Ruby POV
Devan: Aku tunggu di bawah.
Aku membaca pesan itu ketika jam di meja belajar menunjukkan pukul 16.30, di saat aku sudah keseratus kalinya berdoa agar Devan tiba-tiba sakit dan tidak jadi mengajakku keluar. Tapi, setelah dipikir-pikir, aku tidak bisa menghindar. Setidaknya untuk kali ini. Besok dan setelahnya baru aku akan memikirkan bagaimana agar tidak bertemu dengannya lagi.
Aku melangkah berat ke arah lemari, bermaksud mengambil jaket kulit. Tepat saat itu Mbak Gwen datang dari kampus, pasti setelah ini kakakku akan lanjut bekerja di toko.
"Kamu jadi pergi dengan Devan?" tanyanya penuh selidik, aku yakin dia sudah melihat Devan dibawah.
"Hanya ngopi," sahutku sambil memakai sepatu.
"Ya, semuanya juga berawal dari kopi atau makan siang."
"Tidak dengan Devan," aku membantah.
"Jangan sok jago. Sudah mbak peringatkan kamu untuk berhati-hati." Mbak Gwen memang tidak suka kalah berdebat.
"Tenang saja." Aku bangkit berdiri. "Aku bisa menangani yang satu ini."
"Oh ya, semoga saja," sahutnya skeptis. "Mbak akan usir kamu pulang ke Surabaya kalau kali ini dia menidurimu sama seperti Lukas."
Aku melongo tak percaya, tapi aku senang dia mengkhawatirkanku.
"Pokoknya hati-hati," ulangnya sambil berkacak pinggang. "Telepon jika ada sesuatu tak menyenangkan. Atau jika dia memaksamu minum hingga mabuk. Akan kusiram dia dengan seember bir."
Aku membungkuk dalam seperti orang Korea. "Baik, Madam Gwenia."
Mbak Gwen memukul punggungku pelan, tak tertawa, lalu mendorongku keluar sambil cemberut. "Ingat, telepon aku!"
Aku memberikannya senyuman hangat. "Sampai nanti."
"Jaga dirimu."
Aku menunggu sampai Mbak Gwen menutup pintu, lalu setengah berlari menuruni tangga. Sampai di bawah, aku langsung mencari-cari keberadaan Devan. Tapi aku tidak bisa menemukannya.
Aku mulai gelisah. Dia tidak mungkin mengerjaiku, kan? Pada pertemuan pertama? Yang benar saja!
Tiin! Tiin!
Bunyi klakson membelah kesunyian halaman depan kosaan. Aku memandang ke depan gerbang, melihat motor sport hitam terparkir angkuh bersama pengemudi berbahasa tubuh arogan. Kepala pengemudi itu menghadap ke arahku, meski aku tidak tahu ke mana dia melihat karena tertutup helm. Aku menoleh ke kanan dan kiri, tapi tak ada orang lain di sana.
Tiin! Pengemudi itu mengklakson sekali lagi, lalu melepaskan helmnya.
Sial, itu Devan.
Aku berjalan cepat ke arahnya, bersyukur tadi memilih jaket kulit hitam dan bukannya rok, atau aku akan konyol duduk di atas kendaraan maskulin pemuda itu.
"Kamu hampir membuatku diamuk orang-orang di sini jika harus membunyikan klakson sekali lagi," katanya.
"Aku tidak mengenalimu Ka," jawabku jujur. "Kakak tidak bilang akan datang sebagai pangeran bertopeng."
"Aku tahu kau sedang menyindir," timpalnya.
"Tepat sekali." Aku tersenyum miring.
"Sorry aku mengubah rencana, kau jadi tidak bisa berfoto dulu hari ini. Ada sesuatu mendadak yang harus kuurus tadi."
"Tidak masalah. Jadi, ke kafe mana kita sore ini."
"Tidak jauh kok. Dan kurasa kau akan menyukainya."
Devan menyodorkan helm untukku. Ketika menatap benda itu aku teringat salah satu sahabatku yang mempunyai motor sejenis milik Devan. Sensasi berada di atas kendaraan besar itu, dengan kecepatan tinggi membelah jalanan Jakarta di sore hari, masih jelas di benakku. Momen menyenangkan yang kini tinggal kenangan.
Aku naik ke jok belakang, memantapkan pijakan pada kedua sisi motor, lalu menurunkan kaca depan helmku.
"Kamu boleh memelukku." Devan memasukkan persneling.
Aku menurut. Bukan karena aku mudah kalah pada rayuannya, tapi aku tahu posisi itu yang paling aman dan nyaman untuk jenis motor besar seperti ini.
Adrenalinku menderu ketika Devan mengegas sedikit. Tak pernah terlintas di bayanganku akan berkeliaran di cuaca yang dingin dengan kendaraan seterbuka ini.
"Siap?"
Aku mengangguk pelan di belakang punggungnya yang terasa hangat.
Kami pun membelah jalanan yang tak terlalu ramai, melewati jejeran toko yang lampunya menyala. Mereka berubah menjadi garis-garis cahaya abstrak yang indah ketika Devan menambah kecepatan. Orang-orang yangn masih lalu-lalang seolah siluet kabur yang menyatu dengan bias warna-warni. Detak bunyi motor dan angin yang menampar-nampar.
Di kepalaku terputar lagu kesukaan sahabatku. Dulu kami sering menyanyikan lagu itu sama-sama sambil berkendara. Kenangan yang tiba-tiba membuatku rindu pulang.
To Be Continued