webnovel

Coretan rasa

Berjalan meniti setiap langkah yang mulai lelah. Darah yang hampir mengering seiring berjalannya waktu. Luka telah lama mengangga mulai menipis dan hampir kempis. Kulihat masih banyak tanya dalam setiap kata. Entah berkaitan atau pun tidak, tetap rasa keingintahuan lebih menenggelamkan logika. Langkah menekan pemikiran disetiap kekhawatiran. Membuat aliran darah mulai mendidih. Karena tak ada jawaban disetiap pertanyaan. Semua terasa ambigu dan kaku. Meski diam adalah jalan terbaik menghambat ketidaksetabilan dalam pertimbangan.

Air mata ikut andil dalam kehadiran yang tak bersuara. Meski hanya setitik genangan kecil dari balik kelopak mata. Namun, ia telah berhasil menggambarkan setiap kata yang tidak bisa keluar begitu saja. Hampir tak terlihat. Tapi, hadirnya telah mampu memanipulasi keadaan yang ada. Perasaaan yang terpendam dalam dilubuk jiwa. Muncul begitu saja tanpa sepatah kata. Meski mulut selalu tertutup. Mengunci kenyataan yang tak bisa diungkapkan. Tetap saja tidak bisa menghindar. Disaat tetesan kecil seketika muncul ditengah kekakuan rasa.

Dalam lintasan putaran waktu yang sama. Meski saling berkaitan, namun memiliki beda durasi jeda. Nyatanya yang terpikir sejalan malah tidak memiliki ikatan.

Apa lagi yang bisa dicari dari setiap kebingungan. Berusaha membenahi hanya membuang waktu yang telah terlewati. Gagasan yang tidak bisa didefinisikan selalu muncul saat pikiran tidak mampu menahan kenyataan. Tentu jalan penuh dengan belokan. Banyak lubang disetiap pendakian. Tapi, waktu juga tidak mampu membantu untuk berhenti seperti yang kita mau.

Aku masih berusaha mengalihkan perhatian. Meski tau beberapa hal tidak bisa aku kendalikan. Mata terus menatap kearah cakrawala. Memandang hari dengan tatapan tak berdaya. Sungguh sulit mengatasi ketakutan yang menggelinjang dalam dada. Nafas terasa sedikit berat saat pikiran tidak bisa disandarkan dengan cepat.

Buku berwarna ungu dengan motif kupu-kupu berada digenggaman tangan. Orang-orang biasa menyebutnya Diary. Ku buka perlahan untuk memastikan masih ada bagian yang kosong. Hampir semua lembaran penuh dengan curhatan. Kini mataku mulai mencari hilangnya pena kebebasanku. Akhirnya aku bisa menemukannya. Tersembunyi diantara ilalang. Dan hampir tidak terlihat mata terlanjang. Sedikit kubungkukan badan. Agar bisa meraih pena yang jauh dari ganggaman tangan. Ku tarik nafas perlahan, memastikan pikiran telah kembali tenang.

Dear diary...

Begitu banyak rintik tidak bisa kubendung. Banyak cerita sulit keluar dengan percuma. Mungkinkah aku dapat menjamah hari yang belum aku lewati? Terkadang aku ingin berhenti. Rasa lelah terus mendekap dalam diri. Disaat tatapan kosong terus saja memperingati. Banyak hal tidak dapat aku kendalikan. Dan beberapa hal tidak bisa kuraih dengan tanganku yang penuh isyarat ini. Satu hal kuharap bisa terpenuhi. Menghentikan kesedihan yang terus tertera didepan mata.

Entah berapa lama aku berdiam di bukit yang penuh dengan ketenangan ini. Menenangkan hati, dan pikiran agar tidak tertekan lagi. Hanya ditempat ini aku bisa menjadi diri sendiri. Menangis, merenung, berteriak dan terisak. Semua itu sudah menjadi tradisi bagiku. Menuangkan emosi agar ia dapat terbang. Bersama angin ditengah padang lapang. Atau mungkin melemparkan impian yang terlalu berlebihan ke dasar jurang. Rasanya hanya ditempat inilah sesak yang kurasakan bisa menghilang. Dan berharap hati ikut merasa tenang. Meski waktu dapat merubah impian kita menjadi debu. Merubah jalan menjadi berliku. Tapi ia tidak bisa merubah semangat yang terus menderu.

Hembusan angin senja sesekali menabrak tubuh ringkih ini. Membantingku kesana kemarin tanpa henti. Kurasa ia hanya ingin menyapaku dengan cara yang berbeda. Tubuhku mematung ditempat yang sama dalam keadaan serupa. Ku izinkan angin menyelimuti tubuh ini. Biarlah ia mencengkeram sendi yang telah kaku. Dan hampir beku. Tanpa terasa ia ikut menjamah kesendirian. Menerbangkan luka bersamanya.

Langit seperti mendukung kedatangan ku sore ini. Tirai langit senja perlihatkan keindahannya. Sedikit demi sedikit mulai membuka jati diri yang telah lama tersembunyi.

Perlahan warna jingga mulai bertaburan. Bagai serbuk sari yang tengah ditabur di lapang ilalang. Awan putih berjalan mengikuti matahari terbenam. Dari Timur terlihat jelas kabut hitam mulai mendekat. Mata sayu ini cukup puas memandang panorama langit di sore itu.

Gaun merah jambu perlahan berubah menjadi abu-abu. Mengikuti warna langit yang hampir padam. Dengan tali mengikat di perut ku. Sesekali ku lihat seperti sayap kupu-kupu. Kegelapan mulai merambat mendekat. Dengan berani menyergap tubuh yang kaku dan hampir layu. Segera ku sadarkan diri yang telah lama memaku. Meski kaki mulai membeku, ku gerakkan perlahan. Berharap masih sanggup berjalan. Ku gertakkan tubuhku agar bisa membalikkan arah haluan. Kucoba berjalan perlahan menyusuri jalan setapak penuh ilalang.