webnovel

Membangun Hubungan

“Ro, kenapa kamu nggak ngomong ke aku kalau kamu pergi ngisi pentas di acara ulang tahun kota?” tanya Nanda begitu ia sudah masuk ke dalam rumah bersama Ayu.

“Kamu juga nggak bilang kalau bawa Arlita ke pesta itu,” sahut Ayu sambil melangkah santai menaiki anak tangga rumahnya.

“Nggak usah mengalihkan pembicaraan, Ay! Aku lagi bicarain kamu!” Nanda mengejar langkah Ayu sambil menahan kesal.

“Bukan kamu, tapi kita!” sahut Ayu.

Nanda menghela napas kesal. “Aku udah rela ninggalin Arlita dan nungguin kamu sampai selesai nari. Kamu malah kayak gini? Dengerin aku, Ay!”

“Aku denger, Nan. Kamu juga harusnya bisa dengerin aku. Aku ini perempuan, Nan. Istri sah kamu. Meski kita menikah tanpa cinta, tolong hargai pernikahan ini! Aku capek ya setiap hari lihat kamu jalan sama Arlita. Giliran aku deket sama cowok lain, kamu misuh-misuh nggak jelas kayak gini,” sahut Ayu sambil masuk ke dalam kamarnya.

“Aku ini laki-laki, Ay. Mau deket sama perempuan mana pun, nggak akan jadi masalah. Tapi kamu ... kamu ini perempuan. Pakai pakaian seksi dan nari mesra sama laki-laki di depan umum, nggak malu?” tanya Nanda sambil menatap tubuh Ay yang sedang duduk di depan meja rias.

Ayu menarik napas dalam-dalam. “Kamu sendiri, nggak malu jalan sama cewek lain sementara kamu sudah beristri?”

“Nggak usah mengalihkan pembicaraan, Ay! Aku tanya ke kamu!” sahut Nanda kesal. “Aku heran, kenapa aku bisa punya istri pembangkang kayak kamu! Apa yang aku lakuin di luar sana, nggak seharusnya kamu cari tahu. Cukup berdiam diri di rumah dan jadi istri yang berbakti! Nggak perlu keluyuran di luar sana apalagi tampil di depan umum cuma pake kemben dan jarik doang!”

“Nggak usah kuno, Nan! Apa sih bedanya sama Arlita yang pakai bikini di pantai atau di kolam renang? Lebih seksi dari aku. Kamu pernah marahin dia karena pakaiannya yang terlalu seksi itu? Kamu malah suka ‘kan?” tanya Ayu sambil menatap serius ke arah Nanda.

“Kamu ...!?” Nanda gelagapan mendengar ucapan dari Ayu.

“Nan, aku capek berantem sama kamu setiap hari. Kalau kamu nggak suka sama pernikahan ini dan ingin menikahi Arlita, kamu ceraikan aku aja!” pinta Ayu sambil membersihkan sisa make-up di wajahnya.

“Kamu minta kayak gitu supaya kamu bisa deket sama laki-laki itu?” tanya Nanda.

“Laki-laki mana? Nggak usah ngada-ngada, Nan! Dari awal yang salah itu kamu! Kenapa kamu buat seolah-olah aku adalah kesalahan utama dalam hubungan pernikahan yang tidak pernah bahagia ini!” sahut Ayu kesal. Ia bangkit dari kursi sambil menyambar tas tangannya dan melangkah pergi.

“Kamu mau pergi ke mana lagi?”

“Mau pulang ke rumah orang tuaku! Aku nggak betah berlama-lama tinggal di rumah kayak neraka ini!” sahut Ayu ketus.

Nanda buru-buru berlari ke arah pintu dan menghadang Ayu agar tidak keluar dari kamar tersebut. “Jangan bikin masalah baru, Ay! Papa Andre bisa marah sama aku kalau kamu pergi dari sini.”

