Daniel Pov
"Lama tak berjumpa, Danik."
Suara lembut namun dingin itu terdengar dari Jeon Somi, wanita yang pernah menjadi bagian dari hidupku. Dulu, ia adalah istri yang pernah kucintai, ibu dari Diana, anak kami. Sekarang, dia berdiri di hadapanku, menggandeng pria lain-suami barunya. Hati ini terasa sesak saat melihat bagaimana ia memeluk pria itu dengan mesra, seperti menunjukkan bahwa kebahagiaannya kini tak lagi bersamaku.
Aku hanya bisa menatapnya sejenak, pikiran melayang ke masa lalu. Kenangan-kenangan berkelebat, tapi aku memutuskan untuk menjawab singkat. "Bagaimana kabarmu?"
"Baik," jawab Somi dengan senyuman yang terlihat begitu tipis, nyaris tak sampai ke matanya. Seolah-olah ada beban yang tersembunyi di balik jawaban itu. Atmosfer di sekitar kami berubah tegang. Sebuah konfrontasi yang tersirat, namun tak diucapkan. Seolah-olah ada banyak hal yang ingin dikatakan, namun hanya bisa ditahan di dada masing-masing.
Somi kemudian menoleh ke arah wanita di sampingku, Valerie. Matanya yang dingin dan penuh tanya menelisik Valerie, menatapnya dengan cara yang membuat suasana semakin tak nyaman. "Siapa dia?" tanyanya, nadanya tenang namun menusuk, terselip di balik senyuman palsunya.
Dengan perasaan yang berkecamuk di dada, aku tersenyum kecut dan dengan berat hati menjawab, "Dia istriku."
Somi tersenyum tipis, tapi aku tahu perkenalan ini membuatnya tidak nyaman. Meski begitu, ia berusaha untuk terlihat biasa saja. Tangannya terulur ke arah Valerie, mencoba menunjukkan keramahan yang palsu. "Hai Valerie, aku Jeon Somi. Mantan istri Daniel," katanya, menekankan kata mantan dengan sengaja, seolah ingin membuat pernyataan.
Valerie, meskipun tampak sedikit canggung, tetap berusaha tenang. Ia menyambut uluran tangan Somi. "Senang berkenalan denganmu," balasnya sopan. Aku bisa melihat dari sorot matanya bahwa situasi ini membuatnya tak nyaman, namun Valerie berusaha tetap teguh.
Somi beralih ke pria di sampingnya, menggenggam tangannya dengan penuh mesra, seolah ingin menunjukkan kepemilikan yang kuat. "Dan ini suamiku, Bae Jinyoung," katanya dengan bangga.
"Bae Jinyoung," ucap pria itu sambil mengulurkan tangan ke arahku.
Dalam hati, ada rasa kesal yang begitu dalam. Aku harus menelan kenyataan bahwa Somi kini tampak lebih bahagia dengan pria lain. Aku menyambut uluran tangan Jinyoung, meski ada kemarahan yang tersimpan. "Kang Daniel," jawabku, berusaha menjaga nada tetap tenang meskipun sulit.
"Selamat atas pernikahan kalian," ucap Somi dengan basa-basi yang terdengar hambar. "Maaf aku tidak bisa datang waktu itu."
Tanpa peringatan, Somi melanjutkan, kali ini dengan nada yang lebih tajam, "Sepertinya benar berita itu, kau menikahi gadis muda, ya, Danik?"
Aku bisa merasakan Valerie menegang di sampingku. Dia memang masih sangat muda, dan itu adalah kenyataan yang tak bisa dipungkiri. Ejekan halus Somi membuat suasana semakin tak enak. Valerie tersenyum kecut dan menundukkan kepalanya, jelas tidak nyaman dengan komentar itu. Sementara itu, pikiranku melayang, dipenuhi dengan amarah yang perlahan menguasai diriku.
Namun, Valerie tak tinggal diam. Dia mendongak dengan percaya diri, seolah ingin menunjukkan bahwa dirinya baik-baik saja. "Saya memang masih muda," katanya dengan tenang, "tapi suami Anda juga sepertinya tak jauh beda dengan saya, bukan, Nona Somi?" Senyum tipis penuh arti menghiasi wajahnya, menandakan bahwa dia tidak akan membiarkan dirinya dipermalukan begitu saja.
Kata-kata Valerie mengena dengan sempurna. Bae Jinyoung, suami baru Somi, memang lebih muda darinya. Senyuman kecut yang menghiasi wajah Somi menunjukkan bahwa komentar itu menyakiti egonya. Namun, ia tidak mau kalah. Bae Jinyoung yang berada di sampingnya, melihat itu, sepertinya tak ingin membiarkan istrinya kalah dalam perdebatan.
