Bandung
Mika POV
Aku terdiam lama di depan pintu rawat inap bunda. Terlihat bunda duduk bersandar di ranjang, disuapi suster. Aku menceritakan secara utuh semua hal yang terjadi kepada Nenek. Tentu saja Nenek mengerti dan membolehkan dirinya ke rumah sakit menemui Bunda.
Sekarang di depan Bunda, aku nyaris tak percaya bahwa Bunda
benar-benar sadar dari koma yang lama. Nenek juga bilang hari ini Bunda sudah diperbolehkan pulang, untuk itulah Nenek mengajakku menjemput Bunda.
Bunda menyadari kehadiranku, memanggil namaku lemah, "Mi-ka-a..." Aku berlari, memeluk Bunda erat, dan tangisnya pecah seketika.
"Maaf, Bun, maafin Mika," ucapnya parau.
Bunda mengelus punggungku dengan susah payah. Bunda melepas pelukan, aku duduk di kursi di samping ranjang Bunda sambil menggenggam Bunda. "Mika kangen Bun."
Bunda mengangguk, menghapus air mata di pipiku. Aku mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. Ke mana Nenek dan suster?
Namun Aku tak peduli. Aku rindu Bunda Hara karena dari Bundalah aku merasakan kasih sayang dan perlindungan seorang ibu.
Aku menghentikan tangis. "Anika..." ucapnya menggantung,
"Bunda udah tahu kan apa yang terjadi sebenarnya?"
Bunda mengangguk pasrah.
"Aku menyesal pernah mengusir Anika, Bun. aku menyesal karena saat itu aku cuma dengerin kata-kata Tante Ria dan Om Nicky. Anika bener-bener benci sama aku, Bun. Aku nggak tahu harus apa supaya Anika mau maafin aku. Aku tahu itu nggak akan mungkin. Anika bener-bener benci keluarga Hilmar."
Aku menarik napas panjang. Tanganku mengusap lembut pipi ibu tiriku, menyalurkan segala kerinduan dan keinginan yang memperlihatkan penyesalannya.
***
Anika POV
Kata-kata manis yang kamu ucap membuat kakiku tetap berdiri, menjagamu dengan utuh tanpa sadar bahwa malam itu adalah malam terakhir kita menjahit kenangan.
Kubawa diriku menyusuri ingatan, mengingat bagaimana kamu terus-terusan menciptakan kenangan yang manis. Sayangnya, kamu juga pematah hati yang paling miris. Katamu, hanya pergi sebentar, ingin merehatkan bosan dan merebahkan lelah.
Katamu, perjalanan kita masih panjang. Kamu masih ingin menyusuri banyak jalanan kota dan menciptakan banyak cerita denganku tanpa rasa bosan. Tapi, kamu pergi dengan alasan-alasan yang tak bisa kuterima.
Malam itu, perjalanan menyusuri kota, ternyata menempatkan kita pada dua arah. Kamu menyerah sedangkan aku kalah.
***
Langkahku begitu malas dan diseret-seret di sepanjang koridor rumah sakit. Sejak tadi pikirannya terpecah. Perasaanku tidak enak.
Saat melihat Nenek keluar dari ruangan Bunda, entah apa yang membuatku menghindar dan bersembunyi di lorong yang berseberangan dengan lorong yang dilalui Nenek.
Aku tidak bad mood, hanya malas melakukan sesuatu. Itu bukan exam syndrome yang sering menyerang mahasiswa pada masa ujian. Tapi aku bawaannya ingin marah-marah saja, tidak tahu pada siapa. Semacam merindukan seseorang.
Tanpa sadar aku sampai di depan pintu ruangan Bunda. Aku membuka pintu. Mungkin dengan bertemu Bunda, perasaanku menjadi lebih baik.
Dari celah pintu, aku melihat jelas Mika.
Sakit hatiku mengentak-entak, meminta pertanggungjawaban.
Aku ingin menjambak dan menyeret gadis itu jauh-jauh dari Bunda.