“Bodo amat! Mau Papa Andre, Papa Sule atau Papa apa pun itu, aku udah nggak peduli. Kamu bisa balik sama Arlita meski kita sudah menikah. Kenapa aku nggak bisa memutuskan hidupku sendiri dan balik ke Sonny? Jelas-jelas dia jauh lebih baik dari kamu!”

Nanda menatap wajah Ay sambil mengepalkan tangannya erat-erat. Emosinya selalu tak terkendali setiap kali berhadapan dengan wanita ini. Ia sendiri, tidak tahu apa yang terjadi dengan hatinya hingga membuat pikirannya menjadi sekacau ini.

“Nan, aku udah merelakan semuanya demi menerimamu menjadi suamiku. Kamu tahu, sejak dulu aku cinta sama Sonny. He is my future, Nan! Dan kamu yang menghancurkan semuanya!” Ayu menurunkan nada bicaranya dengan mata berkaca-kaca.

“Aku nggak tahu aku salah apa di masa lalu sampai Tuhan tega menghukumku seperti ini,” ucap Ayu sambil menitikan air mata. “Satu hal yang paling aku sesali dalam hidupku saat ini adalah mengenalmu, Nan. Kamu adalah satu-satunya pria yang tidak pernah menghargai keberadaanku. Bahkan kamu akan tetap melihatku hanya sebagai sampah meski aku memberikan nyawaku sekalipun untuk kamu.”

DEG!

Nanda terdiam sambil menatap mata Ayu yang terus meneteskan air mata. Saat masih SMA, Ayu memang hampir mati karena menolongnya. Bahkan wanita ini sering terluka karena menjadi target utama musuh-musuh Nanda saat itu. Karena tidak ingin melukai wanita ini, ia memilih untuk membencinya dan menjauhkan Ayu dari kehidupannya yang keras di luar sana. Menjadi ketua genk yang kerap tawuran saat masih sekolah, ia selalu saja mendapatkan banyak kesulitan. Dan sialnya, Ayu selalu datang tiba-tiba di tengah konflik dan ikut menjadi korban.

“Nan, aku sudah berusaha menjadi istri yang baik meski aku tidak mencintaimu. Demi orang tua, aku berusaha untuk berbakti dan berharap kita bisa menjalani rumah tangga yang bahagia. Sudah hampir tiga bulan, kenyataannya kita malah selalu perang dingin atau perang mulut. Aku sudah lelah seperti ini terus, Nan. Kalau memang kamu tidak menginginkan anak ini, aku bisa merawatnya sendiri. Saat ini aku tidak menginginkan apa pun selain kedamaian.”

Nanda menghela napas sambil menundukkan kepalanya. “I’m sorry, Ay ...! Aku akan berusaha menjadi pria yang bertanggung jawab terhadapmu. Dia anakku dan dia harus bersamaku!”

“Kamu nggak pernah menginginkan anak ini, Nan. Begitu juga denganku. Impianku adalah menikah dan punya anak dari Sonny. Bukan dari pria bajingan sepertimu. Apa yang harus kuceritakan pada anak ini di masa depan? Haruskah aku bilang sama dia kalau ayahnya tidak pernah menginginkan kehadiran dia dan selalu pergi bersama wanita lain untuk menyenangkan diri sendiri?” tanya Ayu lirih sambil berlinang air mata.

Nanda menggelengkan kepalanya. “Nggak, Ay! Kamu nggak boleh lakukan itu! Dia anakku dan aku akan bertanggung jawab.”

“Dengan cara apa? Menikahiku saja tidak cukup, Nan.”

“Aku akan menafkahi kalian berdua.”

“Yang aku permasalahkan bukan soal finansial. Aku bukan wanita yang hidupnya bergantung sama pria seperti pacarmu itu. Meski tidak menikah denganmu, aku masih bisa menghidupi keluargaku sendiri. Aku juga bukan wanita yang tidak punya prestasi. Asal aku bilang ke Sonny kalau aku tidak bahagia hidup denganmu, maka dia akan senang hati menerimaku kembali,” tutur Ayu lirih.

“STOP, AY ...!” seru Nanda sambil mencambak rambutnya sendiri.

