Binar tampak menikmati mi ayam-nya, sambil mengenang masa-masa sekolahnya dahulu. Suap demi suap, ia teringat Medina sahabatnya. Dan tentu saja maskot mi ayam Pak Didit merangkap bola pingpong matematikanya, Mizan.
Kini, baik Medina maupun Mizan, keduanya sama-sama sedang berjuang menempuh kelulusan di Belanda. Medina di Groningen Universiteit, dan Mizan yang hebat di Rotterdam Universiteit.
"Tetep enak 'kan?" tanya Ayah.
Binar tersenyum, "Rasanya tidak berubah. Sama sekali."
"Nggak ada mi ayam di Turki?"
"Jarang. Kalaupun ada, pasti di titik-titik tertentu yang banyak orang Indonesia-nya."
"Kalau mau nambah, Ayah bisa langsung telpon Pak Didit. Atau kalau ngga, kita bisa ke sana."
Binar mengangguk senang.
"Sampai lupa. Bintang sudah nelpon?" tanya Ayah.
"Ajik. Belum. Sulung tidak bilang mau menelepon," sahutnya sambil membereskan mangkuknya, "eh sudah ding, Yah, kalau kemarin."
Ayah menuntaskan suapan terakhirnya. "Hari ini, bukan kemarin."
"Belum. Berikan mangkuk Ayah, aku akan mencucinya." Tangan Binar menjulur, meminta mangkuk ayahnya yang telah kosong, "mungkin Sulung sibuk. Di akhir pas kemarin nelepon, suaranya agak nggak jelas gitu, rame."
Binar membawa dua mangkuk kotor di tangannya ke wastafel dan mulai mencucinya. Gadis itu sedikit bergumam, menggumamkan sebuah lagu yang baru-baru ini dihafalnya, lagu yang sama yang diputarnya untuk mengusir bosan selama menunggu keberangkatan pesawat: Number One for Me milik Maher Zain.
Dari bangku makan, Ayah menatapnya sedih. Wajah gagah yang mulai berkeriput itu sedang menanggung cemas dan rasa bersalah.
Kemudian, di sela-sela gemericik air kran wastafel, gumaman Binar, dan gemuruh dada Ayah, sebuah ponsel berdering.
"Sulung ya, Yah?" Binar bertanya seraya meletakkan kembali mangkuk-mangkuk yang telah dicucinya di rak.
"Biar Ayah angkat," sahut Ayah sambil menggeser ikon telepon berwarna hijau. "Assalamu'alaikum."
Suara serak basah Bintang segera terdengar. Ayah menekan ikon speaker agar Binar juga bisa mendengar.
"Waalaikumsalam warahmatullah. Binar istirahat ya, Yah?"
Ayah tak menyahut. Binar memberi kode diam dengan jarinya.
"Ayah?"
Binar berdeham dari depan wastafel sebelum kemudian menyahut, "Abis makan mi ayam Pak Didit yang warbyasah!"
"Mentang-mentang ya!" Bintang terkekeh, "Jadi, Ayah sudah menyebutkan intronya?" tanyanya.
"Intro apa, sih? Ayah sama Sulung kongkalikong buat apa, nih?!" Binar kembali duduk di bangku makan. Bibirnya monyong.
"Ngggg."
"Ngg apa, sih? Ayah, ada apa?"
Ayah memejamkan mata, was-was. Ayolah, pria lima puluh dua tahun itu ingin sekali menghentikan putra sulungnya; mendadak berpikir rencananya terlalu cepat untuk disampaikan sekarang. Baru dua jam setelah Binar meletakkan kopernya di kamar. Binar dalam kondisi lelah.
"Ngg, Bungsu."
"Ya?"
"Mungkin ini terkesan buru-buru banget sih," ucap Bintang ragu. "Tapi kalo ngga malem ini juga, takutnya besok kamu udah ngelamar kerja trus diterima saat itu juga."
"Ada apa, sih. Sulung mau nikah?! Oke-oke sebentar, aku ambil minum dulu ya, oke. Yah, setidaknya aku minum dan ngga terlalu kaget gitu."
"Yee. Bukan nikah. Kamu 'kan tau aku belom kepikiran ke situ. Prioritas masih mengembangkan Jigeum. Seenggaknya punya tiga cabang dulu baru nikah."
