Bandung
Hara POV
Sepi, pernah menjadi rumah terbaikku. Tempat paling aman dari semua bising yang begitu mengganggu. Dari semua keindahan yang membuatku iri. Rasanya, aku tak ingin melihat sekitar. Aku hanya ingin melihat ke dalam diriku yang seharusnya juga memiliki keindahan untuk aku syukuri.
Namun, bukan tenang yang kurasakan, melainkan kenangan yang membuatku gamang. Dari yang sedari awal kukira sepi, ternyata selama ini begitu berisik oleh semua kenangan yang mengerang untuk dikenang. Semua ingatan berebut ingin diingat, hingga air di pelupuk mata akhirnya menggenang, bukan untuk jatuh pada seseorang, namu untuk jatuh pada duka yang tak pernah tenang.
Aku mencari cara bagaimana aku bisa mensyukuri luka. Karena degup ini, hanya membawa amarah dan pilu. Rasanya begitu sempit, hingga tak ada celah untuk sekedar merasa bahagia. Apakah sepi memang begitu sering menyesatkan?
***
Jakarta
Mika POV
Di ruang yang kusebut kamar. Jarum jam terus berputar, detik-detiknya memecah sunyi dan sedari tadi seperti berlomba dengan isak tangis. Suaranya terus berbunyi, seolah dia tahu aku yang sedang menangis tanpa henti ini butuh teman untuk meredakan pilu di hati.
Kepalaku penuh, dada sesak, jemari saling genggam kuat tak bergerak, sedangkan mataku menatap tanpa makna dengan sembab. Mencari-cari cara untuk tetap kuat, tetapi selalu kalah dengan sesuatu yang tak patut dipikirkan. Mengharapkan cinta yang hancur kembali utuh di hidup yang sudah berantakan.
Di ruang yang kusebut kamar. Jendela mulai memperlihatkan semesta yang juga sedang menangis. Rintik-rintik hujan perlahan membasahi bumi, dedaunan, lampu taman dan jalanan di depan rumah. Seolah dia ingin menemaniku yang sedang gundah dan patah.
Di ruang yang kusebut kamar, hatiku tumbuh dengan ruang yang kosong, seseorang yang pernah menempati sudah pergi. Tanpa meninggalkan sedikit pun sisa untuk bisa bangkit lagi. Sedangkan air mata terus mengalir di pipi dan aku masih saja berharap yang tak pasti.
Aku tersadar, di ruang yang kusebut kamar, patah hatiku lebih sakit daripada yang aku kira.
Aku memantapkan hati pada pilihanku. Saat itu aku
berada dalam perjalanan ke Bandung. Keberangkatanku bukan tanpa alasan, melainkan karena aku ingin membalas utang budi.
Aku tahu utang budi tak bisa dibalas. Aku hanya ingin hidupku tenteram. Aku hanya menenteng
satu tas sedang berisi baju, aku takut salah alamat.
To: Devan
Devan aku prg dulu ya. See you.
Setelah mengirim pesan singkat itu, aku mematikan ponsel, bersiap dengan penerbangan. Jantungku berdegup cepat, aku cemas ditolak.
Perjalanan menuju Bandung hanya sebentar dan menenangkan hati. Termasuk juga saat berada di
dalam taksi menuju rumah yang akan kukunjungi.
Pernah sekali saat liburan Bunda Hara mengajakku ke situ bersama Adena. Ingatan yang sekali itulah yang menuntunku ke tempat orang yang mau aku temui.
Setelah melongok ke kiri-kanan untuk memastikan jalanan benar, taksi yang aku tumpangi berhenti di depan rumah bertingkat dua. Setelah membayar argo, aku pelan-pelan berjalan menuju pintu rumah tersebut.
Tumben aku menjadi seberani itu, meskipun harus menguatkan hati saat mengetuk pintu. Ya, aku harus menemui Anika, bagaimanapun respons gadis itu.
Pintu terbuka. Aku mundur selangkah, wajahku sedikit terperangah. Penampilan Nenek di depan tak jauh berubah sejak aku terakhir bertemu.
"Mika?" ucap Nenek kaget.
Aku mengangguk sambil berusaha tersenyum. "Lama tidak ketemu nenek," sapaku ramah.
Dari tatapan Nenek, aku tahu, Nenek sudah tahu semuanya. Padahal dulu aku tak menyangka Anika memindahkan Bunda Hara ke rumah sakit di Bandung.
"Masuk, Mika," ajak Nenek.
Aku mengikuti Nenek, kemudian duduk di ruang tamu.
"Sebenarnya aku mau ngomong sama Nenek juga," ucapku, menghentikan langkah Nenek yang hendak membuatkan minuman untukku.
***
Anika POV
Aku menyerah dengan soal-soal ujian semester itu. Aku berhasil menyelesaikan 36 dari 40 soal. Sebenarnya soalnya tidak susah, tapi karena perasaanku sedang tak enak, dia jadi sulit
berkonsentrasi.
Aku terdiam lama. Setelah yakin jawabannya benar, aku berdiri. Tepat saat itu bel berbunyi, tanda ujian selesai.
Aku segera melangkah ke luar kelas dengan membawa tas. Aku sadar aku kuliah disini hanya sampai skripsi selesai. Setelah lulus aku segera mengurus beasiswa S2 yang kuterima dari salah satu universitas di Hamburg.
Aku benar-benar bersyukur pernah menjadi student of the year di Hamburg. Nilai-nilaiku bagus dan membanggakan hingga banyak tawaran dari berbagai kampus.
Aku mengucir rambut pendekku seperti ekor kuda. Wajah putihku memang terlihat menonjol di antara para mahasiswa. Aku tak terlalu memusingkan diriku yang sering dilirik laki-laki di kampus baru. Aku tak terlalu peduli pada berbagai aktivitas teman maupun penilaian mereka terhadap diriku. Aku hanya menjalani hidup secara datar: ke kampus dan menemani Bunda terapi.
Aku berjalan menuju parkiran. Mobilku tidak diparkir di sana. Hanya beberapa mahasiswa yang mengendarai mobil ke kampus, selain dosen, berbeda dengan BINUS yang parkirannya lebih besar daripada lapangan futsal outdoor.
Aku lebih memilih berjalan memutar menuju tempat parkir di dekat gerbang depan daripada menuju jalanan biasa. Di gerbang aku melihat sopir keluargaku parkir. Aku tersenyum kecil saat para mahasiswa memandangku takjub, seolah aku putri yang baru melepaskan diri dari kerajaan dan berbaur dengan rakyat kebanyakan.
Dengan cepat aku membuka pintu mobil dan masuk. Sesungguhnya aku merindukan BINUS, terlebih teman-temanku. Terutama lelaki itu. Aku tak bisa melupakan Jakarta yang membuat hidupku begitu bewarna.
To Be Continued