Ayu menyeringai kecil menatap Nanda yang semakin kacau dan tidak bisa ia mengerti keinginannya.

“Jangan sebut Sonny atau siapa pun yang statusnya selalu jauh lebih baik di matamu!” pinta Nanda. “Aku nggak tahu kenapa Tuhan ngasih wanita baik-baik untuk pria bajingan sepertiku. Aku nggak tahu apa yang harus kulakukan.” Ia berbalik dan menyandarkan keningnya di pintu. Ia terus memukul-mukulkan kening ke daun pintu beberapa kali.

“Yang harus kamu lakukan saat ini adalah bersyukur, Nan! Hargai pernikahan ini dan aku akan menghargaimu sebagai suamiku. Bagaimana kamu memperlakukanku, begitu juga aku akan memperlakukanmu,” tutur Ayu sambil mengusap sisa air matanya dan menatap punggung Nanda.

Nanda langsung membalikkan tubuhnya menatap Ayu. Ia melangkah perlahan mendekati wanita itu. Mengikis jarak di antara mereka yang selama ini saling menyakiti tanpa mereka sadari.

“Ay, aku sudah salah?” tanya Nanda sambil menyentuh lembut pipi Ayu.

Ayu menarik sisa cairan hidungnya sambil menahan perih di matanya. Ia sendiri tidak tahu jelas apa yang sebenarnya dia inginkan. Ia hanya ingin ... bisa menjalani rumah tangganya dengan baik dan melepaskan masa lalunya. Sebab takdir telah menentukan bahwa hidupnya akan seperti ini. Ia tidak bisa meminta untuk kembali, hanya bisa menikmati.

Nanda mendekatkan bibirnya perlahan ke bibir Ayu. Entah mengapa hatinya sangat menginginkannya. Rasa vanila yang manis di bibir Ayu, membuatnya tidak bisa menahan diri untuk menikmatinya dan terus mengulum bibir itu tanpa meminta persetujuan dari Ayu.

Ayu menelan salivanya dengan susah payah ketika Nanda mengulum lembut bibirnya. Ia tidak bisa menolak perlakuan lembut dari Nanda dan mulai menikmati ciuman dari pria itu. Bahkan, ia malah membalasnya dan membuat Nanda menginginkan hal yang lebih dari sekedar berciuman. Ini pertama kalinya ia sangat menikmati setiap sentuhan yang dihadirkan Nanda di seluruh tubuhnya. Setelah tiga bulan menikah, ini pertama kalinya ia bisa melayani suaminya di ranjang dengan perasaan ikhlas dan bahagia.

...

Keesokan harinya, Ayu menyiapkan sarapan pagi seperti biasa. Dan ini pertama kalinya Nanda mau duduk di meja makan setelah mereka tinggal bersama. Biasanya, Nanda pergi begitu saja tanpa mau melihat meja makan, apalagi menyentuh makanan yang sudah ia siapkan.

“Nan, aku nggak pernah tahu apa makanan kesukaanmu. Aku cuma bisa siapin ini untukmu pagi ini. Kamu bisa bilang ke aku, apa yang ingin kamu makan dan aku akan menyiapkannya untukmu,” tutur Ayu sambil tersenyum menatap Nanda.

Nanda tersenyum menatap nasi goreng yang ada di hadapannya. “Nevermind. Aku juga biasa sarapan seperti ini waktu masih kecil.” Ia langsung menyendok nasi goreng tersebut dan memasukkan ke dalam mulutnya.

“Gimana? Enak?” tanya Ayu hati-hati.

Nanda mengangguk kecil dan menahan rasa pedas di mulutnya yang semakin menyiksa. Ia akhirnya mengeluarkan napas dengan kasar dari dalam mulut begitu ia berhasil menelan nasi goreng buatan Ayu. Ia buru-buru mengambil air putih di hadapannya dan menenggak habis dalam sekejap.

“Nan, kamu nggak suka pedas?” tanya Ayu khawatir sambil menyodorkan gelas air minum miliknya.

