"Sepuluh ... sembilan ... delapan ... tujuh ... enam ... lima ... empat ... tiga ... dua ... satu!!!!" Aura yang
"Budeeee!!!"
"Mbak!!!"
"Mang!!!"
"Uda!!!"
Aura tersenyum senang melihat pemandangan murid - murid saling bersautan memanggil penjual makanan.
"Lo disuruh nemuin Ibu Leni di ruangannya," ucap Jena yang menduduki bangku di hadapan Aura.
"Tumben dia manggil gue? Dia 'kan udah tau kalo gue gak betah di kelas lama-lama. Emang salah ya gue keluar kelas tiga puluh menit sebelum istirahat?"
"Pake nanya lagi salah atau gak? Mau gue jelasin kalo yang lo lakuin itu benar-benar salah, hah?" Jena melotot garang ke Aura. Sedangkan Aura cengengesan tak jelas melihat kegarangan Jena.
"Cicip dulu ... cicip dulu," rayunya ke Jena. Dengan senang hati Jena menarik mangkuk Aura dan melahap isinya. "Cekernya jangan di habisin," ingat Aura pada Jena. "Itu nyicip atau merampas sih Jen?" sarkasnya dengan sedikit menjelit.
"Maling," cengir Jena yang telah mengembalikan mangkuk Aura ke tempat asalnya. Aura menggerutu sambil menyuapi makanannya ke dalam mulut.
"Seharusnya lo berubah deh Ra. Jangan mentang-mentang Ibu Leni itu tetangga lo, pacar kakak lo. Lo seenaknya dengan dia. Belum tentu Ra nanti kelas tiga dia yang jadi wali kelas kita lagi ya 'kan?"
"Iya-iya gue tau Jena. Gue tau, gue paham dan gue mengerti. Udahlah jangan dibuat susah hidup kita udah susah. Ini namanya menikmati hidup, you know?" Jena hanya bisa menghela napas jengah. "Gue mau nemuin Ibu Leni dulu. Tolong bayarin ya?" Aura langsung berlari meninggalkan Jena sendiri di kantin.
"Sialan si Aura! Kalau tau gue abisin aja tuh soto dia tadi!" gerutu Jena dengan kesal.
"Hai Aura?" Aura melambai.
"Aura?" Aura mengedip.
"Kak Aura?" Aura tersenyum.
"Woi Ra?" Aura memberikan tos sembari berlalu.
Berbagai sapaan menyapa Aura saat ia berjalan di koridor sekolah. Setelah sekian lama akhirnya Aura kembali dengan memasang senyum manisnya saat disapa murid-murid yang mengenalnya.
Ia kembali tersenyum saat berdiri di depan pintu ruangan wali kelasnya— Ibu Leni.
Ceklek
Aura menyembulkan kepalanya dari balik pintu. "Hai Aura?" sapa Leni yang menyadari kehadirannya.
"Hehe ... hai Kak— Eh Ibu," ralatnya. Ia masuk ke dalam ruangan tersebut lalu ditutupnya rapat-rapat. "Ada apa nih manggil Aura. Kangen ya?" ucapnya dengan menaik turunkan alisnya.
Leni yang sedang memeriksa tugas muridnya tersenyum kecil mendengar tuduhan Aura yang bilang kalau dirinya kangen dengan Aura. "Saya justru lebih kangen sama Kakak kamu."
"Eits ... masalah pribadi dilarang dibawa ke sekolah ya?" canda Aura.
"Iya deh kalo gitu." Leni menutup buku terakhir yang diperiksanya setelah itu diletakkannya di atas tumpukan buku yang lainnya yang telah ia periksa.
"Ada apa Ibu manggil saya ke sini? Saya mau dinobatkan jadi murid pembosan nomor satu ya?" tanyanya kembali karna Leni tak kunjung berbicara melainkan sibuk merapikan tumpukan buku tugas muridnya.
"Kalo bisa gitu mungkin udah lama kali kamu dinobatin jadi murid pembosan nomor satu seantero sekolah," timpal Leni sambil terkekeh kecil.
"Yah ... terus apa dong kalo bukan itu?" ucapnya dengan nada yang dibuat-buat kecewa.
"Sebenarnya Ibu seneng loh sebulan kemarin kamu berubah jadi diem di kelas. Sekarang kenapa berubah lagi?" tanya Leni akhirnya.
"Ibu mau tau kenapa?" ujarnya dengan senyum penuh makna. "Sini-sini mendekat." Ia melambaikan tangannya agar Leni lebih mendekat ke arahnya. Dengan polosnya Leni malah mengikuti perintah Aura tanpa sadar.
"Semua itu karna the power of love." Leni malah mengerutkan dahinya tak mengerti apa maksud dari perkataan Aura tersebut. Aura yang mengerti kalau Leni masih belum paham langsung menjelaskannya, "hanya cinta yang bisa membuat seoarang Aura berubah dan hanya cinta yang bisa membuat Aura kembali."
