Amara Soedibyo adalah gadis desa yang ingin mengadu nasib di Jakarta, mendapatkan pekerjaan mapan, dan mendambakan suami yang bisa membiayai hidupnya. Saat dikejar-kejar jutawan Keenan Darmawan, Amara mengira pangeran impiannya akhirnya muncul. Tapi ia terpaksa menolak tawaran Keenan karena pria itu hanya menginginkan kekasih dan anak—tapi bukan istri. Keenan percaya tawarannya adalah solusi terbaik bagi Amara. Soal biaya hidup, ia siap menanggung. Soal anak, ia mengajukan pemeliharaan anak secara bersama. Tapi sementara Amara mengimpikan gaun pengantin, Keenan bersumpah takkan pernah mengucapkan janji nikah di depan penghulu. Ia pikir pengusaha yang berkuasa dan hebat seperti dirinya tidak bisa dijebak untuk berkomitmen oleh perawan manis seperti Amara. Tapi bukan Amara namanya kalau tak bisa menundukkan Keenan, hingga akhirnya malah Keenan yang mendesak Amara agar mau menikah dengannya
Kenapa kau tidak pulang saja ke Bomo, Banyuwangi, bertemu pemuda baik, menikah, dan memiliki beberapa orang anak hebat? Amara Soedibyo bisa mendengar nasihat yang sangat bijak dan penuh kepastian dari kakaknya, Mas Hendra. Tapi dia takkan mengikuti Mas Hendra!
Tidak, kalaupun dia pulang ke Bomo, ia akan pulang dengan keberhasilan. Bahkan Mas Hendra pun bisa menghormati keinginannya akan hal itu. Dibesarkan dalam salah satu keluarga termiskin di kampungnya--Hendra si sulung, Amara anak bungsu--mereka tahu apa artinya kelaparan, tidak tahu krisis apa yang akan mereka hadapi selanjutnya, seringkali takut dan terkadang marah. Tapi, mereka juga mengenal banyak cinta dan dibesarkan untuk percaya bahwa mereka bisa melakukan yang lebih baik untuk diri mereka sendiri. Banyak orang di kota meragukan itu, tapi mas Hendra berhasil membuktikan bahwa mereka salah. Begitu juga saudara-saudara Amara yang lain--dan sekarang adalah gilirannya.
Tidak, ia jelas takkan melarikan diri setelah baru lima bulan di Jakarta. Ia takkan bersusah payah melewati segala kesusahan ini hanya untuk berakhir dengan mengerjakan pekerjaan membosankan bergaji rendah, seperti pekerjaan yang bisa disediakan di kota sekecil Bomo, bagi seorang gadis tanpa gelar sarjana dengan pengalaman kerja terbatas.
Dan bagaimana ia bisa kembali dan menghadapi kekasih lamanya, setelah mengatakan padanya bahwa ia sudah tidak cocok lagi dengan kota itu, gaya hidup, dan terutama cinta monyet pertamanya dengan pria itu? Yang terakhir itu sudah jelas benar, dan sudah terbukti sebagian besar setelah beberapa tahun kencan mereka. Tapi, apa sih sulitnya melupakan pria yang beranggapan bahwa membelikanmu roti isi daging di pompa bensin ayahnya berarti mengajakmu makan di luar?
Pria yang beranggapan semua wanita semestinya bertelanjang kaki, hamil dan melahirkan anak--kecuali ketika mereka mengenakan sepatu bot bersol baja untuk pergi bekerja di pabrik terdekat? Pria yang tidak pernah memahami, terlebih lagi mendukung hasratnya untuk meningkatkan diri, rencananya untuk kembali melanjutkan sekolah, keinginannya untuk sesuatu yang lebih?
Dada Amara berdesir. Jika ia tak pernah melihat pria seperti Irwan Setiawan lagi, itu akan terlalu cepat. Dan jika ia tak pernah mengikuti nasihat kakaknya yang khas pria Blambangan.