“Suka. Tapi nggak sepedas ini, Ay,” jawab Nanda sambil mengusap mulutnya dengan tisu.

“Emangnya pedes banget, ya?” tanya Ayu sambil mencicipi nasi goreng buatannya sendiri dan ia merasa kalau tidak pedas sama sekali.

“Pedes banget, Ay! Kamu ini makan makanan terlalu pedas seperti ini. Apa maksudnya? Nggak sayang sama bayi yang ada di perutmu?” Nanda menatap wajah Ayu sambil mengipas mulut menggunakan telapak tangannya. Meski sudah minum dua gelas air, rasa pedas di mulutnya tak kunjung hilang.

“Aku ngerasa ini nggak pedas, Nan. Kalau kamu nggak tahan, aku akan buatkan makanan baru untukmu. Sorry banget! Aku pikir, kamu suka pedas.” Ayu bangkit dari kursinya.

Nanda menyambar pergelangan tangan Ayu. Membuat Ayu mengurungkan niatnya untuk bangkit dan membuat wajahnya dan wajah Nanda saling bertemu.

“Nan, kamu ...!?”Ayu menatap mata Nanda yang hanya berjarak sekitar lima sentimeter dari matanya dan membuat wajah mereka saling menempel.

“Nggak perlu siapin makanan baru untukku! Ini saja,” pinta Nanda sambil mengulum lembut bibir Ayu dan menghisapnya semakin dalam.

Ayu langsung membalas ciuman dari Nanda. Seluruh tubuhnya tiba-tiba menegang, dadanya mengencang dan bagian inti tubuhnya minta diperlakukan lebih. Pagi-pagi seperti ini, Nanda sudah berhasil membangkitkan gairahnya. Parahnya lagi, ia menjadi mudah terpancing hasratnya dan tidak bisa menahan diri. Mungkinkah hormon kehamilan memengaruhi perasaannya seperti yang sering ia baca di artikel-artikel tentang dunia kehamilan.

Nanda tersenyum saat mendapati tubuh Ayu menggeliat karena sentuhan darinya. Ia langsung menaikkan Ayu ke pangkuannya, menghadap ke arahnya dan semakin bersemangat menghisap bibir dan leher istrinya itu. Kedua tangannya bergerak liar di belakang pinggang Ayu dan meremas dua gundukan empuk di bawahnya.

“Mmh ... Nan, aku ... mmh ...” Ayu menggigit bibir bawahnya. Menahan desahan ketika bibir Nanda mulai bermain di dadanya. Jemari tangannya mencengkeram erat punggung Nanda, menahan hasrat yang sudah memuncak di kepalanya.

Nanda semakin tersenyum puas tubuh Ayu semakin gemetar. “Nggak perlu ditahan. Kita sudah sah dan bebas melakukannya kapan saja,” bisiknya di telinga Ayu.

Ayu tersenyum kecil sambil menyembunyikan wajahnya yang menghangat. Jika Nanda terus seperti ini, ia pasti menginginkannya diperlakukan lebih.

Nanda menggoyangkan tubuhnya. Menekan tubuh Ayu ke atas senjata andalannya yang kini sudah berada dalam siap tempur. “Aku sudah on. Do something for me!” pintanya.

“Nan, aku nggak berpengalaman soal begini. Aku ...” Ay menatap bagian bawah tubuh Nanda sambil meremas jemari tangannya sendiri. Ia tidak tahu, apa yang harus ia lakukan terlebih dahulu.

Nanda tersenyum. Ia menarik salah satu tangan Ay dan memasukkan ke dalam celananya. “Pegang ini! Tarik keluar perlahan dan masukkan ke itumu!” pintanya.

Ayu melebarkan kelopak matanya. Ia mengerjapkan mata dan berusaha mengembalikan kesadaran dari sikap liar yang tiba-tiba saja muncul tanpa ia sadari.

“Nggak usah malu-malu! Ini bagian dari kebutuhan dan rutinitas kita,” pinta Nanda lagi.

“Mmh ... kamu mau pergi ke kantor ‘kan?”

