Wardana's House
Lukas POV
"Bibit, bebet, bobot memang terdengar kuno dan klise. Namun orang tua zaman dulu memliki prinsip seperti itu bukannya asal-asalan. Bukan untuk main-main. Bukan sekedar ucapan, melainkan untuk tujuan yang bermakna. Untuk meneruskan keturunan-keturunan mereka dengan generasi yang lebih baik dan berbobot. Paham?"
Di pagi yang begitu terang oleh sinar matahari, suara Mommy Anita terdengar begitu tegas dan dalam. Sambil menambahkan madu ke dalam cangkir teh hangatnya, Mommy terus menumpahkan segala nasihat tanpa menatap wajahku yang tertunduk dalam, menatap piring berisi omlete.
"Filosofi bibit, bebet dan bobot tidak terbentuk begitu saja. Filosofi itu merupakan perpaduan dari berbagai kepercayaan dan mengandung nilai kehidupan yang tinggi. Mommy sangat percaya, seseorang yang berasal dari akar yang baik akan menghasilkan keturunan-keturunan yang baik." Mommy berhenti sejenak untuk menarik napas lalu melanjutkan. "Mommy sangat menjaga itu. Karena keluarga Mommy turun-temurun telah mengajarkan itu. Seharusnya kamu paham. Bukankah Mommy sudah sering menanamkan nilai-nilai ini kepadamu dan kakakmu?"
Dalam hati aku sangat menyetujui pendapat Mommy. Tak ada secuil pun alasan untuk tidak sependapat dengan Mommy Anita. Hanya saja...
"Usiamu sudah dua puluh lima tahun. Sudah waktunya untuk menjalin hubungan dengan perempuan yang pantas dijadikan istri. Bukan dengan model amatiran seperti dia." Aku tahu persis siapa model amatir yang dimaksud oleh Mommy.
"Kamu harus realistis!" Mommy melanjutkan ceramahnya yang sudah kuhafal karena sudah sering diulang-ulang. "Manusia terlahir dengan derajatnya masing-masing. Kamu sebagai laki-laki keturunan keluarga Wardana, sudah seharusnya mencari pasangan dengan derajat yang menimal setara. Tidak seperti yang sekarang. Bukan hanya karakter dan perilakunya yang membuatnya tidak pantas untuk dijadikan calon istri. Status sosial kalian pun tidak setara. Apa kamu tidak melihat pengalaman kakak-kakakmu? Jhonny dan Rangga adalah korban dari wanita kampungan bernama Gwen itu, Keluarga itu bukan hanya tidak bisa bertanggung jawab. Tidak jelas tujuan hidupnya."
Hal lain yang aku ingat, Mommy tidak pernah memberikan komentar positif tentang pacar-pacar kami. Semua perempuan yang dekat dengan Jhonny, Rangga dan aku selalu salah di mata Mommy.
Barangkali pasangan yang baik menurut Mommy adalah yang seperti Papa.
"Sampai kapan pun, Mommy tidak akan pernah merestui hubungan kalian!"
Meskipun aku bukan tipe pemberontak seperti Rangga, tapi aku tidak menuruti perintah Mommy dan tetap melanjutkan hubunganku dengan Ruby. Karena aku merasa nyaman setiap kali bersama dengannya.
***
Kampus
Anika POV
Ada yang berbeda antara hari itu dan kemarin. Aku menyadari betul perubahan itu. Aku lebih memilih diam daripada bicara, aku lebih banyak menghela napas daripada menghirup udara segar. Terjadinya setelah kami pulang ke rumah masing-masing dari Puncak.
Aku tahu penyebab duniaku terbalik seperti itu. Tidak, duniaku tak terbalik, hanya kembali seperti dulu. Saat hanya ada aku dengan kesendiriannya, saat aku merasa tak membutuhkan siapa pun di dunia.
Sebetulnya Aku menyukai kebersamaan sehingga saat aku memilih menyendiri, kekosongan begitu terasa. Aku sudah tak sama lagi. Aku menghindari acara bersama Satya, Rangga, Devan, Lukas, dan Ruby. Alasannya? Tentu saja karena ada Tina di antara mereka.
Aku menghindar. Aku selalu punya alasan untuk tak bepergian bersama atau sekadar berkumpul.
Lihat saja bagaimana saat istirahat aku menyibukkan diri di perpustakaan. Dia tak menggubris pertanyaan Ruby yang semakin hari semakin bingung. Kalaupun menjawab, paling hanya berupa gelengan atau berkata "tidak".
Sesungguhnya aku tak mengerti kenapa diriku menjadi aneh seperti itu. Aku kesal. Tidak. Tepatnya aku sakit hati. Aku sakit hati karena Satya menjadikanku pelampiasan. Sakit hati karena aku tidak diperlakukan adil. Ujung-ujungnya aku hanya mampu menyalahkan diri sendiri yang dengan sukarela jatuh sedalam itu.
Seharusnya aku tak usah jatuh cinta. Cinta itu bullshit! Cinta hanya omong kosong yang membuat hati terluka. Begitulah kesimpulanku saat itu.
Ya, aku memang baru sekali itu jatuh cinta. Dulu saat mendengar cerita Mika tentang cinta pertamanya, diam-diam dia aku. Aku juga ingin merasakan kebahagiaan yang Mika miliki. Bagaimana perasaan melambung, jantung berdegup kencang, kemudian bersemburat merah saat berdekatan dengan si penawar hati. Oh!
Aku mencibir, menyesal karena hanya memikirkan yang indah-indah soal cinta. Memang kebahagiaan yang dibawa cinta melebihi apa pun, tapi sakit karena tamparannya juga melampaui apa pun.
Kini aku tak tahu harus melakukan apa. Setiap hari aku menghabiskan waktu dengan buku dan Om Sultan, mempelajari detail perusahaan.
Aku menutup buku Replika dengan gusar saat bel berbunyi. Aku enggan balik ke kelas. Jika ada pilihan, aku ingin berlari sekencang mungkin dan tidak kembali.
Tapi aku tahu, diriku bukan pecundang yang hanya bisa bersembunyi.
To Be Continued