Evelyn memegangi botol kaca mini dengan bunga dandelion di dalamnya. Sudah hampir empat bulan ini ia mendapati berbagai macam aksesoris dari bunga tersebut. Dan sampai sekarangpun, tidak ada yang pernah tau siapa pelakunya. Sampai akhirnya, Evelyn berinisiatif untuk menemukan si pelaku tersebut. Dan saat ini, Evelyn menduga bahwa ada dua orang dikelasnya yang kemungkinan adalah pelaku teror dandelions tersebut. Siapa lagi jika bukan Zellio dan Arisham. Dugaan Evelyn bukan tanpa alasan. Dia hanya melihat kemungkinan kemungkinan saja. Pertama, Arisham. Dia memiliki toko bunga. Kedua, Zellio yang memiliki hobi mengoleksi bunga. Termasuk bunga Dandelion.
Evelyn menata rak bukunya seraya bersenandung. Dia menyusun rapih buku-buku koleksinya. Tidak hanya itu, ia juga menata ulang meja belajarnya, menaruh beberapa miniatur kartun, dan hiasan dari bunga Dandelion di samping kotak pensil.
Merasa sudah selesai, Evelyn kemudian duduk di bangku meja belajarnya. Menatap setiap benda yang berada di atasnya. Hingga mata Evelyn, terhenti pada hiasan bunga dandelion yang dilapisi resin berbentuk balok.
Tangannya bergerak pelan, mengambil benda itu, lalu menatapnya lama. Kemudian, tatapannya beralih kantung kecil yang berada di atas rak buku.
Entah sejak kapan, Evelyn memiliki ide untuk mengoleksi aksesoris dari bunga dandelion tersebut. Padahal awalnya, Evelyn tidak berniat untuk melakukan itu. Tapi entah kenapa, rasanya sayang jika benda itu terbuang sia-sia. Apalagi benda indah dan secantik itu.
Evelyn membolak-balikkan bunganya seraya berfikir. "Sebenernya siapa sih? Kenapa terus kasih gue bunga ini?" Gumam Evelyn di sela-sela fikiran nya.
"Apa mungkin Aris? Dia kan punya toko bunga. Apa mungkin gue tanya aja besok ya?" Tanya nya pada diri sendiri.
"Baiklah, besok gue tanya. Semoga aja gue ketemu jawabannya." Setelah berkata itu, Evelyn menaruh kembali bunganya di atas meja, meletakkan nya di posisi semula.
Baru setelahnya, ia berjalan ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya yang lengket karena aktivitas bersih-bersih nya tadi yang menguras keringat.
***
Dua orang pemuda berjalan memasuki gerbang. Melewati sekumpulan wanita yang duduk di depan kelas, menyapa dan tersenyum. Sontak itu membuat suara bising di seluruh penjuru koridor.
Lalu di perjalanan menuju kelas. Dua orang pemuda itu disambut ramah oleh beberapa murid, baik adik kelas maupun kaka kelas yang melihatnya. Beberapa staf sekolah juga ikut menyapanya.
Selalu saja mereka mendapat sambutan hangat, sapaan ceria, tatapan halus dari orang-orang disekitarnya. Karena pastinya, mereka bukan orang sembarangan. Mereka adalah Phoenix. Club basket sekolah yang baru-baru ini sedang naik daun karena kehadirannya dalam ajang olimpiade dan berhasil memenangkan nya dengan hasil telak.
Sudah memasuki kelas, mereka langsung bergabung dengan pemuda lainnya. Pemuda yang berjalan di depan langsung duduk, menyambut tangan siswa lainnya dan membuka topik.
"Gimana kalian?" tanya pemuda bertopi yang duduk dekat jendela.
"Gue kira, E.T.B bakal sesuai sama ekspektasi gue. Nyatanya, mereka cuma tergantung sama satu orang aja." Balas pemuda bermata hitam lekat itu dengan senyum ringan.
"Btw, union itu rival abadinya INF sih. Baru kali ini kita bisa kalahin Union." Timpal lainnya.
"Eunoia in The Box bego, bukan Union." Pemuda bermata hitam itu tertawa kecil. Lalu disambung dengan dua temannya, Kanova dan Arisham, yang ikut tersenyum.
Nama pemuda bermata hitam lekat itu Zellio. Biasa di panggil Lio. Merupakan ketua tim basket sekolah, Phoenix.
Namanya meninggi setelah berhasil memenangkan Infinity Cup 7th, melawan E.T.B yang merupakan tiga sekawan dari Infinity dan Outlaws. Sudah tiga tahun berturut-turut ini Phoenix tidak masuk babak final. Mereka pasti akan dikalahkan oleh E.T.B sebelum babak final. Padahal, skills dari setiap anggota sudah mumpuni dan sangat baik. Namun itu tidak menutupi bahwa E.T.B jauh lebih baik dari Phoenix.