“Kantor gampang untuk diurus. Selesaikan dulu urusan ini! Pusing kalau sudah on gini dan nggak diservis dengan baik,” sahut Nanda.

“Beneran pusing?”

“Iya. Pusing atas bawah, Ay! Do it!” pintanya.

“Ini ... langsung masukin aja?” tanya Ayu polos.

Nanda tertawa kecil. “Kamu memang belum cocok jadi istri yang baik! Harus lebih banyak belajar lagi!” Ia menggeser piring dan gelas yang ada di hadapannya dan mendudukkan Ayu ke atas meja. Dengan cepat, tangannya menaikkan daster yang dikenakan istrinya itu dan melepaskan CD yang dikenakannya. Ia juga segera menurunkan celana yang ia kenakan dan memainkan inti tubuhnya terlebih dahulu ke pintu masuk inti tubuh Ayu sebelum ia benar-benar menyatukan diri dengan wanita itu. Ia mengajari Ayu perlahan untuk mendapatkan kesenangannya dan menikmati pagi yang hangat di atas meja makan.

“Aach ...! Thank’s, Ay ...!” ucap Nanda saat ia berhasil melakukan pelepasan dengan sempurna di dalam inti tubuh Ayu. Ia merasa, paginya kali ini benar-benar luar biasa karena Ayu bisa dengan cepat mempelajari setiap gerakan yang ia ajarkan dan membuat ia sangat puas.

Ayu mengangguk. Ia meraih CD yang tergeletak di lantai dan buru-buru berlari ke kamar mandi. “Aku bersihkan tubuhku dulu!”

“Bersihkan dengan baik sampai harum! Nanti malam, aku akan ajari kamu gaya baru yang nggak kalah nikmat. Aku akan pulang kerja lebih cepat. Oke?” seru Nanda sambil membersihkan alat vitalnya menggunakan tisu dan mengenakan kembali celana miliknya karena ia harus secepatnya pergi ke perusahaan.

“He-em. Nanti malam aku ada janji sama temen-temen sanggar untuk perpisahan. Kamu bisa temani aku ke sana?” tanya Ayu.

Nanda mengangguk sambil tersenyum manis. “Aku akan temani kamu. Aku buru-buru harus ke kantor. Besok pagi, buatkan aku nasi goreng lagi! Tapi jangan sepedas ini karena bisa bikin aku minta menu yang lebih enak dari makanan. Apalagi, adik kecilku ini semakin nakal setiap kali bertemu denganmu.”

Ayu tertawa kecil sambil menatap bagian bawah tubuh Nanda. Ia mempercepat langkahnya menaiki anak tangga untuk membersihkan diri.

Nanda tersenyum puas dan segera melenggang santai keluar dari rumahnya. Ia merasa, hidupnya lebih baik seperti ini. Bisa bersenang-senang dengan istrinya kapan saja ia mau tanpa khawatir dengan apa pun. Meski Arlita pandai menemaninya bersenang-senang di luar sana, tapi ia sama sekali tidak memiliki keinginan untuk melakukan hal lebih terhadap wanita itu. Hanya ingin membawanya pergi ke tempat-tempat mewah untuk menutupi rasa gengsinya sendiri. Ia tidak mungkin pergi ke perjamuan atau klub malam tanpa wanita cantik di sisinya. Baginya, Ayu masih terlalu cupu dan kuno untuk ia ajak keluar. Lebih nyaman jika istrinya itu disimpan di rumah dan hanya menjadi miliknya seorang.

...

Sesuai dengan janjinya, Ayu akhirnya mengajak Nanda untuk pergi ke perjamuan perpisahan yang dilaksanakan di sanggar tempat Ayu selama ini berlatih kesenian.

“Roro Ayu ..! How are you?” seru Nadine sambil berlari ke arah Ayu dan memeluk tubuh wanita itu.

“Nadine? Kamu lagi di Surabaya? Bukannya kamu tugas di Semarang, ya?” tanya Ayu sambil menatap wajah Nadine.

