webnovel

Bab 29 - Kedua Kalinya

Agnia mondar-mandir di depan ruangan di mana Rosa sedang ditangani. Ia cemas akan keadaan wanita tersebut. Kemarin saat ia berkunjung ke toko, ia masih terlihat baik-baik saya. Memang kalau sakit selalu random dan di waktu yang tak terduga. Pintu ruangan terbuka. Agnia dan manager toko roti miliknya segera menghampiri. "Bagaimana keadaan Rosa Dok?"

"Kondisinya tidak begitu baik. Untuk saat ini biarakan pasien beristirahat. Untuk infomasi lebih lengkapnya, Anda bisa ke ruangan saya nanti. Sekitar jam tiga atau empat sore kita biacara lagi mengenai keadaan pasien."

Agnia mengangguk seraya berkata, "Baik Dok."

"Kalau begitu saya permisi." Dokter tadi pergi.

"Bu." Agnia merasakan pundaknya disentuh oleh seseorang. Ternyata si manager yang menepuk pelan pundaknya. "Jangan terlalu khawatir, Rosa pasti akan baik-baik saja. Dia wanita yang kuat. Meskipun saya baru sebentar mengenalnya, tapi bisa dirasakan kobaran semangat dan pantang menyerah dalam dirinya."

Agnia menyentuh tangan yang memegang pundaknya tadi. "Kamu benar. Rosa pasti akan baik-baik saja."

"Sebaiknya biar saya yang menjaga Rosa untuk saat ini. Bu Agnia pasti sibuk dan banyak urusan yang harus diselesaikan." Mengusulkan diri. Bagaimana pun, Rosa bekerja di bawah pengawasannya. Sudah seharusnya ia lebih peduli.

"Tidak perlu. Saya akan tetap di sini. Kamu saja yang pulang. Para karyawan di toko pasti kaget melihat kejadian seperti ini. Mereka pasti tengah bingung dan cemas menanti informasi yang akan disampaikan." Agnia adalah bos yang berusaha untuk peduli pada karyawan-karyawannya, terutama saat tertimpa musibah seperti ini. Dulu ia pernah menunggu karyawannya di rumah sakit akibat si keluarga pasien masih dalam perjalanan.

"Tapi saya yang tidak enak pada Bu Agnia. Bu Agnia jangan terlalu merepotkan diri. Saya bisa kok menjaga Rosa di sini. Saya akan menginfokan informasi seoutar Rosa pada karyawan lewat chat grup." Bukan bermaksud membantah atau melawan perintah atasan, hanya saja ia merasa bertanggung jawab penuh atas Rosa.

"Saya tau kamu merasa bertanggung jawab, tapi tanggung jawab kamu bukan hanya kepada Rosa. Melainkan pada karyawan lainnya. Bisa saja katakan lewat chat keadaan Rosa, tapi mereka akan jauh merasa lebih tenang saat diberi tau secara langsung dan disugesti bahwa semua akan baik-baik saja."

Sang manager terdiam. "Apa tidak masalah Bu?"

"Tentu saja tidak. Kalau masalah kenapa saya repot-repot mengajukan diri dalam menemani Rosa? Sebaiknya kamu segera pergi dan beritahu karyawan lainnya."

Mengangguk setuju. "Kalau begitu saya permisi. Sore atau malam nanti saya akan datang lagi."

"Iya, terserah kamu saja."

Kini tinggallah Rosa sendiri. Wanita itu duduk di kursi sambik bersedekap dada. Ia memejamkan mata sejenak.

*****

Beberapa jam telah berlalu semenjak Rosa dilarikan di rumah sakit. Sudah waktunya Agnia menjenguknya. Ia membuka perlahan pintu agar tidak membangunkan Rosa jika wanita itu sedang tidur. Benar saja, saat Agnia sampai, karyawannya tadi menutup mata seperti sangat nyaman seolah tak ingin bangun dari tidurnya. Namun dugaan Agnia salah, Rosa malah membuka mata dan menatap ke arahnya. "Bb-bu ... Bu Rosa, anda ke sini?"

Agnia duduk. "Iya. Bagaimana keadaan kamu? Apa sudah cukup membaik?"

Rosa menatap dengan lemah. Ia memfokuskan diri untuk merasakan tubuhnya. Masih terasa sakit. "Saya rasa begitu." Mencoba untuk bangun.

Dengan sigap Agnia membantu Rosa duduk bersandar. "Syukurlah kalau kamu merasa lebih baik dari sebelumnya." Agnia melihat gelas di atas nakas. "Mau Minum?"

