-baik saja?" Kembali merasa cemas. "Tuhan, lindungilah Mas Ivan di mana pun dia berada."

Beberapa menit kemudian, terdengar suara pintu dibuka. Dilihatnya sang suami yang masuk ke dalam rumah. Senyuman pun terbit di bibir Agnia. "Akhirnya Mas Ivan pulang." Berdiri dan menghampiri Ivan.

"Kenapa? Mencari Mas? Baru ditinggal sebentar udah mewek-mewek. Makanya jangan bikin mas kesal. Kena batunya sendiri kan."

Agnia memeluk Ivan secara tiba-tiba. Perasaan duka kembali hadir kala mengingat putri kecil mereka yang telah pergi. "Mas." Agnia mulai terisak. Ia tak kuat bila harus berkata yang sebenarnya. Agnia memejamkan mata, mencoba kuat dan menahan tangisan yang ingin pecah.

Sementara Ivan terkejut dengan sikap Agnia yang tiba-tiba. Ia juga mendengar isakan serta tubuh yang bergetar sang istri. Di pikirannya bertanya-tanya, ada apakah gerangan.

"Ada apa? Kenapa menangis?"

"An-anak kk-kita Mas .... Ann-nak kita meninggal."

Deg.

Ucapan Agnia berhasil membuat Ivan badan Ivan kaku di tempat. Ia melirik Agnia yang semakin mengeratkan pelukan sementara tak ada balasan darinya. Ivan melepaskan diri dari Agnia. Pandangannya tak percaya.

"Apa kamu bilang? Anak kita meninggal? Jangan bercanda Agnia!"

"Aku tidak bercanda Mas. Anak kita memang sudah meninggal."

Ivan melirik ke arah perut Agnia yang kini rata. Tangannya melepaskan Agnia. Rasa marah mulai muncul. "Kenapa bisa? Jelaskan pada Mas!"

"Mas ingat dengan perdebatan kita yang terakhir? Mas belum pulang sampai malam padahal di luar hujan. Jadi ... jj-jadi aku mencoba mencari Mm-mas dan di dalam perjalanan aku terpeleset." Ia kembali menangis.

Ivan membelalakkan mata. "BODOH! Kenapa kamu bisa seceroboh ini Agnia? Mas sudah dewasa, tidak perlu dicari bagaikan anak kecil! Sudah tahu lagi hamil besar malah keluyuran! Semua ini salah kamu!" Ivan menunjuk dengan raut marah pada Agnia. "Karena kecerobohan kamu anak kita meninggal! Seharusnya aku nggak pulang ke rumah daripada harus mendengar kabar duka seperti ini. Apalagi kalau disebabkan oleh kecerobohanmu!"

"Maaf, Mas. Aku benar-benar minta mm-maaf." Agnia mencoba memegang tangan Ivan, tapi ditepis pria tersebut.

"Nggak usah pegang-pegang! Aku nggak mau tanganku kotor karena habis dipegang oleh pembunuh keji sepertk kamu!"

Agnia yang menunduk seketika mendongak. "Mas .... mas bicara apa? Kenapa Mas mengatakan itu?"

"Memang benar kan? Kamu tidak lebih dari ibu keji yang tega membunuh anaknya sendiri!"