Nyatanya, aku tetap berdiri di tempat, berdiam, dan mendengarkan percakapan yang terjadi di dalam. Tubuhku merinding, menahan emosi.
"Aku benar-benar membenci keluarga Hilmar."
Aku menahan napas saat melihat Mika memeluk Bunda.
Aku sakit hati karena Bunda membalas pelukan Mika. Seharusnya Bunda mengusir Mika, sama seperti diriku.
Entah kenapa aku merasa didepak sekali lagi.
Aku pernah memiliki perasaan seperti tu. Setelah pernikahan Bunda dengan Papanya Mika, Bunda mulai membagi perhatian kepada Mika. Saat itu aku hanya diam dan mengatakan bahwa itu wajar saja karena kami jadi saudara.
Tapi saat melihat Mika terluka dan Bunda menjadi panik,
Aku tak bisa tidak cemburu karena Bunda tak pernah secemas itu saat diriku luka. Aku kecewa, apalagi saat Bunda setuju-setuju saja waktu Papa ingin memindahkanku ke Hamburg saat aku tamat SMA. Bunda girang menerima hal itu, tanpa tahu perasaanku yang sebenarnya.
Betapa kecewanya aku karena Bunda tak menahan kepergianku. Dia tak tahu apakah itu cara Papa mendepakku ke luar dari keluarga Hilmar atau cara mendekatkan Mika dengan Bunda. Yang pasti aku merasa dibuang.
Astaga...
Aku menyadari kebencianku kepada Mika tumbuh saat pertama kali kami menjadi saudara. Aku mengintip ke dalam, melihat Bunda tenang mendengarkan cerita Mika.
"Bunda tahu kan saat itu aku nggak bisa ngapa-ngapain? Bun, bantu aku supaya Anika balik lagi kayak dulu. Aku kehilangan Anika."
Cih. Aku ingin muntah mendengar gombalan Mika, muak dengan Mika serta keluarga Hilmar yang lain.
Aku membenci Mika. Sungguh.
"Aku rindu sama Bunda."
Brakkk...
Aku membuka pintu kamar dengan mengempaskannya, berdiri dengan tubuh bergetar, menahan amarah. Bunda dan Mika tampak terkejut atas tindakanku. Mika spontan berdiri dan tubuhnya kaku saat berhadapan denganku.
Kilatan mata tajamku masih sama seperti dulu.
"Itu bukan bundamu, itu bundaku," ucapku lantang dan keras. Aku berjalan cepat mendekati Mika dan berdiri tepat berhadapan. Tatapanku seakan mengepung Mika, dingin dan meremehkan. Tatapan yang ingin mendepak Mika ke luar dari ruangan itu. "Lebih baik kamu pergi dari sini! Nggak ada tempat yang tersisa untukmu, sampah!" hardikku.
"Anika..."
Aku melirik Bunda yang menyebut namaku lemah. Tapi aku tak peduli, hanya memikirkan amarah yang memuncak. Aku benci mendapati Mika di situ, apalagi berada di dekat Bunda.
Mika mencoba meraih tanganku dengan lembut. "An, aku minta maaf."
Aku menepis kasar tangan Mika yang mencoba menggenggam tanganku. Jangan harap aku bisa disogok semudah itu. Sekalipun dunia sudah memaafkan keluarga Hilmar, aku tak akan memaafkannya.
"Pergi sana!" usirku. Hatiku pilu.
Mika diam, menunduk dalam-dalam saat aku terus mencercanya. Aku mengusap-usap tangan sendiri agar jangan sampai menampar Mika. Tak bisakah Mika membiarkan hidupku tenang?
"Bunda nggak pernah perhatiin aku. Bahkan setelah aku berhasil membuat semuanya kembali baik, Bunda lebih belain keluarga dia," ucapku, beranjak meninggalkan ruangan tersebut.
Aku menatap Mika, kembali memaki tajam. "Seharusnya aku memang bikin kamu mati aja."
Begitu keluar dari kamar Bunda, air mataku tumpah. Aku membiarkan kepedihan mengalir bebas ke luar.
To Be Continued