“Iya. Aku dengar kamu mau melakukan perpisahan karena sudah menikah dan suamimu tidak mengizinkan kamu menari lagi, ya? Sayang banget, sih? Harusnya tetep nari, dong! Ntar siapa yang jadi partner Tari Merak kalau kamu nggak ada?” cerocos Nadine.

“Iih ... gaya banget! Padahal kamu juga udah jarang nari sejak jadi dokter.”

“Hahaha. Pasienku banyak! Sulit bagi waktu. Eh, duduk, yuk!” ajak Nadine.

Ayu mengangguk. Ia merangkul lengan Nanda dan membawa suaminya itu bergabung dengan teman-teman sanggar latihannya.

“Selamat malam semuanya ...!” sapa Ayu sambil tersenyum manis. “Kenalin, ini suamiku. Namanya Mas N anda.”

“Salam kenal semua!” sapa Nanda sambil tersenyum manis.

Semua orang saling pandang.

“Mbak Roro beneran sudah menikah?” tanya salah seorang remaja yang ada di sana.

Ayu mengangguk sambil tersenyum.

“Yu, bukannya kamu tunangan sama Dokter Sonny?” bisik Nadine. “Kenapa kamu malah nikah sama cowok lain?”

“Ceritanya panjang, Nad. Ntar aku ceritain ke kamu kalau kamu ada waktu untuk mendengarkan ceritaku, Dokter Nadine yang super sibuk,” jawab Ayu berbisik.

Nadine tertawa kecil. “Oke. Aku akan luangkan waktuku untuk mendengarkan ceritamu,” balasnya berbisik.

“Hari ini Mbak Roro Ayu datang ke sini dan mengajak makan malam karena ingin merayakan hari perpisahan untuk kita semua. Setelah hari ini, Mbak Roro Ayu tidak akan bergabung dengan sanggar kita karena beliau sudah berkeluarga dan akan segera punya anak. Kesibukan baru beliau, tidak bisa membuatnya terus berpartisipasi di sanggar ini. Mohon kalian bisa mengerti dan mendoakan Mbak Roro Ayu supaya sehat wal afiat. Menjadi keluarga yang bahagia, harmonis dan langgeng sampai kakek-nenek.” Enggar mengambil alih pembicaraan.

“Yah, makan malam ini untuk perpisahan dengan Mbak Roro Ayu? Kalau tahu seperti ini, aku tidak akan datang,” celetuk salah seorang remaja yang ada di sana.

Ayu tertawa kecil sambil menggelengkan kepala. “Kalau kalian rindu, rumah kami akan selalu terbuka untuk kalian!”

“Kenapa harus berhenti di sanggar, sih? Suaminya jahat banget?” celetuk remaja yang lain lagi.

Nanda langsung menoleh ke arah remaja tadi. Ia merasa tidak enak karena semua orang tidak menginginkan Ayu berhenti. Namun, kehamilan istrinya itu memang membatasi gerak-gerik Ayu dan ia tidak ingin terjadi hal buruk karena istrinya terlalu banyak bergerak.

“Mbak Roro Ayu lagi hamil muda. Nggak bisa leluasa untuk bergerak. Mohon pengertian kalian!” ucap Nanda sambil menunduk sopan.

“Kalau nggak bisa menari, bisa melatih kami ‘kan?” sahut seorang remaja lain.

“Iya, bener. Kalau nggak ada Mbak Roro Ayu, kami gimana? Nggak seru!” ucap salah seorang remaja sambil bangkit dari lantai dan melangkah pergi begitu saja.

Enggar langsung menatap remaja yang telah lancang beranjak dari sana. “Prima kembali!” perintahnya.

Remaja yang dipanggil Prima itu tidak menghiraukan teriakan Enggar dan pergi begitu saja dari aula gedung tempat mereka biasa berlatih kesenian.

Semua yang ada di sana mulai pergi satu persatu menyusul Prima. Mereka memilih untuk berkumpul di luar gedung. Membiarkan makanan yang sudah terhidang di sana begitu saja. Tidak bersemangat untuk menyentuhnya karena mereka akan kehilangan penari sekaligus pelatih mereka mulai hari ini.

