Semua tidak berjalan sesuai harapan Valerie Kim. Setiap hari, Daniel terus berakting di depan anak mereka, Diana, seolah-olah mereka adalah keluarga yang harmonis. Di mata Diana, mereka terlihat seperti pasangan yang bahagia. Namun, di balik itu, Daniel seolah tak peduli pada Valerie. Saat tidak ada Diana, kehangatan yang pernah ada di antara mereka hilang, digantikan oleh sikap dingin dan ketidakpedulian. Valerie mulai merasa lelah dengan sandiwara yang harus mereka mainkan. Baginya, tidak peduli seberapa keras dia berusaha, dia tahu tidak akan pernah bisa menggantikan posisi mantan istri Daniel dalam hidupnya.
Lamaran Daniel yang datang tiba-tiba dulu membuat Valerie merasa bimbang. Meski hatinya dipenuhi oleh keraguan, tekanan dari keluarga dan perasaan tanggung jawab terhadap Diana membuatnya akhirnya menerima pernikahan itu. Bukan hanya Daniel yang merasa terpaksa menikahinya, Valerie pun merasa tidak sepenuhnya siap. Dalam diam, dia menyembunyikan rasa sakitnya. Dia tidak ingin membuat satu-satunya orang yang masih peduli padanya, ibunya, khawatir. Setiap hari, Valerie memaksakan diri tersenyum, menyembunyikan segala kepedihan di balik sikap tegar.
Pagi itu, Valerie sudah mengenakan seragam sekolahnya. Hari-hari liburan telah berlalu, dan hari ini dia harus kembali ke rutinitas sebagai siswi SMA. Setelah membereskan dapur dan menyiapkan sarapan, dia bergegas menuju kamar Diana untuk membantunya bersiap-siap. Meskipun sibuk dengan sekolah, Valerie selalu berusaha pulang tepat waktu. Dia tahu betul bahwa Diana akan sendirian di rumah bersama para pelayan, sementara Daniel, belakangan ini, jarang terlihat di rumah. Kesibukannya di kantor tampaknya menjadi alasan mengapa dia selalu terlambat pulang. Bahkan pada hari Minggu ini, Daniel sekali lagi mengingkari janjinya untuk membawa Diana ke taman bermain.
Sore itu, Valerie duduk bersama Diana di taman belakang rumah. Senyum manis Diana yang biasanya cerah kini terlihat suram. Gadis kecil itu menunduk, memainkan ujung rambutnya dengan tatapan kosong.
"Ka Valey, daddy belum pulang, ya?" tanya Diana dengan suara pelan, hampir berbisik.
Valerie tersenyum lembut, meski di dalam hatinya dia ikut merasakan kesedihan Diana. "Belum, sayang. Tapi mungkin sebentar lagi daddy akan pulang," jawabnya sambil mengelus kepala Diana.
"Apa daddy lupa hari ini?" Diana bertanya lagi, suaranya terdengar sangat pelan, dipenuhi dengan kekecewaan yang mendalam. Hari ini adalah ulang tahunnya, dan ayahnya, yang seharusnya menghabiskan waktu bersama, malah tidak ada di rumah.
Valerie merasakan sesuatu menyesak di dadanya. "Mana mungkin seorang ayah melupakan ulang tahun putrinya sendiri?" Valerie mencoba menenangkan Diana, meski dirinya sendiri dilanda rasa kecewa yang sama. Dia tahu bahwa janji Daniel untuk mengajak Diana ke taman bermain hari ini hanya tinggal kata-kata kosong.
Keheningan menggantung di udara sebelum Valerie akhirnya memutuskan untuk mengambil langkah. Dia tidak ingin membiarkan Diana menghabiskan hari istimewanya dengan kecewa. "Bagaimana kalau kita berdua saja yang pergi ke taman bermain?" Valerie menawarkan, berharap setidaknya bisa membuat Diana tersenyum lagi.
Mata Diana langsung berbinar, dan senyum cerah kembali muncul di wajah mungilnya. "Benarkah, Kak?!" suaranya dipenuhi kegembiraan dan harapan yang baru.
"Ya, ayo kita bersiap-siap," balas Valerie dengan senyum hangat. Melihat Diana begitu bahagia membuat hatinya sedikit lebih ringan. Setidaknya, meski Daniel mengingkari janjinya, Valerie bisa melakukan sesuatu untuk mengisi kekosongan di hari ulang tahun Diana.
Setelah mereka siap, Valerie dan Diana berangkat ke taman bermain. Selama perjalanan, Valerie memperhatikan bagaimana Diana, meskipun masih kecil, belajar menerima kekecewaan dari ayahnya. Namun, Valerie bersumpah di dalam hati, meski dunia terasa tidak adil baginya, dia akan selalu ada untuk Diana. Dia tidak ingin gadis kecil itu merasa sendirian, sebagaimana yang selama ini dia rasakan di rumah.
