webnovel

3. LDR

***

Pulang dari Bandara aku langsung rebahan di kasur emakku. Camilan dari calon suami masih sisa banyak dan kupeluk erat. Tak tega aku memakannya. Temanku minta pun aku tak kasih dah. Enak saja, itu nafkahku. Mana bisa aku berbagi dengan orang lain. Kalau dikasih nafkah lahir nanti temanku minta dibagi nafkah bathin juga bagaimana? Haru duh. Naudzubillah. Pokoknya jangan asal ngasih, jangan asal berbagi. Manusia itu tak pernah puas. Dikasih ini nanti ngelunjak minta itu.

Emang dasarnya kau pelit Lea, tak usah berdalih kau. Dalam hartamu ada hak orang lain ingat dua koma lima persen. Hati kecilku berisik sekali ternyata.

"Ishishish!" Aku menggelenggelengkan kepala. Kenapa sisi baik dan jahatku malah bertengkar? Sudah kayak rebutan harta gono gini saja kutengok mereka berdua. Argh lupakan, hari ini aku senang pokoknya.

"Amboi! Seenaknya masuk kamar Bunda tanpa izin lagi?"

Mati aku kanjeng ibu sudah datang.

"Aww sakit Bunda!" telingaku sakit dijewer Bunda. Aku duduk sambil memuncungkan mulut. "Gak sengaja salah kamar tadi," ucapku.

"Tak sengaja? Kalau sudah menikah nanti awas saja salah masuk kamar mertuamu."

"Ish enggaklah Bunda!"

"Eh itu apa?" Bunda melirik camilan yang kupegang. "Buat Bunda? Tumben kamu berbakti, jajan ingat Bunda. Bunda jadi terharu."

Tangan Bunda sudah mau menyentuh camilanku tapi buruburu aku jauhkan.

"Ini punya Lea. Bukan buat Bunda!"

"Dasar pelit!"

"Ini dari Abang Keefa lah. Spesial dia belikan untuk Lea. Nanti kalau Lea kasih ke Bunda dikira tak menghargai pemberian orang," jelasku mengada.

"Keefa? Diamdiam kalian janjian bertemu lah ya di belakang kami? Lea, Bunda senang kalian cepat akrab. Tapi kalian belum menikah. Kalau mau bertemu, kalian harus beritahu Bunda atau Ayah dulu, paham? Lagipula calon pengantin itu darah manis. Jangan sering keluar, jangan sering bertemu juga."

Aku sudah membuat rolleyes. Pernikahan kami pun ada sebulan lebih lagi lah masih lama.

"Kami tak sengaja bertemu. Tak janjian pun. Lea sedang beli camilan lalu dia datang tibatiba bayarin camilan Lea. Memang ya kalau sudah jodoh ada aja jalan untuk ketemu. Lea bisa apa kalau sudah garis Tuhan yang memaksa kami dipertemukan," ucapku sambil membayangkan kembali pertemuan dengan Keefa tadi.

"Padahal di hari pertunangan merengek ingin membatalkan pernikahan. Kau pikir Bunda tak tahu? Sekarang laganya seperti sudah bertemu cinta sejati," ledek Bunda.

"Kan waktu itu Lea belum tahu siapa dia. Sekarang sudah tahu dan Lea rasa Abang Keefa not bad."

"Yealah. Jaga hati saja sebelum menikah. Jangan terlalu berlebihan menaruh perasaan," pesan Bunda. "Sekarang kembali ke kamarmu!"

"Baiklahbaiklah!" aku pun keluar dari kamar Bunda.

Kamar tidur selalu jadi tempat keramat untuk Bunda. Katanya itu ruang khusus untuk Ayah dan Bunda saja, aku tak boleh masuk ke ruang pribadi mereka. Padahal Ayah saja tak masalah aku sering menyelinap masuk. Aku pun sebenarnya bukannya tak beradab masuk ke kamar orangtua seenaknya, tapi memang aku senang mengusik Bunda. Dan itu sudah mendapat lampu hijau Ayah lho ya.

"Camilanmu tertinggal!" teriak Bunda.

Aissshh. Aku melihat tanganku yang kosong. Bisabisanya aku melupakan hal sepenting itu.

Aku buruburu berbalik dan mengambil camilan di atas kasur lalu dengan cepat lari keluar lagi.

***

Malam harinya aku yang sedang mendengarkan lagu cinta terkejut menerima pesan dari nomor tak dikenal.

'Selamat malam, calon istri!'

Keefa kah? Sebelumnya aku pikir itu Rafa makanya aku abaikan. Tapi sekarang besar kemungkinan ini adalah Keefa. Aduh aku harus balas apa.

Selamat malam juga calon suami?

"Argghhhh calon suami?" aku memegang pipiku yang panas. Kenapa aku jadi malu sendiri?

Tapi Keefa ini aneh. Saat bertemu langsung dia jelas kelihatan masih malu juga padaku. Tapi sekarang dari pesannya dia terlihat bukan pemalu sama sekali. Apa dia tipe orang yang berani di belakang dan ciut saat berdepan langsung?

Arghh lupakan. Lebih baik aku balas dulu saja. Siapa tahu dia menunggu balasanku agar dapat tidur nyenyak.

'Selamat malam juga, calon suami!'

"Arrghh!" aku langsung melempar hp ke kasur. Malu!