“Biar aku urus mereka dulu!” ucap Enggar sambil bangkit dan menyusul semua putera-puteri didiknya.

Ayu mengangguk.

“Aku ikuti mas pelatih itu. Biar aku bantu memberi pengertian pada mereka!” bisik Nanda di telinga Ayu dan ikut keluar dari sana.

Ayu mengangguk sambil tersenyum. Ia menundukkan kepala sambil meremas jemari tangannya. Hanya tersisa ia dan Nadine di ruangan tersebut.

“Eh, suami kamu lumayan juga. Lebih ganteng dari Dokter Sonny. Dapet di mana?”

“Dia sahabat baiknya Sonny,” jawab Ayu lirih sambil memejamkan matanya.

“WHAT!?” Mata Nadine terbelalak mendengar ucapan Ayu.

“Semua karena kecelakaan, Nad. Aku mengandung anak dari Nanda dan terpaksa harus menikah sama dia.”

“Terus, Dokter Sonny gimana? Pantesan akhir-akhir ini aku sering lihat dia murung, Ay. Hubungan kalian separah ini? Aku nggak peka banget sampai nggak tahu permasalahan Dokter Sonny. Dia terlihat ceria aja ngurus pasien anak-anaknya,” tutur Nadine.

Ayu menghela napas. “Dia bukan orang yang suka menunjukkan kesulitannya. Aku sudah melukai dia dan nggak berani menghubungi dia sama sekali. Apa dia baik-baik aja, Nad?”

“Kelihatannya baik-baik saja secara fisik. Nggak tahu kalau hatinya,” jawab Nadine.

Ayu mengerutkan wajahnya. “Nad, kalau ada kesempatan. Fotoin dia dan kirimin ke aku, dong! Tapi jangan sampai dia tahu, ya!”

Nadine menatap Ayu selama beberapa saat. “Kamu nggak bahagia sama pernikahan kamu, Ay?”

Ayu menghela napas. “Wanita mana yang bisa bahagia kalau menikah dengan pria yang tidak mencintai dia? Tapi ... aku sedang berusaha memupuk hubungan kami agar bisa bahagia. Aku sudah menikah, tidak bisa semudah berpacaran yang tinggal bilang putus saat merasa tidak nyaman.”

“Yang sabar, ya! Semoga suami kamu adalah pria yang terbaik untukmu, Ay. Semua orang ingin menikah sekali saja dalam hidupnya dan aku harap, pria itu bisa membahagiakanmu setiap hari,” ucap Nadine.

Ayu mengangguk sambil tersenyum. “Kamu sendiri gimana? Hubunganmu dengan Enrocky ada perkembangan?”

“Masih gitu-gitu aja,” jawab Nadine sambil terkekeh geli. “Kemarin dia nembak aku, aku tolak lagi, hihihi.”

“Aneh banget, sih!? Kalau dia nembak kamu tolak. Giliran dia digosipin deket sama cewek lain, kamunya uring-uringan. Kamu cinta atau nggak sama dia? Ada pria yang begitu hebat bertahan mencintaimu, jangan disia-siakan!” pinta Ayu sambil menatap wajah Nadine.

“Tenang aja! Dia nggak akan berpaling dan macem-macem. Aku tinggal bilang ke papaku supaya dia bikin perhitungan sama keluarga Hadikusuma karena anaknya berani main-main sama aku. Lagian, cowok playboy kayak dia itu harus dikasih pelajaran. Harus buktikan kalau dia cinta sama aku, baru aku terima. Ogah kalau dipermainkan ke depannya,” tutur Nadine sambil tersenyum lebar.

Ayu tertawa kecil. “Apa pun itu, aku akan bantu doa supaya kamu dan dia bisa bersatu.”

“Aamiin ...!” seru Nadine antusias. Ia dan Roro Ayu bercerita banyak hal tentang hubungan asmara mereka akhir-akhir ini.

((Bersambung...))

Much Love,

@vellanine.tjahjadi