---
Sementara itu, di kantor, Daniel masih tenggelam dalam tumpukan pekerjaan yang seolah tak ada habisnya. Meskipun posisinya sebagai CEO memungkinkannya untuk mendelegasikan tugas-tugas tertentu kepada orang lain, ia merasa bertanggung jawab menyelesaikan semuanya sendiri. Pekerjaan menjadi pelariannya, cara terbaik baginya untuk menghindari hal-hal lain yang lebih sulit dihadapi—seperti keluarganya.
Ketukan di pintu membuyarkan konsentrasinya. Tanpa mengangkat pandangannya dari berkas-berkas di mejanya, Daniel berkata, "Masuk."
Pintu terbuka, dan Seongwoo, asisten pribadinya, masuk dengan langkah tenang. Ia mengenakan kemeja putih rapi, jas hitam kasual, dan dasi biru yang melingkar di lehernya, tampak seperti selalu—tenang dan siap mengatasi segala situasi.
"Ada apa, Seongwoo?" tanya Daniel singkat, masih sibuk membaca laporan yang ada di depannya.
"Kamis depan, perusahaan Karnet ingin bertemu untuk membahas kerjasama," jawab Seongwoo sambil menyerahkan beberapa lembar dokumen ke meja Daniel. "Ini detail rapatnya," lanjutnya.
Daniel menerima dokumen itu tanpa banyak bicara, membalik-balik halamannya dengan ekspresi serius. "Catat semua jadwal rapatku, dan pastikan semuanya tersusun rapi," ucap Daniel, suaranya terdengar letih. Pandangannya tertuju pada setumpuk kertas di depan Seongwoo. "Dan ini juga untuk Anda tandatangani," Seongwoo menambahkan, meletakkan berkas-berkas tambahan di meja Daniel.
Daniel mendesah dalam-dalam, lelah semakin terasa menyergap tubuhnya. "Terima kasih, Ong. Kau benar-benar membuatku terjebak di sini hari ini," gumamnya, setengah bercanda, namun dengan nada yang tetap terdengar kesal.
Sebenarnya, hari ini adalah hari spesial—ulang tahun putrinya, Diana. Daniel merasa bersalah. Dia tahu betul bahwa janji yang pernah dia buat untuk Diana hari ini akan diingkari lagi. Meskipun dia berusaha keras menjadi ayah yang baik, tanggung jawab sebagai pemimpin perusahaan raksasa terus-menerus menjadi penghalang.
Seongwoo, yang menyadari suasana hati Daniel, sedikit ragu sebelum bertanya, "Apa aku harus memberi tahu Nona Valerie kalau Anda tidak bisa pulang malam ini?"
Daniel terdiam sejenak, memijat pelipisnya dengan ujung jari, merasa beban semakin berat di bahunya. "Tidak usah, Ong. Aku sendiri yang akan berbicara dengan Nana nanti," jawabnya dengan suara rendah, mengisyaratkan bahwa ia akan mencoba meredam kekecewaan Diana dari jauh—hanya melalui telepon. Sebuah ulang tahun yang suram bagi putrinya, dan Daniel tahu Diana mungkin semakin membencinya karena ketidakmampuannya memenuhi janji. Namun, sebagai CEO, ia merasa tak punya pilihan lain.
Seongwoo tampak hendak pergi, namun tiba-tiba teringat sesuatu. "Oh ya, Daniel. Aku hampir lupa. Nanti malam kau diundang makan malam oleh CEO Bae," katanya, suaranya terdengar lebih ceria, seolah undangan itu adalah hal baik.
Daniel, yang tadinya sudah kembali memusatkan perhatian pada pekerjaannya, terdiam sejenak ketika mendengar nama itu. Ekspresinya sedikit berubah, lalu ia tersenyum tipis. "Siapkan jasku, dan beritahu Valerie bahwa aku akan datang bersamanya," ucapnya tenang, sebelum kembali larut dalam pekerjaannya.
Seongwoo mengangguk, lalu keluar dari ruangan, meninggalkan Daniel sendiri. Di balik senyum tipisnya, Daniel menyadari bahwa ia sekali lagi akan mengecewakan orang-orang yang ia sayangi — Diana. Tapi bagi Daniel, hal-hal seperti ini sudah menjadi kebiasaan, sesuatu yang terus berulang dalam hidupnya.