"Sekarang seleramu anak-anak, ya, Daniel?" Jinyoung melontarkan serangan balik dengan nada tajam. "Apa Valerie seperti gadis-gadis muda lainnya yang hanya bisa menghamburkan uang?" lanjutnya sambil tersenyum sinis. "Dia bahkan terlihat seperti tak punya pengalaman untuk merawat anak."
Perkataannya semakin membuat amarahku memuncak. Rasanya tak ada lagi yang bisa ku tahan. Aku hampir tak bisa menahan dorongan untuk meluapkan semua amarahku, terutama ketika Somi, tanpa malu, melanjutkan ejekannya. "Oh, aku ingat sekarang. Yang muda memang lebih memuaskan, ya, Danik?"
Ucapan itu, dilontarkan di tengah pesta yang ramai, seperti cambuk yang menghantam harga diriku. Tangan kananku mengepal erat, amarahku sudah di ambang batas. Aku benar-benar ingin menampar wajah Somi dan membuatnya merasakan sakit yang aku rasakan. Namun, ketika aku hampir kehilangan kendali, Valerie dengan cepat menahan tanganku. Dia menatapku dengan senyuman lembut, seolah-olah ingin berkata, 'Jangan biarkan dia membuatmu marah.'
Aku menepis tangannya dengan frustrasi. Valerie benar-benar tidak mengerti betapa dalam rasa sakit dan amarah yang kupendam selama ini. Aku tak bisa lagi menahan diri. Dalam sekejap, kepalan tanganku meluncur, memukul wajah Bae Jinyoung hingga dia tersungkur ke tanah. Suara pukulan itu menghentikan suasana pesta. Somi menjerit histeris, berlari ke arah suaminya yang terjatuh, dan membantunya berdiri. Jinyoung bangkit, dengan cepat membalas pukulanku. Saat aku hendak melayangkan pukulan lagi, tiba-tiba Somi berdiri di antara kami, mendorongku dengan keras. "Hentikan, Daniel!" teriaknya.
Somi kemudian merangkul Jinyoung yang kesakitan, matanya menatapku dengan tajam, penuh kebencian karena telah melukai suaminya. Suasana pesta yang semula penuh kebahagiaan kini berubah menjadi tontonan kekacauan. Orang-orang mulai berbisik, mata-mata penasaran menatap ke arah kami. Dengan dada penuh amarah, aku tak bisa lagi berada di sana. Aku berbalik, meninggalkan Valerie yang masih mencoba menenangkanku. Dia menatapku dengan tatapan lirih, seolah ingin mengerti, namun aku terlalu dikuasai emosi. Aku pergi, meninggalkan pesta itu dengan perasaan hancur.
---
Valerie Pov
Setelah kejadian sore tadi, ketika Daniel tak sengaja bertemu dengan mantan istrinya bersama suami barunya, aku tahu pasti dia sedang patah hati. Dari raut wajahnya yang kosong dan langkahnya yang tergesa, hatinya jelas terluka. Sesampainya kami di rumah, aku berharap kami bisa bicara, tapi itu hanya harapan. Bukannya duduk dan berbagi cerita, Daniel malah kembali bersiap pergi.
"Kau mau ke mana?" tanyaku, mencoba menghentikannya.
Tanpa menoleh atau menjawab, Daniel membuka pintu dan melangkah keluar. Dia langsung menuju mobilnya setelah mengantarkanku pulang, seolah tak ada yang lebih penting baginya selain melarikan diri. Aku hanya bisa berdiri di depan pintu, menatap punggungnya yang semakin menjauh, terbenam dalam kesedihannya sendiri. Di satu sisi, aku ingin berlari mengejarnya, menenangkannya, memberitahunya bahwa aku ada di sini untuknya. Tapi di sisi lain, aku sadar, sedalam apapun aku mencoba, aku tak akan pernah bisa benar-benar meraih hatinya. Bukan aku yang ia cari untuk mengisi kekosongan di hatinya. Aku hanya bagian kecil dari pernikahan bisnis yang tak punya cinta. Hubungan kami tak lebih dari kontrak yang kaku dan dingin. Begitu banyak hal yang harus diterima dengan lapang dada meski hati tak pernah setuju.
