webnovel

Bab 27 - Maira dan Nasi Goreng

Pagi ini cuaca lebih mendung dari pada kemarin. Wajar saja, memasuki musim hujan memang cuaca kerap mendung dan hujan. Agnia melihat ke arah langit.

"Semoga saja tidak hujan terlalu deras dan tidak ada petir."

Saat tiba di lobi ia bertemu dengan Dirga dan Maira. Langsung melihat jam di pergelangan tangan. Masih cukup pagi. Seharusnya Maira belum pulang dari sekolah. Begitu lah kira-kira isi pikiran Agnia.

"Bibi Agnia." Maira melepaskan genggaman tangannya dari Dirga. Memilih berlari dan memeluk Agnia. "Maira rindu dengan Bibi," ujarnya jujur.

"Benarkah? Maira rindu dengan Bibi?" Melihat Maira dan senyuman gadis itu, membuat suasana hatinya membaik barang sejenak.

Maira mengangguk yakin. "Iya, Bi. Maira tidak bohong kok. Maira memang merindukan Bibi. Bibi juga merindukan Maira kan?"

Agnia terssenyum sembari mengangguk. "Tentu saja Bibi merindukan Maira yang cantik ini." Mencubit gemas salah-satu pipi anak di hadapannya. "Oiya, Maira kok tidak ke sekolah? Ini kan bukan weekend."

"Oh, itu ...."

"Hari ini guru-guru di sekolah mengadakan rapat dan akhirnya dipulangkan lebih awal." Belum sempat Maira menjawab, Dirga sudah menjawab terlebih dahulu.

Pria itu juga kedapatan membawa paper bag berwarna hitam di tangan kirinya. "Ini untukmu, dari Maira." Menyodorkan benda tadi.

"Untukku? Dari Maira?" Melihat ke arah Maira.

Anak itu hanya mengangguk. "Iya, Bi. Ayo ambil."

"Baiklah kalau begitu. Ngomong-ngomong apa isinya?"

"Nasi goreng spesial untuk Bibi Agnia tersayang." Maira mengatakannya dengan semangat. "Sebenarnya Maira juga ingin membantu memasak, tapi tidak jadi. Ribet." Ia hanya tersenyum kecil.

Perasaan saat memasak bersama Agnia terasa menyenangkan, tapi kenapa berbeda ketika memasak bersama koki di rumah ya?

"Pantas saja baunya seperti makanan." Mendekatkan hidung ke arah paper bag. "Baunya wangi. Pasti enak."

"Tentu saja Bi. Koki di rumah Maira eh maksudnya rumah Paman Dirga memang pandai memasak. Dimakan ya Bi. Bibi belum makan kan?"

Agnia menggeleng. "Belum." Ia memang tak sempat sarapan, padahal sudah menyiapkan roti bakar, tapi karena pikirannya kalut akibat semalam membuat mood untuk makin hilang begitu saja. "Kalau Maira sudah sarapan?"

"Sudah tadi pagi sebelum berangkat sekolah."

"Eumm, apa Maira mau makan nasi gorengnya dengan Bibi? Porsinya banyak, Bibi tidak yakin bisa menghabiskannya."

"Oke Bi. Ajak juga Paman Dirga ya. Dari tadi paman hanya diam."

Dirga seketika berdehem. Ditatap oleh dua orang tadi membuatnya gugup dan salah tingkah. "Kenapa kalian melihatku seperti itu? Baiklah, baiklah, paman juga akan memakannya. Ayo kita makan bersama-sama."

"Yeaayy." Maira bersorak gembira. "Tapi kali ini Maira tidak ingin makan di apartemen Bibi Agnia atau di rumah paman Dirga."

"Lalu di mana?"

"Lalu di mana?"

Baik Agnia maupun Dirga bertanya hal yang sama dan di waktu yang bersamaan pula membuat suasana menjadi agak akward, ditambah keduanya juga sempat saling pandang walau hanya sebentar.

Maira yang melihat kekompakan orang-orang tersayangnya kini tersenyum kecil.

"Maira lihat tadi ada taman. Tamannya bagus lagi. Ayo kita makan di sana." Maira berjalan mendahului kedua orang tadi. Ia berhenti dan menatap Agnia dan Dirga secara bergantian. "Ayo kita Pergi Paman Dirga, Bibi Agnia."

Keduanya langsung tersadar dari lamunan masing-masing dan segera menyusul Maira dan di sini lah mereka berada.

Duduk saling berhadapan karena tempat duduk berbentuk melingkar. Agnia lantas segera membuka kotak berisi nasi goreng tadi.

