Rencananya aku akan pulang ke rumah setelah semua kelas selesai. Aku tidak ingin bertemu Adib setelah kejadian kemarin, untung saja hari ini tidak ada kelas Bahasa Inggris—satu-satunya mata kuliah yang aku dan dia sekelas. Jadi ketika aku keluar kampus dan melihatnya sedang menunggu di depan kampus, itu adalah hal yang sangat mengejutkan.
Dia duduk di dalam sedan merah dengan pandangan yang mengawasi, aku ingin bersembunyi, tapi lebih dulu dia membunyikan klakson.
Adib menghidupkan mobil ketika langkahku sudah dekat.
“Na,” dia menyapa dan untuk pertama kalinya memanggil namaku—Irina. Entah kenapa aku merasa tersanjung.
"Hei, Dib," balasku sambil melangkah mendekatinya.
“Kau seperti terburu-buru. Ada apa?”
Aku berhenti di depan jendela mobil pengemudi, menatapnya beberapa saat, dan bertanya, “Dan kau, ngapain di sini? Kau menungguku dan memanggilku dengan nama. Semua orang melihat kita. Kau populer, kau tahu?” Ya, dia memang popule; sebagai pria tampan dan gengster.
“Oh, iya.” Dia mengangguk-angguk. “Lain kali aku akan sembunyi-sembunyi.”
Aku melirik jam yang melingkar di lenganku, kemudian kembali menatapnya. “Aku sedang terburu-buru. Aku harus menjemput Edit.”
“Mau aku antar?”
“Tidak, tidak perlu. Kau tahu, aku ingin kau ... tidak terlalu dekat dengan adik-adikku.”
Entah kenapa dia hanya mengangguk, tidak protes seperti biasanya. “Baik,” katanya. “Aku akan percepat.” Sambil mengetuk-ngetuk kemudi, dia menunduk, lalu kembali menatapku. “Besok kan hari Sabtu.”
"Ya, dan biasanya setelah hari Jumat."
Dia tersenyum geli tapi tidak menangapi candaanku. "Ibumu libur, jadi ... kupikir kau tidak perlu menjaga adik-adikmu."
“Kok, kau tahu?”
Sambil menyeringai, dia—lagi-lagi—mengabaikan ucapanku. “Bagaimana kalau kau keluar denganku? Kita bisa makan malam atau nonton film atau apa pun. ”
Jantungku berdegup kencang. “Maksudmu, kencan?”
“Tidak perlu melabelinya seperti itu. Hanya keluar saja.”
Oh, bagus, pembenci label. Sambil melirik ke kejauhan, aku berkata, "Tidak. Memang, sepertinya akan menyenangkan, tapi ajakan ini juga sangat tidak terduga, dan aku tidak terlalu mengenalmu ... "
"Betul. Tentu saja, kau bisa mengenalku jika kita pergi bersama. "
Itu alasan yang bagus, tapi aku tidak tahu bagaimana menjelaskan bahwa aku ragu untuk mempercayai dirinya. Bagaimana jika dia menciumku dan itu mengirimkan petir ke otakku lagi? Bagaimana jika itu dilakukan di mobilnya dan aku tidak ingin dia berhenti?
“Aku enggak mau.”
"Kenapa enggak?" dia bertanya.
“Karena … kita bahkan tidak pacaran. Jadi aku tidak perlu pergi denganmu,” jawabku, karena kurasa itu penjelasan yang paling sederhana. Aku tidak ingin mengungkit fakta bahwa dia sudah membunuh tetanggaku, dan masuk ke rumah untuk mengancamku. Aku tidak ingin menunjukkan bahwa aku menganggapnya berbahaya, dan mungkin terlalu dekat dengannya bukanlah langkah yang cerdas.
“Hanya pergi, bukan kencan, Na.”
“Dengar, bukannya aku tidak tertarik denganmu. Aku. Aku pernah berhubungan dengan pria seperti ... pria nakal yang berjanji menggunakan ‘kenakalannya’ untuk melindungiku. Tapi bersamamu, ancaman tidak akan datang dari luar, karena kau adalah ancaman itu. Kau benar-benar berbahaya dan sialnya aku tetap tertarik denganmu, tentu saja, kau tampan dan untuk beberapa hal kau baik, sangat baik. Tapi kau pernah membuatku ketakutan, tidak bisa tidur dan tidak enak makan, yang artinya kau pernah melakukan hal yang buruk kepadaku.”
Aku memaksakan diri untuk melihatnya setelah mengatakan semua itu dan berharap, dia akan merasa terhina, kesal, atau apa pun yang pernah dia tunjukkan kepadaku. Reaksi seperti itu bisa kugunakan sebagai alasan untuk menjauhinya. Tapi sebaliknya, dia malah termenung dan menunduk. Sialan! Apa-apaan orang ini?
“Jika aku ingin membahayakanmu, aku tidak akan memintanya baik-baik,” katanya.
“Maksudmu?” Pertanyaan yang terucap karena aku bingung harus berkata apa lagi.
“Na, aku tidak mengatakan kalau kita akan kencan atau hal-hal romantis lainnya. Ini hanya ajakan pergi, sebagai teman. Walaupun aku menyukaimu, dan sepertinya kau juga—“
“Aku seperti ngengat yang tertarik kepada api,” aku menyela.
“Tapi, kenapa tidak mencoba untuk saling mengenal? Kau tidak perlu seserius itu. Lagian kau sudah tidak punya masalah denganku. Aku tidak akan mengasarimu atau apa pun, jika pertemanan ini tidak cocok.”
“Kenapa aku yang kau pilih?”
Adib menatapku dengan kesedihan seakan menari-nari di wajahnya.
Dia menelan ludah, memalingkan wajah, lalu menatapku lagi. “Kau tahu hal buruk tentangku yang bagi orang lain hanya rumor, mereka tidak ada bukti dan bahkan mungkin tidak percaya aku melakukan kejahatan. Tapi bahkan setelah kau tahu siapa aku, untuk beberapa saat, aku merasa kau tetap peduli denganku. Seperti saat kau memanggilku kemarin setelah kelas selesai. Orang lain yang tahu siapa aku tidak akan melakukan itu, bahkan kalau perlu ... mereka tidak ingin bertemu denganku lagi. Tapi kau melakukannya, untuk meminta maaf.”
Aku hampir bisa mendengar otakku mengeluarkan teriakan kekalahan saat hatiku tersentuh dengan kata-katanya. Aku bisa melihat ‘sesuatu’ dalam dirinya yang membutuhkanku.
Tetaplah kuat.
Otak yang malang mencoba untuk yang terakhir kalinya, tetapi tidak ada gunanya.
Jangan lakukan, jangan lakukan, jangan lakukan!
Lalu saat mulutku terbuka, kebodohan tumpah keluar. "Jam berapa?"
Kemudian wajah tampannya bersinar, dan sialnya aku sangat suka melihat ekspresi itu di wajahnya.
“Aku akan menjemputmu jam enam.”
Terlepas bahwa ini adalah ide yang sangat buruk, aku tidak dapat menahan senyum saat dia mengedipkan mata ke arahku sebelum pergi mengendarai mobil.