Ranendra Bian Alfanrez, seorang pria mungil dengan kelebihan parasnya yang nyaris sempurna. Siapa yang sanggup menolak untuk tak bertekuk lutut? Sederhana saja, jika ingin di tanggapi beri dia segepok uang. Katakan saja dia sudah mulai tak berminat untuk main hati, jiwa yang terlanjur kosong, bahkan membuatnya tak sedikit pun menjaga diri. Lagipula, apa gunanya? Bukankah tubuhnya sudah rusak sejak awal? Salahkan Sean Nathaniel Rezgaf yang tak bisa membalas cintanya. Pria yang tak lain adalah sahabat semasa SMA nya, yang akhirnya menjauh karena pengakuan cintanya. Sampai menarik mundur jarak keduanya yang begitu jelas, Nathan pergi tanpa pamit. 8 tahun nyaris terhitung, perlukah selama itu Nathan membuangnya? Bahkan rasanya terlampau menyakitkan saat pria itu memperlakukannya seperti orang asing. Belum lagi harus tertampar kenyataan saat Nathan kembali dengan membawa gadis cantik yang memanggil, Daddy? Rindu, canggung, amarah, dan jantungnya yang masih berdebar kencang menunjukkan perasaan Bian yang tetap sama. Ia yang masih cinta. Perlukah Bian menunjukkan cintanya terang-terangan, lagi? Atau hatinya yang lagi-lagi di lukai membuatnya menyerah saat di waktu bersamaan Alex- bocah SMA yang terus menguntit? Lantas bagaimana jika skenario di rancang untuknya bisa menyusup ke dalam kehidupan Nathan? Apakah gairah binalnya masih bisa di tahan saat semakin gencarnya Nathan menyeruakkan kejantanan dihadapannya?
Musik di putar dengan begitu kencang, mengiringi liukan tubuh yang menggila di lantai dansa. Lampu warna-warni yang menyorot dan saling berbentur menambah latar menjadi semakin erotis di balik dominasi temaram.
Kesadaran mulai meninggalkan, saat semakin banyaknya kadar alkohol yang berlomba-lomba di tenggak gila-gilaan. Banyak yang mengambil kesempatan, terlebih pria hidung belang yang telah mengincar wanita dengan keindahan tubuh menonjol yang gencar di pamerkan.
Tak ada batas yang bisa mendapatkan pandangan mengecam, semua bertindak sesuka hati. Berciuman dengan orang asing, menggerayah tubuh tanpa seizin, atau bahkan bergumul di atas sofa eksklusif yang telah di pesan. Saling menggila dengan pencapaian kepuasan yang menderu untuk di raih, sama sekali tak ingin merugi.
Aroma parfum saling mengaduk menjadi satu, asap rokok, pekat alkohol atau bahkan keringat yang membasahi tubuh.
Namun di balik kemeriahan mewah yang serentak di kejar oleh orang-orang itu, satu sosok menjadi sorotan pandang penuh protes hanya karena tegukan kesekian yang sekaligus tertelan. Tak…. Membanting gelas kecil yang telah kosong kembali ke tatakan, menganga lebar dengan desah kelegaan, yang membuat pria di hadapannya merasa benar-benar geram.
"Setidaknya kalau miskin itu sadar diri, jangan terus menghabiskan waktu di sini. Lebih baik banting tulang sana, cari kerjaan lebih banyak."
"Kejam sekali kata-kata mu, ini adalah tempat umum. Semua mencari kebahagian di surga dunia ini, bagaimana bisa kau membatasi ku yang menginginkan hal sama seperti mereka ini, eh? Orang miskin hanya di perkenankan untuk menderita, begitu?" sahut pria mungil yang duduk di kursi tinggi pada meja bar. Rautnya bahkan sudah mulai lesu dengan kernyitan pesakitan sekedar menelan ludah. Panas, kerongkongannya seperti terbakar.
Kelopak matanya terlihat mendesak untuk terpejam, bahkan kepalanya terus saja bergoyang, bukan untuk mengikuti irama distorsi dengan tempo yang makin cepat. Salah satu yang mulai terpengaruh efek buruk alkohol, topangannya bahkan sudah seperti tak mampu lagi untuk bertahan, jika bukan karena pria berseragam yang bantu menyangga dahi sebelum sempat terantuk jatuh menghantam meja.
"Hihihii..."
Kemudian hanya ringisan senyum bodoh yang di balaskan sebagai ucapan terimakasih. Meski pun begitu tak menyurutkan niatan pria yang ahli meracik minuman itu dalam menasehati manusia berotak batu.
Brakk
Menggebrak meja, kemudian wajahnya di majukan hingga membuat pria mungil itu sontak menghindar dengan netra bulatnya yang makin menyipit. Satu alis terangkat, seolah masih saja mempertanyakan nasehat rutinan dari pembicaraan mereka.
Menepuk dahi, kemudian menggeram dengan desakan mengambil jalan kekerasan pada pria bertubuh mungil itu. Ya, ia masih punya hati untuk tak mendaratkan kepalan tangan besarnya pada wajah seolah polos tanpa dosa dengan kedipan cepat mengarah padanya.
"Ya, memang yang kau datangi ini adalah surga, tapi kau membuat kemeriahan ini menjadi neraka untuk ku. Sungguh, kau mau aku di pecat dari kerjaan ku karena terus mentolerir mu seperti ini? Demi apa pun, ini bukan warteg di mana kau bisa berhutang sesuka hati. Bangsat! Aku juga hanya budak di sini." omel sang pekerja dengan nada tinggi yang sekaligus di keraskan untuk menandingi suara musik pada tempat itu. Rasa tersiksanya tak bosan di luapkan meski pun lagi-lagi harus mendesah lelah membuang emosinya yang bagai lahar, terus bergemelutup.