"Iya." Kebetulan setelah bangun, tenggorokannya terasa kering. Rosa menerima gelas yang disodorkan padanya. Ia meminum dengan cukup cepat. "Terima kasih Bu Agnia." Memberikan benda tadi pada bosnya. "Oiya Bu, bagaimana kata dokter mengenai kondisi saya?"

"Kamu butuh istirahat yang cukup. Untuk detailnya, saya disuruh menghadap beiau nanti."

Rosa menghela napasnya. Jari-jari tangan saling ia tautkan satu sama lain. "Saya ....." Rosa menjeda sesaat dan Agnia menatap tak sabar akan kelanjutan ucapannya. "Saya takut jika kondisi kesehatan semakin memburuk. Apalagi dengan penyakit saya yang sekarang ini. Saya takut kalau umur yang diberikan Tuhan tidak akan lama lagi."

"Kamu tidak boleh bicara begitu. Bagaimana pun kondisimu sekarang, ya harus berusaha. Saya tau kalau kamu sangat ingin sembuh kan?" Dijawab anggukan Rosa. "Makanya jangan berpikir yang macam-macam. Istirahat dan minum obat tepat waktu. Hanya dua itu yang harus kamu lakukan."

"Baik Bu Agnia. Saya akan berusaha untuk berpikir positif dan melakukan dua hal yang Bu Agnia sebutkan tadi."

"Nah begitu. Itu namanya Rosa yang saya kenal."

*****

Dirga mengernyitkan kening saat melihat Agnia yang kembali ke ruang rawatnya. Dirga yang pada posisi tidur pun kini duduk di sandaran ranjang rumah sakit. "Aku kira kamu akan ke sini di lain waktu."

"Kenapa? Apa kamu merasa terganggu? Maaf kalau begitu. Aku akan pergi saja dan kembali lain waktu."

Saat hendak pergi, lengan Agnia dicekal oleh Dirga. "Bukan, aku sama sekali tidak terganggu kok. Hanya merasa aneh saja kalau dijenguk lagi dalam beberapa jam. Aku malah yang justru merasa tak enak karena mengganggumu." Pria itu juga tersadar belum melepaskan cetakannya. "Maaf."

"Tidak apa-apa." Jika dipikir-pikir, kenapa juga Agnia malah datang ke sini dan bukannya pulang? Harusnya ia langsung pulang setelah menemui dokter tadi.

*****

Dua hari berlalu, keadaan Rosa sudah jauh lebih membaik. Wanita itu meminta pada dokter untuk memperbolehkannya pulang. Rosa sedang memakan apel pun menoleh saat pintu dibuka. Ia pikir yang membuka adalah Agnia, rupanya Ivan. Rosa tentu terkejut bukan main. Bahkan potongan apel yang berada di tangannya seketika terjatug ke lantai. Ia berdiri dan melihat waspada pada pria di hadapannya.

"Kenapa malah menatapku seolah aku ini adalah monster? Aku datang ke sini bertujuan baik. Meski hubungan kita berakhir, tapi sebagai sesama manusia harus saling membantu kan?"

"Pertama, kamu bukan manusia! Kedua, aku tidak butuh bantuanmu setelah apa yang telah kamu lakukan padsku!"

"Kenapa galak sekali sih? Itu kan sebagai hukuman karena telah menamparku."

"Begitu ya? Sebagai hukuman?"

"Tentu."

PLAK

Rosa menampar dengan keras pipi kiri Ivan hingga wajah pria tadi tertoleh ke samping. Saking kencangnya, sudut bibir Ivan mengeluarkan darah. Ia menyeka darah tersebut dengan jari. "Tamparanmu bahkan jauh lebih keras ketimbang saat sehat ya." Perkataan Ivan yang tenang justru membuat Rosa merasa khawatir. Biasanya pria itu akan langsung tersulut emosi. "Sepertinya aku datang di waktu yang tidak tepat. Baiklah kalau begitu aku pergi dulu."

Ivan pergi dengan sedikit senyuman di wajahnya. Sedangkan Rosa terduduk dan merasakan tubuhnya gemetar dan lemas. Ia melihat tangan bekas tamparan tadi yang memerah. "Harusnya aku tidak menamparnya. Kuusir saja dia. Bagaimana kalau Ivan melakukan hal lebih kejam lagi?"

Memikirkannya saja membuat tubuh semakin ketakutan serta jantungnya berdetak lebih kencang. Rosa mencoba mengatur napas. "Jangan takut Rosa. Kuatkan dirimu atau kondisimu akan menurun lagi." Mencoba menguatkan diri sendiri.