webnovel

Bab 28 - Jangan Sok Kuat!

Agnia mengangguk pelan. "Bagaimana aku bisa melupakannya."

Raut bersalah langsung muncul pada wajah Rosa. "Maaf ya. Gara-gara saya, Bu Agnia sampai kepikiran hingga saat ini. Sebetulnya saya tidak sungguh-sungguh kok mengatakannya. Malam tadi mood saya benar-benar anjlok dan gampang terbawa perasaan. Maklum, sedang datang bulan. Maaf sekali lagi ya Bu."

Agnia terkejut mendengar pernyataan tak terduga Rosa. Di satu sisi merasa senang dengan jawaban karyawannya. "Benar kamu tidak serius?"

"Iya benar Bu. Saya tidak bisa senekat itu. Saya juga tau resiko apa yang akan dihadapi kalau kita benar-benar melakukannya."

Agnia mengembuskan napasnya lega. "Syukurlah kalau hanya sebatas perkataan."

"Maaf sekali lagi ya Bu Agnia. Gara-gara saya, anda jadi pusing seperti ini." Rosa merutuki kebodohannya semalam.

Bisa-bisanya berkata seperti itu. Bagaimana kalau sampai benar terjadi? Ia tak mau hidupnya menjadi semakin bertambah sulit.

"Tidak apa-apa. Jangan merasa bersalah. Lagi pula saya tadi hanya bertanya dan memastikan." Hatinya masih merasa tidak tenang. Tapi tak mungkin juga ia mendesak Rosa berkata seperti apa yang ada di pikirannya.

"Jangan sampai itu terjadi," ucapnya dalam hati sambil menggelengkan kepala cukup kuat.

"Bu Agnia sakit?"

"Hah?" Mendongak ke arah Rosa. "Tidak, saya tidak sakit. Kenapa memangnya?"

"Wajah Bu Agnia agak pucat dan juga menggelengkan kepala." Rosa khawatir.

"Ohh, benarkah?" Agnia memegang tengkuk sambil kepala di gerakkan seperti sedang pemanasan. "Sepertinya saya masuk angin. Kamu tau kan cuaca akhir-akhir ini mendung dan sering hujan?"

Mengangguk. "Bu Agnia benar. Bu Agnia harus menjaga kesahatan."

"Pastinya. Kalau begitu, saya pergi ya. Hati-hati pulangnya."

"Iya. Bu Agnia juga ya."

*****

Beberapa hari berlalu, Agnia tak memikirkan mimpi buruknya waktu itu. Ia lebih memilih menyibukkan diri.

Selain itu, beberapa hari terakhir, Agnia belum bertemu dengan Maira. Ia jadi merindukan anak kecil tersebut.

"Bagaimana ya kabar Maira? Tumben anak itu tidak mengirim pesan padaku. Biasanya setiap hari akan ada pesan yang dikirim."

Agnia jadi memikirkan yang tidak-tidak. "Semoga Maira baik-baik saja." Beberapa menit kemudian hatinya masih tak tenang.

Pada akhirnya Agnia mencoba menghubungi Dirga. Namun, tak dijawab. Agnia harus menelpon sebanyak empat kali baru Dirga angkat. "Dirga."

"Agnia, iya, kenapa?"

Sejenak, Agnia terdiam. Menghela napas pelan. "Aku menelepon hanya ingin tau bagaimana kondisi Maira sekarang. Biasanya anak itu mengirimiku pesan."

"Maira beberapa hari terakhir sedang sibuk ujian dan praktek. Dia pasti tak sempat berkabar. Kalau sudah selesai akan kuberi tau kalau kamu menanyakannya."

"Iya, Baiklah."

Hening. Belum ada yang bicara duluan. Dirga sempat mengira pangilannya terputus hingga ia melihat ke arah layar dan masih tersambung.

"Halo, Agnia." Tidak ada jawaban. "Agnia, kamu masih di sana kan?" lagi-lagi tidak dijawab. "Kalau begitu aku tutup teleponnya dulu."

"Tunggu." Buru-buru Agnia menjawab. Untung segera merespons. "Bagaimana kabarmu?"

"Cukup baik." Baru selesai bicara, Dirga batuk beberapa kali.

Tentu saja terdengar sampai ke telinga Agnia. "Benar kamu baik-baik saja?"

"Iya, benar kok."

"Tapi kenapa tadi batuk? Jujur saja."

"Benar. Aku batuk karena tenggorokanku terasa gatal, itu saja. Terkadang memang terjadi dan bukan berarti sakit kan? Kamu pasti pernah mengalaminya bukan?"