Disentuhnya bandul berupa dua buah sepatu bayi mungil berwarna perak di gelangnya yang penuh bandul, satu untuk masing-masing anak Mas Hendra, keponakan laki-laki dan keponakan perempuannya. Memikirkan kakaknya dan istrinya, Mbak Sinta, beserta anak-anak manis itu, memang membuat Amara berpikir dua kali untuk tidak menerima nasihat mas Hendra. Sebenarnya, ia memang ingin menikah dan mempunyai bayi. Bahkan, ia menunggu-nunggu tibanya saat itu.
Pernikahan, bagaimanapun juga, adalah sesuatu yang harus dijalankan dengan baik oleh para gadis di Bomo, Banyuwangi--bahkan gadis pintar yang terdidik sekalipun, hmm, wanita yang disebut-sebut sebagai "Generasi Milenial". Dan bayi? Amara menyukai bayi, kaki-kaki mungil dan perut buncit mereka, bau mereka, bagaimana mereka mengoceh dan tertawa. Gagasan akan memiliki bayi sendiri suatu hari nanti menyinarinya bagaikan matahari menerangi keredupan harinya.
Amara sudah pasti ingin menikah dan mempunyai bayi--dengan laki-laki yang tepat, pada waktu yang tepat, dan dalam keadaan yang tepat. Tiga tujuan, kakak iparnya akan menggodanya dan mengatakan peluangnya kecil untuk mencapai ketiga tujuan itu sekaligus.
"Temukan Mr. Right," kata mbak Sinta, "dan sisanya tidak begitu penting lagi."
"Menemukan Mr. Right?" rutuk Amara, mencengkeram jaket-segala-cuacanya yang tipis dan merapatkannya ke tubuhnya. Sekarang ini, ia akan bahagia jika bisa berpapasan dengan Mr. Coffee. Ia berhenti di depan kaca kedai kopi kecil yang semrawut di lantai pertama sebuah gedung pencakar langit yang elegan.
Aroma campuran yang eksotis, latte yang kaya rasa, dan biji kopi yang baru saja di giling menerbitkan air liurnya. Ia memejamkan mata, menghirup dan menikmati aromanya. Yang bisa ia lakukan hanyalah menikmati aromanya, jadi mengapa tidak melakukannya dengan baik saja? pikirnya.
Ia sudah memeriksa keuangannya lagi pagi ini, mencoba menemukan cukup uang ekstra untuk mengganti lensa kontak yang hilang semalam. Diliriknya bayangan dirinya di kaca tebal bening berukuran besar di hadapannya. Bahkan setelan untuk wawancaranya yang terbaik, berwarna merah muda, dan tampak sempurna pun, tak bisa menutupi buruknya kacamata bergagang kawat yang bertengger di hidungnya ataupun rambut ikal coklat keemasan yang basah dan bergulung di atas kepalanya. Kalau saja teman sekamarnya tidak pindah minggu lalu dan membawa pengering rambut beserta separuh biaya hidupnya, setidaknya rambutnya mungkin masih layak dipandang, pikir Amara.
Tidak, anggarannya tidak akan cukup untuk membeli lensa kontak maupun kopi. Ketika ia kehilangan pekerjaan minggu lalu, ia menumpuk persediaan makanan di kulkas, membayar uang sewa, menghitung ongkos total semua keperluan hidup, dan membeli surat kabar setiap hari untuk mencari pekerjaan. Kemewahan seperti latte tidak masuk dalam anggaran itu.
Dengan penuh harap, ditatapnya cangkir hangat mengepul yang diletakkan pelayan. Bahkan cangkir yang setengah kosong pun--yang segera dibereskan--nyaris sebelum pelanggan meninggalkan tempat itu, hari ini tidak tampak buruk bagi Amara. Ia meredam kantuknya dan memindahkan payungnya yang basah kuyup dari satu bahu ke bahu lain. Di dalam toko, dua wanita berpakaian bisnis necis bangkit dari kursi mereka--cangkir mereka masih berasap--dan meninggalkan kopi mereka begitu saja sama ringannya dengan orang yang melempar surat kabar ke meja setelah selesai membacanya.