Dengan langkah lemah, aku kembali masuk ke dalam rumah. Di kamar, Diana sudah tertidur pulas, tak terganggu oleh peristiwa yang terjadi. Aku duduk di tepi tempat tidurnya, mengusap rambutnya yang halus, berusaha menenangkan diriku sendiri. Namun, mata ini tak bisa terpejam. Pikiran terus melayang kepada Daniel. Apa yang sedang ia lakukan sekarang? Ke mana ia pergi? Aku hanya bisa berharap dia tidak melakukan sesuatu yang gegabah dalam keadaan emosional seperti ini.
Dengan rasa gelisah yang terus menghantui, aku memutuskan untuk menunggu. Aku turun ke ruang keluarga, duduk di sofa yang kini terasa dingin dan sunyi. Waktu berlalu perlahan, namun tak ada tanda-tanda kepulangan Daniel. Pikiran-pikiran buruk mulai menghantui benakku-bagaimana jika ia terjebak dalam emosi dan melakukan sesuatu yang berbahaya?Jam demi jam berlalu. Rasa lelah mulai menguasai tubuhku, tapi aku tak bisa memejamkan mata. Setiap bunyi kecil membuat jantungku berdegup kencang, berharap itu suara mobilnya yang kembali. Pada akhirnya, tanpa sadar aku tertidur di sofa, tetap dalam kekhawatiran, menunggu kepulangan Daniel yang tak kunjung tiba.
04.13 AM
Setelah entah berapa lama aku tertidur di sofa, suara ketukan pelan di pintu utama membangunkanku. Aku terkejut dan langsung bangkit, dengan tubuh yang masih lelah melangkah tergesa-gesa menuju pintu. Ketika aku membukanya, pemandangan yang kulihat di depan pintu membuat dadaku sesak-Daniel berdiri di sana, tapi bukan Daniel yang biasanya kukenal. Wajahnya lebam, rambutnya acak-acakan, dan aroma alkohol menyengat keluar dari mulutnya. Pakaian yang dikenakannya basah oleh keringat, menambah kesan berantakan. Dia tampak seolah habis berkelahi, entah dengan siapa atau dengan apa.
"Apa yang terjadi denganmu?" tanyaku, suaraku tercekat oleh kecemasan yang semakin menjadi.
Dia tidak menjawab. Tanpa sepatah kata, Daniel melangkah masuk ke rumah dengan langkah gontai, seakan tubuhnya tak lagi bisa menanggung beban yang ada di dalam kepalanya. Aku berusaha mendekat untuk membantunya, tapi sebelum tanganku sempat menyentuhnya, dia menepis dengan keras. Tubuhku terdorong ke belakang, terhuyung hingga jatuh menabrak meja. Punggungku terbentur keras, menimbulkan rasa nyeri yang tajam. Aku mendongak, pandanganku kabur sejenak karena sakitnya. Ketika mataku berhasil fokus kembali, aku melihat Daniel menatapku. Bukan tatapan yang lembut, melainkan tajam, dingin, seolah dia adalah orang yang benar-benar asing. Tatapan itu menyalakan ketakutan dalam diriku. Aku membeku di tempat, merasakan sakit di punggung dan ketakutan yang merayap di seluruh tubuhku.
Aku tak berani lagi mendekat. Perasaanku campur aduk antara ingin membantu dan ketakutan yang mencekam. Namun, sebelum aku sempat mengambil keputusan, tubuh Daniel ambruk ke lantai dengan suara berdebum yang mengejutkan. Napasku tercekat. Aku tak punya pilihan lain. Dengan sisa keberanian yang ada, aku menghampirinya dan mencoba membopong tubuhnya yang berat ke kamar. Sesampainya di kamar, aku meletakkan tubuhnya di atas kasur. Dengan tangan gemetar, aku mulai melepas sepatunya yang kotor, mengganti bajunya yang basah oleh keringat dan noda darah. Aku melakukan semua itu dengan hati-hati, meski takut, tapi aku tak tega membiarkannya dalam keadaan seperti itu. Aku menarik selimut dan menutupi tubuhnya, berharap dia bisa tidur dan semuanya akan berlalu.
Saat malam mulai larut, aku memutuskan untuk kembali ke kamarku sendiri dan beristirahat setelah hari yang melelahkan. Namun, sebelum aku sempat melangkah lebih jauh, tiba-tiba pergelangan tanganku dicengkeram kuat. Aku terkejut, jantungku berdegup kencang. Daniel, dengan ekspresi yang sulit dibaca, menarikku kembali ke atas kasur. Tubuhku terhempas dengan keras, seolah seluruh kekuatan di tubuhku mendadak lenyap. Dalam sekejap, dia sudah berada di atasku, menahan kedua tanganku di atas kepala. Napas beratnya-yang jelas-jelas berbau alkohol-menghantam wajahku, membuatku semakin tercekam. Wajahnya hanya beberapa inci dari wajahku. Hampa, dingin, dan penuh tekanan. Tak ada kata-kata yang terucap, namun keheningan itu justru semakin menambah ketegangan. Jantungku berdetak semakin cepat, rasa takut merayap dari ujung kaki hingga ke seluruh tubuh. Aku memejamkan mata, tak berani menatapnya, takut akan apa yang mungkin terjadi.
