Bali
Tak ada yang banyak berubah sejak kejadian sore itu. Malamnya,
lima sekawan itu makan bersama di resort dekat pantai merayakan ulang tahun putri bungsu keluarga Wardana, Adara Aryani Wardana. Anika dan Satya lebih banyak diam. Sama seperti sebelumnya, mengingkari apa yang telah terjadi. Padahal langit dan angin tak bisa lagi mereka bohongi.
Namun, Dara-adik Satya menangkap ada yang berbeda. Anika dengan
cepat menyambar kursi di sebelahnya dan Satya hampir beradu
mulut dengan Devan karena ingin duduk di sebelah Anika. Oh baiklah,
Devan memilih duduk di sana karena di depannya terlihat jelas view
tepi pantai. Namun Devan? Apa yang membuatnya ngotot sekali ingin duduk di sana?
"Duduk di sembarang tempat juga sama aja kali, Dev," cetus Satya
saat Devan belum juga mau mengalah.
"Kau kalau mau dekat Anika bilang aja," sungut Devan. Dia
kesal karena Satya seenaknya mengambil tempatnya, padahal sudah
menjelaskan panjang lebar dalam perjalanan ke sini. "Awas
aja kalau ada yang berani ngambil tempat yang view-nya langsung
ke pantai. Janji?"
Mereka mengangguk. Devan bisa mengingat jelas itu semua.
Lukas dan Dara terbahak-bahak.
***
Wardana's House
Anika duduk di samping Om Sultan, di depan Satya. Baru saja dia
ingin menyantap roti selai kacang yang dibuatkan Bi Yuni, Om Sultan
membisikinya sesuatu yang mampu membuat Yuni melupakan
rasa laparnya.
Apa? Gadis itu tegang.
Satya terus menyantap sarapan.
Pandangan Anika yang berubah mengeras saat mendengar
bisikan Om Sultan membuat Satya penasaran. Dia tahu, banyak rahasia
yang disembunyikan Om Sultan dan Anika.
Anika berdeham pelan saat melihat pandangan Satya yang menuntut penjelasan.
"Om, boleh nanti malam aku liat laporan..." Ucapan Anika
menggantung, melirik Satya.
Om Sultan mengangguk. "Jangan buru-buru," ucapnya, lalu
meminum latte hangatnya pelan, "kalau kamu masih terbawa
emosi, semua yang sudah terencana akan berantakan."
Anika menelan ludah saat dapat nasihat pagi dari Om Sultan.
"Lalu?"
"Kamu pikirkan caranya bisa menang tanpa main belakang, di
meja perjudian itu," ucap Om Sultan lantang.
Anika menganga.
Begitu menyelesaikan sarapan, Om Sultan berdiri, mengelus
puncak kepala Anika. "Kamu tahu kan, Om akan membantumu,
bagaimanapun kondisimu. Jadi jangan gegabah."
Gadis itu hanya terdiam, melihat punggung Om Sultan yang
berjalan menjauh. Tatapannya kosong. Benar. Dia tak boleh lagi
terbawa emosi.
Satua yang tak tahu apa-apa hanya memilih diam. Termasuk saat
melihat Anika menghela napas berat, seperti ada sesuatu yang
perlu diselesaikan gadis itu dalam waktu dekat.
Entahlah, biarkan Anika mengurusnya sendiri. Dia yakin Anika
tahu apa yang akan dia lakukan.
***
Kampus
"Kamu sedang tidak punya selera humor ya, Anika?" ucap Devan yang jengah karena sejak tadi Anika hanya diam, seperti memikirkan sesuatu.
Anika memutar bola mata, melempar pandangan aneh kepada
Devan. "Sejak kapan aku punya selera humor?" balasnya sengit.
Devan kesal sendiri. Kalau saja Satya tak menitip gadis itu kepadanya
karena ada keperluan lomba basket, dia akan langsung ke Harry Potter Society atau berdiri di lapangan untuk memberikan orientasi kepada mahasiswa baru.
Devan berhenti saat mendapati Anika tak ada di sampingnya. Dia
menoleh ke belakang dan mendapati gadis itu berhenti berjalan,
hanya memandang lurus ke depan.
"Anika, ayo!" ajak Devan dari tempatnya berdiri.
Anika melirik Devan. Sepertinya aku harus melancarkan aksi lebih
awal...
Anika berjalan tenang. Saat melewati Devan, gadis itu berkata,
"Aku mau pipis. Kamu langsung ke ruang BEM aja."
Devan mengerutkan kening. "Tapi Satya menyuruhku antar kamu
sampai kelas."
Anika mendelik. "Halooo? Aku bukan anak kecil lagi atau kamu mau
ikut aku ke toilet?" Wajahnya berubah keras, kemudian berjalan
menjauhi Devan.
Devan mengacak rambut, kewalahan menghadapi sikap Anika yang
berubah-ubah.
***
Anika memasuki toilet dengan tenang. Dirapikan rambutnya di
depan kaca. Ia menahan napas, melihat toilet yang hanya satu
dan tertutup. Tak beberapa lama kemudian, pintu itu berdecit
terbuka.
"Kamu..," ucap gadis yang baru keluar itu tertahan, langsung
berhenti, menahan emosi. "Kenapa kamu di sini?!" ucapnya lantang.
Suaranya bergetar hebat.
Bukan itu saja. Anika menangkap tubuh orang tersebut juga
bergetar. Anika menunduk dalam.
Gadis itu langsung mencekal tangan Anika, membuat Anika
hampir menjerit karena kesakitan. "Jangan sampai ada yang tahu
tentang kita. Aku... aku sangat membencimu, Anika!" desisnya tajam.
Lalu ia pun pergi dari hadapan Anika.
Anika mengangkat tangan yang dicekal tadi. Senyuman yang
sulit diartikan tergambar di wajah manisnya.
Anika menatap lagi tangannya, geram. Permainan ini dimulai.
Dia masih bisa mengingat isi pesan Om Sultan beberapa waktu
lalu.
Sender: Om Sultan
Elisa's coming soon.
Pesan yang bisa membangkitkan Anika dari keterpurukannya
selama itu.
Pembawa sial.
Kita akan lihat, siapa yang akan mengalami lebih banyak kesialan.
To Be Continued