Tentu saja! Amara berubah cerah. Jika ia menghabiskan sebagian uangnya untuk secangkir kecil kopi biasa dan berlama-lama menghabiskannya, ia bisa memungut surat kabar orang lain secara gratis. Dengan cara itu, ia bukan hanya akan mendapatkan iklan yang diinginkannya, tapi ia juga takkan melewati hari itu dengan merasa seperti sesosok zombie pemburu pekerjaan.
Gelang berbandulnya yang berat bergemerincing, dan tetesan air dingin menciprati pergelangan tangan dan kakinya. Ia menyentak payungnya, menariknya, dan akhirnya berhasil menutup payung malangnya yang bermotif kembang-kembang merah jambu dan biru. Ditatapnya benda menyedihkan yang salah satu jerujinya terlepas dan jeruji lainnya tertekuk sampai empat puluh derajat sehingga walaupun tertutup, benda itu tampak seperti teko teh mungil. Segera setelah ia mendapatkan pekerjaan, payung itu akan dibuangnya, dan benda pertama yang akan dibelinya adalah payung baru, batinnya.
Ia mendorong pintu kaca berat gedung besar itu, lalu melangkahkan kakinya ke pintu masuk kedai. Benda pertama yang akan dibelinya adalah bandul baru untuk gelangnya--untuk menandai peralihan ke fase baru, fase dewasa dari kehidupannya. Digoyangkannya gelangnya dengan yakin dan melaju ke depan, menghamburkan diri ke segerombolan orang bersetelan abu-abu yang berjalan dengan kaki terseret.
Cring.
"Bandulku!" Ia merasa benda kecil itu memantul ke lututnya beberapa saat sebelum membentur lantai. Setelah memeriksa gelangnya, ia sadar telah kehilangan satu dari sepatu bayi perak yang begitu disayanginya. Menggantinya di saat-saat seperti ini bukan sebuah pilihan, pikirnya. Ia harus menemukannya!
Ia memeriksa lantai. Perak mengilat itu seharusnya terlihat mencolok di atas marmer hitam, kan?
Diangkatnya tangannya untuk menggigit kuku jarinya dan tanpa sengaja menikam bukan hanya satu, tapi tiga orang pejalan kaki dengan ujung payung rusaknya.
"Maaf. Maaf sekali. Aku minta maaf." Ia mencoba menatap mata masing-masing orang yang ditusuknya.
Tak seorang pun dari mereka membalas tatapannya. Ia menunduk, merasa tingginya cuma setengah meter. Tentu saja, pikirnya, jika tingginya cuma setengah meter, setidaknya ia mungkin lebih bisa menemukan bandulnya. Ia kehilangan pekerjaannya minggu lalu, lensa kontaknya semalam, dan bandul sepatu bayinya beberapa saat yang lalu, tapi itu tidak berarti ia harus kehilangan selera humor maupun harga dirinya.
"Ya ampun!" Ia terengah saat melihat sebuah benda metal berkilat-kilat hanya beberapa inci dari pintu lift. Mungkin ia tidak harus kehilangan sepatu bayinya. Mengabaikan gerakan kaki dan tekanan tubuh, ia merunduk untuk mendapatkan perhiasan mungil itu, bertekad takkan membiarkan benda itu tersapu ke dalam lift yang sedang terbuka.
Giginya bergetar sewaktu tubuhnya membentur lantai. Jari-jarinya nyeri karena diulurkan semaksimal mungkin untuk meraih benda itu. Nyaris. Nyaris ....
Krek.
"Auw!" Ditariknya tangannya, jari-jarinya terasa sakit. Bandul itu telah menghilang dan pria yang telah menginjak jarinya beserta benda itu berada di dalam lift.
Tergopoh-gopoh berdiri. Amara mendongak tepat pada waktunya untuk melihat seorang pria jangkung berambut hitam dalam setelan mahal dan kemeja putih yang menonjolkan kulit gelapnya, memungut sesuatu yang kecil dan terbuat dari perak.
"Itu bandulku," seru Amara.