"Hm," jawab Agnia. "Ngomong-ngomong, kamu sekarang berada di mana?"

"Di rumah sakit." Sesaat kemudian Dirga merutuki mulutnya. Ia sebenarnya tak ingin ketahuan jika sedang berada di tempat tersebut.

"Benar kan dugaanku kalau kamu sakit. Kenapa kamu mengelak tadi?"

"Aku tidak mengelak kok. Memang benar tadi hanya batuk biasa. Aku di rumah sakit karena terkena tipes. Itu saja." Terpaksa Dirga jujur, kalau tidak Agnia akan terus mendesak untuk berkata jujur atau paling parah bertanya pada Maira. Keponakannya tidak tau jika ia sedang sakit dan sedang berada di rumah sakit.

"Kalau didesak, baru dijawab. Sekarang di rumah sakit mana? Aku ingin ke sana."

"Tidak perlu. Aku merasa tak enak jika merepotkanmu. Pasti kamu sedang sibuk."

"Berikan saja alamat rumah sakitnya dan di ruangan mana kamu dirawat."

*****

"Lihat kan aku baik-baik saja." Dirga menepuk pelan dadanya. Ingin menunjukkan betapa sehatnya dia sekarang.

"Wajahmu masih pucat. Jangan sok kuat. Dokter tadi juga bilang kalau kamu harus banyak istirahat dan belum diperbolehkan pulang."

Sesaat setelah Agnia datang, muncul dokter yang akan memeriksa kondisi Dirga. Baru saja sang dokter pergi.

"Iya, aku tau." Pada akhirnya Dirga hanya bisa mengalah dan mengembuskan napasnya berat. "Oiya, kamu tidak bilang kan sama Maira?" Was-was jika tebakannya benar.

Agnia menggeleng. "Tidak. Ponselku bahkan kehabisan daya. Eh tunggu." Memicingkan mata. "Jangan bilang kalau Maira tidak tau kalau pamannya sakit dan dirawat di rumah sakit."

Dirga menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Iya. Aku sengaja merahasiakannya."

"Kenapa begitu? Maira berhak tau kondisimu. Bagaimana jika anak itu cemas dan sedih pamannya belum pulang-pulang? Kamu tidak kepikiran sampai sana ya?"

"Tentu saja aku berpikir ke sana, makanya aku tidak bilang. Saat di telepon sudah kukatakan kalau Maira sedang sibuk beberapa hari ini. Kalau sampai tau aku sakit, konsentrasinya akan terganggu. Anak itu akan merengek untuk ke sini dan meminta agar tidak masuk sekolah. Aku hanya tidak mau itu terjadi."

"Lalu, alasan apa yang kamu gunakan?"

"Aku bilang kalau sedang berada di luar kota. Maira sama sekali tidak curiga karena aku sering pergi berhari-hari."

Agnia duduk di samping Dirga. "Lalu, Maira bersama pengasuhnya?"

"Iya. Lebih tepatnya bersama art, koki, dan pegawai lainnya. Maira tidak punya pengasuh resmi."

"Ohh." Agnia terdiam sesaat. "Maaf sudah berburuk sangka padamu."

"Jangan minta maaf. Kamu tidak salah."

Untuk sejenak Dirga memandang Agnia yang kini kembali diam sambil memautkan jari-jari tangan. "Kamu tampak khawatir padaku."

"Tentu saja aku khawatir padamu Dirga." Agnia menjawab dengan serius sambil menatap si pria. "Mm-maksudku, bagaimana kalau terjadi sesuatu padamu. Maira pasti merasa sedih nanti." Buru-buru ia menambahkan agar tak terjadi salah paham, walau sebenarnya bukan salah paham, eh.

Diam-diam Dirga tersenyum kecil. "Iya, kamu benar. Aku harus segera sembuh agar bisa bertemu dengan keponakan cantikku itu."

"Maka istirahat yang banyak dan jangan memikirkan masalah pekerjaan."

"Pasti. Terima kasih ya."

Agnia mengernyitkan kening. "Terima kasih untuk apa?"

"Terima kasih karena mau menjengukku dengan segera."

*****

Agnia menghela napas setelah ia bisa keluar dari rumah sakit yang dirasa menyesakkan dan memberikan kenangan buruk untuknya dulu akibat keguguran---walaupun beda rumah sakit.

Ia memandang rumah sakit barang sejenak dan melangkah pergi. Saat hendak masuk mobil, ia tak sengaja melihat kendaraan roda empat milik managet toko roti miliknya.

"Siapa yang sakit." Ia mendekat dan melihat wajah panik sang manager. "Ada apa?"

"Rosa pingsan di tempat kerja Bu."