Selain Lio, dua temannya juga ikut serta dalam pencapaian Phoenix. Yaitu Aris dan Kanova. Mereka bertiga, bisa dibilang anak emasnya Bhakti Nusa. Karena sudah beberapa waktu ini, mereka dan club basketnya sering menjuarai perlombaan.
Namun sayang, Aris mengalami cidera bahu saat di pertengahan pertandingan. Jadi, untuk sementara dia tidak bisa ikut bertanding di babak selanjutnya melawan Outlaws.
Pemuda bertopi itu menepuk bahu Zellio yang duduk didepannya. Membuat sang empu menoleh ke belakang.
"Aris gimana Yo?" Tanya nya dengan raut serius. Sontak para pemuda yang tengah berkumpul itu tiba-tiba menyepi.
Zellio menghela nafas, "Sejauh ini si baik-baik aja." Balasnya. Membuat para pemuda lainnya merasa lega.
"Rencananya. Gue sama Kano mau jenguk dia sih. Kalian ikut?!" Tawar Zellio pada mereka.
"Ikutlah!"
"Oke!"
"Gas!
Sahutan dari beberapa pemuda membuat Zellio tersenyum tipis, pun dengan Kanova.
"Nah gitu dong! Baru anak Phoenix." Ucap Zellio seraya tos pada mereka.
Sedangkan di kelas lain.
Dua orang gadis tengah mengikuti kegiatan belajar mengajar. Yang kanan fokus menulis, sedang satunya tengah bergumam sendiri dengan raut gelisah.
"Rania! Minggu depan gimana? Aura sakit, Nadia juga. Mereka kan sayap emas kita!" Ujar seorang gadis dengan raut gelisah itu pada gadis lainnya yang duduk disampingnya.
"Udah deh Ev. Mending lo ikutan nulis aja deh!" Sahut gadis yang dipanggil Rania tersebut. Ia kesal karena sikap satu sahabatnya ini yang kadang terbilang over dalam menanggapi suatu hal.
"Tapi Ran ... "
"Lama-lama gue jepit juga nih pake catok rambut!" Celetuk Rania yang langsung membuat raut gadis itu berubah menjadi masam.
"Tenangin diri lo. Oke?" Sambungnya lagi.
Lalu, gadis itupun menurut. Rautnya pun kembali berubah seperti biasanya. Kini, ia menarik nafas dam membuangnya pelan. Mencoba untuk menenangkan diri.
"Kalo mau lebih tenang. Terjun aja dari lantai 3. Gue jamin lu tenang dunia akherat Ev." Celetuk Rania kembali.
Membuat gadis itu mendelik seraya menggelengkan kepalanya keras. Ia lalu memandang Rania dengan wajah setengah kesal seraya berkata, "Nanti gue mati dong!" Ucapnya
"Baguslah. Makin berkurang orang bodohnya."
Sontak gadis itu memukul bahu Rania. Membuat sang empunya meringis seraya terkekeh geli melihat tingkah sahabatnya yang lucu ini.
"Raniaaaaaaa!"
"Iya Evelyn sayangku." Mendengar itu, gadis yang dipanggil Evelyn itu menatap jiji Rania. Tubuhnya menjauh dengan tatapan yang sangat menggemaskan. Membuat Rania semakin terkekeh melihatnya.
"Makanya nulis. Biar ga bodoh." Celetuk Rania yang kembali membuat Evelyn kesal. Ia langsung saja menyenggol pulpen Rania, membuat tinta nya melewati garis buku.
"Diem coba. Gue gamau berantem sama orang bodoh."
"Rania!" Pekik Evelyn cukup keras. Membuat seisi kelas menatap mereka berdua. Pun dengan Bu Aryani yang tengah mengajar.
"Evelyn! Rania! Apa yang sedang kalian lakukan?!" Sentak Bu Aryani tegas dengan suara lantang. Membuat Evelyn dan Rania seketika terdiam. Ditambah lagi dengan tatapan anak-anak lainnya yang cukup meresahkan.
"Ma-maaf Bu." Evelyn menundukkan kepala seraya meminta maaf.
"Kalo kalian masih saja bergurau! Ibu akan suruh kalian buat belajar diluar! Jangan masuk pelajaran ibu."
Suasana kelas hening.
Bu Aryani yang melihat mereka hanya bisa menghela nafas. Ia lalu melanjutkan lagi materinya.
Sedangkan Evelyn, menyenggol lengan Rania seraya berbisik pelan. "Lo sih," ucapnya.
"Nulis ga?!" sentak Rania dengan tegas. Membuat Evelyn mengkerucutkan bibirnya ke depan.
Rania hanya bisa tersenyum tipis melihat Evelyn yang kadang menyebalkan dengan sikap over reaction itu. Tapi mau bagaimana lagi, itu sahabat dia.