Lalu, tanpa peringatan, sebuah tamparan keras mendarat di pipiku. Rasa sakit yang tiba-tiba itu menjalar ke seluruh tubuh, seolah tak hanya menampar wajahku, tetapi juga seluruh hatiku. Air mata yang sedari tadi kutahan akhirnya tumpah, mengalir deras, tak mampu lagi kutahan. Tubuhku gemetar di bawah berat tubuhnya.
"Buka matamu!" Suara Daniel terdengar tajam, dingin, penuh amarah. Tak ada belas kasih di balik nada itu.
Dalam ketakutan yang mendalam, aku memaksa diriku membuka mata. Tatapan kosong dan tajamnya langsung menusuk hatiku. Itu bukan tatapan yang kukenal. Bukan Daniel yang kukenal. Aku mencoba mengalihkan pandanganku, menunduk, tak berani menatapnya lebih lama. Tangisku semakin menjadi, rasa takut bercampur kecewa menyelimuti pikiranku. Namun, seiring waktu, sorot matanya mulai berubah. Perlahan, tatapannya melembut. Tangannya yang semula keras menggenggam tanganku kini mulai mengusap lembut pipiku, menghapus air mata yang terus mengalir. "Maafkan aku, Somi," ucapnya lirih.
Hatiku terhenyak. Rasa sakit yang tak terlukiskan menghantam dadaku. Somi? Pikirannya masih tertuju pada wanita itu. Aku, yang berada tepat di hadapannya, tidak lebih dari bayangan masa lalunya. Ia bahkan tak sadar bahwa yang kini ada di hadapannya adalah aku, Valerie-bukan Somi.
Sebelum aku bisa mencerna apa yang baru saja diucapkannya, tiba-tiba aku merasakan sesuatu yang lembut menyentuh bibirku. Aku membuka mata dengan terkejut, hanya untuk menyadari bahwa Daniel sedang menciumku. Awalnya, ciuman itu terasa lembut, seolah-olah penuh cinta dan penyesalan. Namun, perlahan ciuman itu berubah menjadi liar dan kasar, penuh amarah yang tak bisa kumengerti. Lidahnya memaksa masuk ke dalam mulutku, memporak-porandakan setiap sudut, tanpa peduli bagaimana perasaanku.
Rasa sakit mulai menyebar ketika dia menggigit bibirku dengan kasar. Aku berusaha mendorongnya, mencoba menghentikan tindakannya yang semakin brutal. Namun, tubuhnya terlalu kuat. Usahaku sia-sia, tanganku yang mencoba menekan dadanya sama sekali tak berpengaruh. Aku tak cukup kuat untuk melawannya.
Dalam kepanikan dan ketakutan yang terus melanda, pikiranku mulai kacau. Aku tak tahu harus berbuat apa. Di satu sisi, hatiku hancur mendengar namaku terhapus dari ingatannya, digantikan oleh nama wanita lain-Somi, mantan istrinya. Di sisi lain, aku tak mengenali pria di hadapanku ini. Daniel yang dulu kukenal sebagai sosok tenang, penuh kasih, dan datar, kini berubah menjadi sosok yang begitu menakutkan. Pria di depanku ini adalah orang asing yang tak pernah kulihat sebelumnya. Tanganku semakin lemah, tubuhku membeku dalam ketakutan. Rasa takut yang mendalam merasuki setiap inci tubuhku, mengunci semua logika dan keberanian yang mungkin kumiliki. Aku hanya bisa diam, pasrah dalam genggamannya, berharap semua ini hanyalah mimpi buruk yang akan segera berlalu. Namun, dalam hati, aku tahu bahwa kenyataan yang sedang kuhadapi jauh lebih buruk daripada sekadar mimpi buruk.