Di dalam paper bag ia menemukan ada tiga sendok makan. Sempat bingung, pada akhirnya mengedikkan bahu tak acuh.

Sedangkan Maira tersenyum dalam diam. Ia sengaja meletakkan tiga sendok di sana untuk digunakan. Kesimpulannya, Maira memang merencakan makan bersama sedari awal.

Maira mengambil sendok dan segera menyendokkan makanan tadi ke dalam mulutnya. "Enak," celetuknya. "Kenapa Bibi dan Paman diam? Ayo di makan," lanjutnya setelah menelan makanan tersebut.

Keduanya tampak kikuk hingga tak sengaja mengambil sendok yang sama. "Maaf, silakan ambil duluan." Sebagai pria, Dirga harus mendahulukan wanita bukan?"

"Iy-iya," jawab Agnia.

"Duh, kenapa aku malah jadi gagap begini?" ujarnya lagi, kali ini dalam hati.

Mereka bertiga memakan dengan diam dan lahap. Jujur saja, rasanya sangat lezat dan pas di lidah. Agnia suka, suka sekali malah. Ia merasa nasi gorengnya kalah dan memikiki ide untuk meminta resepnya pada koki keluarga Dirga.

"Ahh, kenyang." Maira meletakkan sendok dan duduk di sandaran sembari mengelus perutnya yang lebih besar dari sebelum makan. "Bibi Agnia, bagaimana rasa nasi gorengnya? Enak kan?"

"Sangat enak. Bibi jadi ingin tau resepnya apa saja."

Maira menegakkan tubuh dan berkata, "Ya sudah kalau gitu, Bibi ikut saja ke rumah. Nanti kita lihat bagaimana cara koki memasaknya. Iya kan Paman?" Meminta pendapat Dirga.

Pria dewasa itu mengngguk tanda setuju. "Iya, tapi tidak hari ini."

"Kenapa?" Raut kekecewaan tercetak jelas di wajah Maira.

Dirga menatap sejenak ponselnya. "Kita harus pulang sekarang. Ada pekerjaan yang harus ditangani sekarang juga. Lagi pula Bibi Agnia pasti juga sibuk hari ini."

"Memang iya Bi?" Maira menatap Agnia.

Agnia mengangguk ragu. "Iya. Sebenarnya Bibi agak sedikit sibuk hari ini. Lain waktu saja kita melihat cara nasi goreng tadi dibuat. Maira tidak masalah kan?"

"Iya. Tidak apa-apa kok." Sedih sudah pasti, tapi ia tak boleh menjadi anak nakal nan merepotkan.

Terlebih Maira sudah janji pada dirinya sendiri untuk tak begitu merajuk saat keinginannya belum terwujud.

"Kalau begitu, kami pamit dulu." Mereka bertiga berdiri.

"Iya. Hati-hati di jalan." Perkataan Agnia dibalas anggukan Dirga.

Agnia masih diam sembari melihat dua orang tadi benar-benar pergi. Tak berselang lama, ia melihat sosok Rosa keluar dari gedung apartemen di mana ia tinggal. Langsung saja Agnia menghampiri wanita tersebut.

"Rosa," panggilnya agak keras agar terdengar.

"Bu Agnia." Rosa berhenti.

"Sedang apa kamu ke sini? Kamu mencari saya?"

Pertanyaan Agnia dibalas gelengan pelan. "Tidak Bu. Saya ke sini untuk mengantarkan pesanan kue. Kebetulan tinggalnya satu gedung dengan Bu Agnia." Rosa bisa melihat kegelisahan yang tercetak jelas di kedua netra bosnya. "Ada apa Bu Agnia? Ibu tampak cemas."

"Aku? Cemas? Tidak, hanya saja ...." Berhenti bicara. Ragu. Tak mungkin juga ia mengatakan apa yang dialaminya semalam. "Rosa."

"Iya. Kenapa Bu?" Atmosfer di sekitar mereka berubah. Lebih serius dan tampak dingin.

"Saya hanya ingin mengatakan kalau apa pun yang terjadi nantinya jangan lakukan hal yang gegabah."

"Gegabah? Hal gegabah seperti apa?"

"Ya pokoknya hal gegabah. Hal-hal yang akan berdampak buruk padamu."

Namun, penjelasan Agnia masih belum dipahami Rosa. Butuh waktu beberapa saat sampai ia paham arah pembicaraan mereka. "Tunggu dulu, Bu. Apa Bu Agnia masih memikirkan perkataan saya semalam?"