***

Seminggu sudah berlalu.

Setiap malam Keefa masih akan mengirimiku pesan. Yang awalnya hanya mengucapkan selamat malam, mulai sedikit meningkat dengan adanya pertanyaan sedang apa, kenapa belum tidur dan lain sebagainya.

Sampai akhirnya aku jadi terbiasa melaporkan kegiatanku setiap hari padanya, begitu pun sebaliknya.

Hari ini aku sudah bersiap untuk menjemput Keefa ke bandara. Tapi sayang, kepulangannya diundur entah sampai kapan. Uhh aku merindukannya.

Kenapa kami harus berjauhan begini?

Kalau aku tahu kami akan saling merindukan begini lebih baik dulu aku usul untuk memajukan tanggal pernikahan. Agak menyesal juga dulu sempat berpikir untuk membubarkan pernikahan ini. Jika benarbenar terjadi, haru duh. Menyesal tak sudahsudahlah alamatnya.

"Mungkin saya akan sebulan di sini!" ucap Keefa di telepon.

Ini pertama kalinya kami teleponan. Ceritanya aku lagi ngambek karena dia tak jadi pulang. Aku tak balas chatnya. Tibatiba teleponku berdering dan ternyata si Abang calon suami sedang memanggil. Agak degdegan juga saat mau angkat tadi.

"Sebentar lagi kita akan menikah!" kataku sedikit merajuk.

"Saya akan pulang sebelum kita menikah."

"Pokoknya awas kalau tinggalkan aku sendirian di pelaminan nanti."

"Iya."

"Oh iya aku ingin membeli ulang barang hantaran kita. Kemarin aku pikir calon suamiku Rafa. Jadi aku membeli barang yang dia tak suka. Sorry. Ayo kita beli barang yang Abang suka nanti!"

"Tak usah belanja lagi. Saya suka barangbarang kemarin. Kamu pikir saya akan menyarankan kamu membeli hal yang tak saya suka?"

"Hah? Apa Abang sengaja bilang Rafa tak suka ini tak suka itu agar aku membelinya? Padahal ternyata yang Abang sebut itu adalah yang Abang suka semua?" Wah aku benarbenar tak percaya.

"Hmm!" jawabnya singkat.

Ish ternyata begitu. Pantas dia bersemangat sekali waktu belanja. Tanpa kusuruh pun dia berinisiatif mengatakan apa yang tak disuka adeknya. Ternyata ada maksud terselubung.

"Yasudah kalau gitu tutup dulu teleponnya ya. Aku mau belajar. Besok ada kuis di kampus."

"Okay!"

"Papay Abang!"

"Bye!"

Setelah mengucap salam telepon pun mati. Huaaahhh akhirnya aku bisa bernafas dengan normal. Tadi sepanjang teleponan beberapa kali aku menahan nafas. Bahkan bernafas di depannya pun aku malu.

'Goodluck untuk kuisnya!'

Aku tersenyum sendiri melihat pesan itu. Senangnya punya calon suami perhatian.

"Ali!" panggil Rifka.

"Hah apa?" balasku. Aku sedang di kampus sekarang. Karena tak jadi ke Bandara aku memutuskan pergi ke perpustakaan kampus saja. Tapi belum sempat masuk Keefa sudah menelepon tadi.

"Kau tak jadi menjemput calon suamimu?"

"Tak. Dia tak jadi pulang. LDR lagi lah terpaksa!" keluhku.

"Sabarsabar lah ya. Kau mau ke perpus? Ayo bareng!" ajaknya.

Aku pun mengangguk.

"Awwwww!" aku berteriak sambil menggosok dahiku yang sakit. Baru saja aku menabrak orang. Entah makhluk Allah mana yang menghalangi laluanku. Belum tahu dia kalau aku ini princess. Setidaknya kata emak bapakku.

"Kalau mau cari perhatianku tak usah begini caranya!"

Mendengar suara itu aku langsung mendongak. Rafa!

"Pardon me? Siapa yang cari perhatianmu? Mengada. Awas minggir, jangan halangi jalanku!" kataku kesal.

"Kau yang mengahalangi jalanku. Kau yang minggir cepat!"

Ya Tuhan, dengan perempuan pun tak mau mengalah. Siapalah yang malang akan menjadi istrinya kelak. Kasihan.

"Buang liur berdebat denganmu!" kataku lalu berjalan menabraknya lagi. Kali ini dengan sengaja aku tabrak dia saat dia tak siap.

Setelah masuk perpustakaan aku kembali menoleh padanya, "Hey Rafa! Sebaiknya kau belajar hormat padaku. Sebentar lagi aku akan jadi kakak iparmu!" ucapku lalu mengibas jilbab.

"Seolah Abangku akan menikahimu saja. Entahentah dia sudah menemukan wanita lain di Singapura," ucap Rafa dengan tersenyum sinis.

Aku melotot pada Rafa, baru saja akan membuka mulut si Rifka sudah menarikku menjauh.

"Ini di perpus lah. Jangan bertekak dengan Rafa!" nasihat Rifka.

"Habisnya dia annoying banget. Dia mendoakan aku gagal menikah atau apa? Menyebalkan."

Setiap bertemu pasti ada saja yang aku dan Rafa debatkan. Dia selalu saja mencari masalah denganku. Mengesalkan sekali.

***

Bersambung.