---
Malam itu, Valerie mengenakan gaun hitam panjang tanpa lengan yang memperlihatkan punggungnya. Meski sedikit risih dengan pilihan pakaian itu, ia tetap memakainya karena para pelayan telah menyiapkannya sesuai permintaan Daniel. Valerie sendiri tidak tahu acara apa yang akan mereka hadiri, hanya diberitahu untuk bersiap. Diana, putri kecil mereka, sudah tertidur pulas setelah kelelahan bermain di taman bersama Valerie sore tadi.
Di kamar yang lain, Daniel sudah siap dengan setelan jas hitamnya. Berbeda dari biasanya, ia memilih untuk tidak mengenakan dasi dan membiarkan kancing bagian atas kemejanya terbuka. Dia menginginkan Valerie tampil menawan malam itu, itulah sebabnya dia memilih gaun hitam tersebut—pakaian yang membuat Valerie terlihat anggun dan mempesona. Dia bahkan meminta pelayan agar Valerie dirias dengan sempurna sehingga siapa pun yang melihat mereka malam ini tidak akan mengenali Valerie sebagai istri Daniel.
Saat berada di dalam mobil, Daniel sesekali melirik Valerie yang duduk di sebelahnya. Pemandangan Valerie dalam gaun hitam itu membuatnya sulit untuk mengalihkan pandangan. Valerie, yang menyadari tatapan itu, akhirnya angkat bicara, memecah keheningan.
"Kita mau ke mana?" tanyanya pelan, matanya menatap Daniel dengan sedikit rasa penasaran.
Daniel menoleh sesaat, membuat jarak mereka semakin dekat. "Pesta kolega ku," jawabnya singkat, suaranya terdengar tenang.
"Apakah tidak masalah aku ikut?" Valerie bertanya lagi, suaranya sedikit gugup, khawatir dirinya mungkin tak pantas berada di acara tersebut.
Daniel menghela napas pelan, tanpa menoleh lagi padanya. "Kenapa harus bermasalah?" jawabnya singkat, tatapannya kembali fokus ke jalan di depan mereka.
Merasa pertanyaannya tak dianggap serius, Valerie pun diam, mengalihkan pandangannya ke luar jendela. Namun, dia merasa wajahnya memerah tanpa sadar karena cara Daniel menjawab pertanyaannya barusan.
Begitu mereka sampai di lokasi acara, Daniel dengan anggun membuka pintu mobil untuk Valerie, memastikan setiap gerak-gerik mereka terlihat sempurna di hadapan para wartawan yang menunggu di luar. Di depan publik, mereka harus menjaga penampilan—tampak seperti pasangan yang harmonis dan bahagia, walau kenyataannya jauh dari itu.
Di dalam acara, Valerie segera merasa bosan. Ia hanya berdiri di samping Daniel, menjadi pendamping yang diam, sementara suaminya sibuk berbincang dengan koleganya. Sesekali Valerie mencuri pandang ke arah jam tangan, berharap waktu berlalu lebih cepat. Ketika ia melihat seorang pelayan berjalan melewatinya membawa nampan berisi minuman, Valerie pun meraih segelas wine untuk sekadar membasahi tenggorokannya.
Namun, sebelum sempat menyesapnya, tangan Daniel dengan cepat menahan gelas itu. "Jangan minum itu!" katanya tiba-tiba, suaranya penuh ketegasan.
Valerie terkejut, hampir tersedak oleh peringatan mendadak tersebut. "Kenapa kau tak bilang kalau ini wine?" tanyanya dengan nada kesal, mengelap bibirnya yang sedikit basah dengan punggung tangannya. Daniel hanya terkekeh kecil, seolah menikmati kebingungan Valerie.
Tapi suasana tiba-tiba berubah saat seorang pria muda mendekat, menggandeng seorang wanita di sisinya. Tatapan Daniel yang tadinya tenang, kini berubah kaku. Wajahnya terlihat tegang, seperti ada sesuatu yang tak beres.
"Lama tak berjumpa, Danik," kata wanita itu, suaranya terdengar licin, penuh dengan nada ejekan.
Valerie melihat ekspresi Daniel berubah total. Nama itu—'Danik'—tak pernah ia dengar sebelumnya. Ada sesuatu dalam panggilan itu yang membuat Valerie merasa ada hal-hal yang disembunyikan Daniel darinya. Pertanyaan demi pertanyaan berkecamuk dalam benaknya, membuat suasana semakin terasa aneh dan berat.
---- To Be Continued ----
Untuk judul kenapa Saudade, aku punya alasan dan ini adalah artinya Saudade (Portugal). "Cinta yang bertahan" setelah seseorang pergi. Emosi yang mendalam akan nostalgia merindukan sesuatu atau seseorang yang pernah Anda cintai.