"Adaw ... Bu," pekikan keluar dari mulut Aura saat Leni malah menjetik dahinya. "Atit ...," rengeknya.
"Masih kecil udah cinta-cintaan. Belajar dulu yang bener!" Aura pun hanya bisa mengerucutkan bibirnya kesal.
Kayaknya gue salah curhat, batinnya.
Wajah Aura berubah masam, ia melipat kedua tangannya di dada. "Sekarang Ibu kenapa manggil Aura ke sini?"
"Ibu belum selesai ya Aura," ujarnya.
"Kalau Ibu gini terus saya bilang ke Kakak saya!" ancam Aura.
"Eits ... masalah pribadi dilarang dibawa ke sekolah ya?" Leni membalikkan ucapan yang dikatakan Aura sebelumnya. "Di sini kamu statusnya murid dan saya guru!" tegasnya. Aura malas ribut, ia pun memilih diam. Ntah kenapa Leni terasa menyebalkan sekarang, padahal dahulu pacar kakaknya ini tidak semenyebalkan ini. Setelah menceramahinya panjang lebar. Aura pamit dari ruang guru.
Datang dengan wajah bahagia pergi dengan wajah masam. Ia berjalan lurus tanpa perduli telah menabrak siapa. Lelaki yang ditabrak tersebut hanya menoleh sejenak, lalu berjalan masuk ke ruang guru tanpa perduli.
Leni terlihat panik, ia sedang menunggu jawaban telfon dari calon mertuanya.
"Assalamualaikum Ma ...."
"Walaikumsalam Leni, ada apa?"
"Ma ... maaf menganggu, Leni mau bicara mengenai Aura."
"Ada apa lagi dengan anak itu? Dia buat ulah lagi?"
"Aura baik - baik saja Ma, tapi --"
"Aduh ... Leni Mama lagi sibuk gini, kalau dia baik - baik saja gak perlu laporanlah!"
"Tapi Ma ...."
"Udah ya Len, Mama lagi sibuk nanti saja." Telpon pun terpus.
Terdengar helaan napas berat Leni. Ia menatap ponselnya yang telah tergeletak.
"Permisi Bu," tanya murid laki - laki yang sejak tadi telah berdiri menunggu Leni selesai menelfon.
"Ya Je, ada apa?"
"Maaf Bu, kemarin saya tidak masuk kelas karena ada urusan keluarga. Saya mau mengumpulkan tugas kemarin Bu."
"Oh, taruh aja di sana ya?" perintahnya. Setelah Jeje menaruh buku tugasnya. Ia melirik Leni sekilas yang rautnya tampak banyak pikiran, lalu pamit pergi.
"Aura," ucap Jeje teringat dengan gadis yang ia temui akhir - akhir ini.
+-+-+-+
"Lo ngapain aja tadi di ruangan Ibu Leni?" tanya Jena penasaran. Keduanya kini berjalan menuju parkiran.
Aura menatap Jena dengan lesu. "Abis gue ... abis kena ceramah, kultum dan pencerahan," keluhnya. "Gue gak bayangin kalo dia bener-bener nikah sama Kakak gue. Beuh ... bisa-bisa ya dia lebih cerewet dari Mama. Terus-terus gue gak bayangin kehidupan keponakan gue yang bakal tersiksa punya orang tua sekolot tuh Ibu Leni."
"Kolot? Maksutnya? Bukannya kata lo dia itu guru terasik?"
"GAK! KEMARIN PEMIKIRAN GUE SALAH TENTANG DIA," ucap Aura dengan berapi-api.
Jena benar-benar bingung dengan sahabatnya ini. "Emangnya dia ngapain lo sih?"
"Fatal!" tegasnya.
"Ya fatalnya itu ngapain?" tanya Jena yang mulai sebal dengan Aura.
"Dia bilang gue itu masih kecil. Gak pantes mikirin pacar-pacaran, cinta-cintaan ntar gue bisa jadi cabe-cabean. Mendingan gue belajar katanya gitu." Jena langsung tertawa mendengar penuturan Aura tentang nasihat dari wali kelasnya itu.
"Kok lo malah ketawa sih? Senang ya liat sahabatnya menderita?" Aura melotot sebal ke arah Jena dan itu malah membuat Jena semakin terbahak.
Jena sampai harus menepuk-nepuk lengan Aura sangking gelinya. Menurutnya lucu saja akhirnya ada yang bisa membuat Aura sebal karna diceramahi tentang kelakuannya. Selama ini siapapun yang menceramahi Aura. Hanya dianggap gadis itu sebagai angin lalu.
"Udahlah Ra. Itu semua 'kan demi kebaikan lo. Kelangsungan hidup lo ke depan. Lagian bener loh yang dibilang Ibu Leni. Mendingan lo belajar dari pada ngurus cinta-cintaan yang berujung lo malah jadi cabe-cabean."
"SIALAN!" umpatnya kesal.
Jena tertawa, walau dalam hatinya ia takut sekaligus membenarkan ucapan Ibu Leni. Jena takut Aura akan melakukan kesalahan bodoh lagi seperti hari itu.