Pria itu mendongak dan lurus menatap mata Amara. Jantung gadis itu seakan berhenti. Ini bukan seperti pria yang biasa ia temui di Bomo atau bahkan di aktivitasnya sehari-hari di sekitar Jakarta. Kebanyakan pria yang sering ditemuinya mengenakan pakaian yang mengesankan kekuasaan. Tapi, pria ini memiliki kekuasaan, yang nyata namun canggih, hampir tidak bisa disembunyikan oleh setelan jasnya, seperti juga tubuhnya yang langsing dan berotot.
Bibirnya, pucat dan kokoh, kelihatan seperti mampu mencium gadis sampai pingsan, dan Amara tak memiliki keraguan bahwa kehidupan menyediakan kesempatan yang luas pada pria itu untuk melakukannya. Hidung mancung dan alis tebalnya mempertegas mata cokelatnya yang tajam, yang dibayangkan Amara bisa langsung memancarkan amarah, humor, bahkan gairah yang ada dalam dirinya.
Ia menahan napasnya di tengah udara pagi yang lembab, dalam jas hujan serta topinya.
Pernahkah ia melihat wajah yang begitu menyita perhatian, bahkan di saat pria itu sedang bingung? Pikir Amara. Ya, putusnya setelah melihat sekali lagi. Ia pernah melihatnya--di film larut malam di TV pinjamannya yang berukuran tiga belas inci. Thomas Djorghi, pikirnya. Versi lebih muda dan nyata dari bintang film paling romantis baru saja meremukkan jari-jarinya--dan berlalu dengan membawa serta bandul sepatu bayinya. Amara mengedipkan mata dan kembali ke dunia nyata.
"Hei, kamu! Kamu yang memakai setelan mahal." Ditunjuknya pria itu dengan payungnya. "Kau tidak bisa menyambar sepatu bandulku dan kabur begitu saja."
Orang-orang menoleh.
Amara merasa ia mendengar setidaknya satu ungkapan gusar. Ia menarik jaketnya sampai menutupi kepala dan diam-diam beranjak pergi.
Di bagian belakang lift, pria berwajah Thomas Djorghi itu bahkan tidak berkedip. Ia tersenyum geli, memiringkan kepalanya di antara orang-orang yang berdesakan di dalam ruang persegi kecil itu dan balas berseru, "Itu kecelakaan, Nona. Aku pastikan aku tak menyambar apa pun yang menjadi milikmu dengan sengaja."
Sebuah suara bising kecil yang aneh melengking di belakang tenggorokan Amara. Takkan menyambar apa pun yang menjadi milkmu .... Dasar br***sek, pikirnya. Tentu saja, jika pria itu yang brengsek, mengapa Amara yang malah merasa ingin kabur?
Amara mundur selangkah. Seikal rambutnya yang terkulai layu, basah dan dingin, menempel di pipinya yang terasa panas. Kacamatanya goyah. Penumpang terakhir memasuki lift yang menunggu itu. Si bre****k tampan dan bekas injakannya di jari Amara sudah akan menghilang.
"Aku takkan melupakan ini, kamu tahu. Aku bukan gadis yang akan membiarkan seorang laki-laki--bahkan laki-laki seperti kamu--mengambil ke--" Ia menghentikan dirinya. Pria ini sudah jelas orang penting. Amara perlu menghadapi situasi ini dengan berkelas dan bermartabat. "Aku bukan gadis yang akan membiarkan seorang laki-laki asing mengambil keuntungan dari suatu situasi, lalu pergi begitu saja tanpa mengharapkan pertanggung jawaban."
"Bagus untukmu," timpal pria itu dengan sebuah kedipan yang nyaris tak terlihat. "Sekarang ini kita jarang menemukan seorang gadis yang mati-matian memcari bandulnya."
"Oh! Kamu ...." Kata-kata takkan berhasil mengatasinya. Situasi ini membutuhkan tindakan --- tindakan drastis yang dilakukan dengan segera. Ditusukkannya payung rusaknya ke tengah-tengah pintu lift yang hendak menutup. Sayangnya, seseorang di dalam lift melihatnya dan mendorong keluar ujung payung itu dalam ayunan pelan ke atas sampai payung itu terbuka sendiri dengan segenap kejayaan compang-camping nya. Saat pintu bergulir tertutup di antara dirinya dan bandulnya, Amara cuma bisa berdiri termangu di sana.
#####