---
Tatapan mata Daniel yang awalnya penuh dengan gairah dan amarah tiba-tiba berubah. Seperti tersadar dari mimpi buruk, genggamannya yang tadinya begitu kuat di pergelangan tanganku mulai mengendur. Sorot matanya melembut, seolah-olah ia baru menyadari apa yang baru saja terjadi. Seketika, ekspresi terkejut muncul di wajahnya, menyiratkan penyesalan yang mendalam. Wajahnya tampak pucat, pandangannya jatuh pada pipiku-kulitku yang memerah akibat tamparan yang baru saja ia berikan. Melihat luka yang ia timbulkan, rasa bersalah semakin menghantuinya.
Daniel mundur sejenak, kebingungan menyelimuti gerak-geriknya. Tanpa sepatah kata pun, ia tiba-tiba bangkit dari tempat tidur dan berlari menuju kamar mandi. Langkahnya tergesa-gesa, seolah ingin melarikan diri dari kenyataan pahit yang baru saja ia sadari. Di dalam kamar, aku masih terbaring di atas kasur, tubuhku gemetar hebat. Isakan pelan keluar dari bibirku yang gemetaran, tak mampu menahan rasa takut yang telah meluap menjadi air mata. Pipiku terasa panas, bukan hanya karena tamparan itu, tetapi karena ketakutan yang meresap dalam setiap helaan napasku.
Ketika Daniel menghilang ke dalam kamar mandi, aku sadar ini adalah kesempatanku. Meski tubuhku lemas, aku memaksakan diri untuk bangkit. Jantungku masih berdetak kencang, seakan waktu bergerak lebih lambat dari biasanya. Dengan sisa-sisa tenaga yang ada, aku berlari keluar dari kamar Daniel. Pikiran-pikiran kacau melintas di kepalaku, namun hanya ada satu yang mendesak: keluar dari sini, secepatnya.
Setibanya di kamarku sendiri, aku segera menutup pintu dengan cepat, menguncinya dengan tangan yang gemetar. Suara 'klik' dari kunci pintu terasa seperti penyelamat dalam situasi yang begitu menakutkan. Pintu ini menjadi satu-satunya penghalang antara diriku dan Daniel-sosok yang beberapa saat lalu berubah menjadi pria yang asing dan mengerikan. Aku bersandar di balik pintu, tubuhku melemas, merosot ke lantai. Dada terasa sesak, napasku tersengal-sengal, berusaha mengatur ritme yang tak beraturan akibat ketakutan.
Di dalam kesunyian yang menyelimutiku, ketakutan masih menggantung di udara. Rasanya seolah bayangan Daniel masih ada di luar sana, mengintai setiap detikku. Aku mencoba menguatkan diri, tapi ketakutan dan kekecewaan menguasai seluruh pikiranku. Air mata masih mengalir, tak tertahankan, membasahi pipiku yang sudah basah. Kenyataan bahwa Daniel, pria yang selama ini kupercaya, bisa berubah begitu mengerikan membuatku merasakan kehampaan yang mendalam.
Aku duduk di lantai dengan punggung menempel di pintu, menatap hampa ke depan. Perasaan aman yang dulu selalu kuhubungkan dengan dirinya kini telah sirna. Di dalam keheningan kamar yang sepi ini, aku hanya bisa berharap, berharap ini semua hanyalah mimpi buruk yang akan segera berlalu. Tapi kenyataan tak pernah seindah harapan.Sementara itu, di kamar mandi, Daniel berdiri di bawah pancuran air dingin yang mengalir deras. Kepalanya menunduk, air menghujani tubuhnya yang gemetaran, tapi bukan karena dinginnya air. Pikirannya berputar cepat, terjebak dalam rasa bersalah yang semakin menghimpit.
"Sial!" rutuknya sambil mengepalkan tangan. "Apa yang sudah aku lakukan?"
Air yang terus mengalir dari keran terasa seperti upaya untuk menyadarkan dirinya dari kesalahan besar yang baru saja ia perbuat. Dia menatap kosong ke lantai kamar mandi, merasakan penyesalan yang mendalam menguasai dirinya. Tatapan Valerie yang ketakutan tadi terbayang jelas di benaknya, membuatnya merasa hancur. Dia tidak pernah bermaksud menyakiti Valerie, tapi emosi dan gairah telah menguasai pikirannya, mengubahnya menjadi seseorang yang bahkan ia sendiri tidak kenali. Air terus menghujani tubuhnya, tapi tidak mampu membersihkan rasa bersalah yang semakin berat di dadanya. Daniel hanya bisa berdiri di sana, terjebak dalam pergulatan batin yang menyiksanya. Di antara suara air yang jatuh, ia hanya bisa mengutuki dirinya sendiri, menyesali semua yang telah terjadi.
---- To Be Continued ----