"Padahal udah tua, loh. Apa salahnya coba. Kata Sulung, kalo nikah, rezekinya tambah banyak. Gimana dih. Aku inget ya, pas situ jodoh-jodohin aku sama temen situ."
Terdengar tawa Bintang. Tawa yang agak dipaksakan dan Binar Menyadarinya.
"Jadi mau ngomong apa? Gausah maksain buat ketawa kalo emang ngga lucu."
"Engg. Pfft, jadi gi-"
"Ngomong langsung ih."
"Gimana kalo kita sama-sama nyari Eomma?"
Binar urung bangkit dari duduknya. Senyum riangnya melesap entah kemana, berganti dengan ekspresi terkejut sekaligus resah.
"Bungsu?"
Ayah menunduk.
"Sulung dan Ayah ngerencanain ini lagi?"
Bintang menjawab cepat, "Bukan Ayah, tapi aku. Aku yang merencanakan ini sejak setahun lalu. Kupikir kita berdua sudah cukup dewasa buat ngadepin halmeoni. Aku mungkin belum mapan, tapi aku bisa mengurusmu selama menjalankan rencana. Kamu juga udah lulus dan bisa kerja di sini kalau memang perlu dan ingin."
Ayah menepuk lengan Binar perlahan, "Bungsu ngga wajib mengiyakan kok."
"Eomma nggak ingin pulang. Bukannya udah jelas?"
"Bukan nggak ingin, tapi nggak bisa. Aku sudah berusaha mencari Eomma selama ini-"
"Tapi Sulung gagal 'kan?" Binar memotong.
"Belum gagal. Masih ada kemungkinan dan kemungkinan itu akan lebih gede kalau kita kerja sama."
Suasana menjadi tak nyaman. Ayah tampak kalut, sedang baik Binar maupun Bintang yang jauh di Ansan sana sama-sama dikungkung emosi.
Eomma pergi dua pekan setelah Paman Min Soo kembali ke Seoul. Tanpa membawa baju dan kopernya. Jangankan baju dan koper, ponselnya juga masih tersimpan di nakas Ayah sampai saat ini.
Bagi Bintang yang saat itu berusia sembilan tahun, kepergian Eomma adalah keterpaksaan sebab sedikit banyak ia mendengar dan memahami percakapan Eomma, Ayah, dan Paman Min Soo. Sementara sebaliknya, Binar berpikiran, Eomma pergi karena lebih memilih halmeoni dan Paman Min Soo daripada dirinya, Sulung, dan Ayah. Pikiran buruk Binar semakin menjadi saat Ayah menitipkannya dan Sulung pada ART dan pergi ke Seoul. Tiga kali pergi dan pulang seorang diri.
"Aku berencana mendaftar beasiswa ke Belanda."
Ayah spontan melihat ke arah Binar.
"Ke Belanda? Kamu ngga pernah ngomongin ini sebelumnya.." Bintang menyahut. Suaranya terdengar kecewa.
"Oke, kalau begitu beri aku setidaknya tiga hari untuk berpikir. Sulung mau ngomong sama Ayah? Ada sesuatu yang harus aku kerjain."
"Biar nanti aku telpon Ayah. Selamat mengerjakan sesuatu. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam," balas Binar sebelum mematikan sambungan.
Kekecewaannya kembali mengalahkan kerinduannya pada Eomma. Kejengkelannya kembali membuatnya ingin berhenti menggunakan bahasa yang sama dengan wanita yang sepanjang empat belas tahun tidak memeluknya betapapun ia ingin. Nama akta lahirnya, ia bahkan benci membacanya, mendengarnya disebut saat absensi, dan melihatnya ditulis besar-besar di dokumen resmi apa pun miliknya.
Namun tanpa disadarinya, semua usaha kekecewaan, semua kejengkelan, dan semua kebencian itu justru mengganggu pikirannya. Lagu Number One for Me adalah buktinya. Itu jelas lagu betapa sayangnya seorang anak pada ibunya. Ibunya nomor satu. Binar memutar lagu itu sebanyak yang ia mau, menghafalnya, dan hanyut dalam bayang kehadiran Eomma di sampingnya.
Daripada apa pun setelah Tuhan, Eomma jelas dominan menempati hatinya.
🎐