Tak
Namun bukannya malah mendapatkan pencerahan, pria mungil itu malah menjentikkan jarinya dengan raut kegirangan seolah tengah menemukan ide cemerlang. "Maka dari itu, bantu aku untuk mencari uang lebih. Kenalkan aku pada pria kaya lagi."
Ya, untung saja sudah bersiap dengan bujukan semacam itu. "Dan kau akan terus merengek setelah uang mu habis? Sungguh, itu bukan solusi, Bi!"
"Setidaknya aku bisa membayar minuman yang ku pesan, kan?" balas pria mungil yang dengan santainya mengangkat bahu.
"Berarti kau harus lebih dulu menghilangkan kebiasaan buruk mu ini." Benar-benar memberikan peringatan, bartender itu bahkan sampai menunjuk tepat di depan wajah sang kawan yang masih saja tak ingin peduli.
"Hufh... Sangat sulit untuk berbicara dengan mu."
"Tidak sulit jika kau mau sedikit mengerti kondisi ku."
"Kondisi mu yang bagaimana?" Bartender itu yang setelahnya makin jelas mencibir. "Oh... Maksud mu dengan usaha keras mengejar gelar murahan? Ku tanya pada mu, memangnya rencana mu mau menggaet berapa pria lagi?"
"Banyak tanya."
"Kau mau lubang mu di kroyok sekaligus, ya?!"
Brakk
Bartender yang tanpa sadar meninggikan suaranya itu lantas terkesiap, pria mungil di hadapannya itu meraup kerah kemeja yang di kenakannya dan menyentaknya kasar sampai menghantam meja.
Pandangan tajam, yang lebih tak masuk akalnya lagi bartender itu sampai gemetaran hanya karena kepalan tangan mungil yang teracung ke arahnya.
"Aku bisa saja merontokkan gigi-gigi mu ini."
"Ampun."
"Atau perlu ku koyak bibir mu? Setidaknya itu akan membuat kau sedikit berpikir ribuan kali untuk mengoreksi kehidupan ku."
"Tidak-tidak!" Pria tinggi itu nyaris pingsan, usapan lembut jemari itu di bibirnya malah menghantarkan pikirannya pada kengerian.
"Ayolah... Setidaknya kasihanilah telinga ku yang terlalu muak mendengar ceramahan mu itu."
"Ku mohon, jadi manusia jangan terlalu buruk. Jadi jalang saja sudah cukup, tak perlu kau menambah sifat psikopat seperti itu."
Plak
Jantung sang bartender seketika saja mencelos setelah tamparan ringan mampir di pipi kirinya. Matanya yang otomatis terpejam, setelahnya terbuka dan mendapati kenalannya itu sudah kembali duduk limbung dengan menenggak minumannya.
"Sialan! Kalau itu orang lain, sudah ku pastikan kau akan mati dalam waktu dekat."
"Hei, aku sudah tau... Kau memang kawan ku."
"Hei, ku lihat ada perdebatan di sini. Bisakah aku datang sebagai penengah?"
Selalu berakhir sia-sia, saat datang pria asing dengan tampilan rapi dan terkesan mahalnya.
Bahkan pria mungil yang sudah mengalihkan pandangan dengan bola mata memutar malas, seketika saja berubah berbinar penuh semangat saat paha kecilnya di remas.
Seolah tubuh limbungnya hanya sebuah kepura-puraan, kali ini bahkan pria itu sudah berhasil meloncat turun dengan mudah dari kursinya, sangat bergas.
"Oh... Untung saja ada pangeran baik hati yang menyelamatkan ku... Ekhh..." Cegukan, yang setelahnya belagak sok centil menggoyangkan tubuh layaknya remaja polos yang tengah salah tingkah. Menyibak poni rambut sejumputnya ke belakang telinga. Berbanding terbalik dengan bibir mencebik yang menunjukkan diri begitu memelas setelahnya, menarik pandangan nanar pada pria di balik meja yang mendadak jadi tertuduh. "Aku tau jika aku seindah ini. Aku bisa maklum kalau banyak orang yang tertarik pada ku. Kau yang bahkan orang asing pun harusnya tau, kan? Harga diri ku tak semurah itu sampai siapa pun berhak, sementara aku punya selera."
"Bi-"
Bartender yang melotot tajam itu bahkan di sela, "Harusnya kau sadar diri, pekerja seperti mu harusnya tak terlalu lancang menarget buruan terlalu tinggi."
Dan pria mungil yang licik itu malah semakin gencar memberikan kode pada sasaran empuknya. Tau benar jika tatapan sayunya menjadi kelebihan, menggigit bawah bibir dengan sensual, lantas mengusap dada pria bersetelan rapi itu dengan bersuara gemetar. "Sekarang kau telah menyelamatkan ku dari satu singa kelaparan, tapi setelah kau meninggalkan ku sendiri, aku tak bisa jamin keselamatan ku akan terjamin atau malah semakin gencar untuk di habisi."
"Jika begitu, rasanya kau memang harus ku kawal."
Gocha!
Kelicikannya dalam menjerat target memang tak usah di ragukan lagi. Meleyapkan lagak mimik wajah ketakutannya seketika. Bergelayut manja di lengan rekan barunya, tanpa sedikit pun mengindahkan nasehat dan malah melambaikan tangan sembari langkah berjingkraknya di bawa pergi. Seolah meledek dengan pantat seksinya yang sengaja di goyangkan. Menjauh dari pria yang angkat tangan untuk bisa memberikan pencegahan lagi. Terlebih emosinya yang makin meletup, rasanya hatinya seperti di remas mendengarkan fitnah kejam terhadapnya. "Sial! Lagi-lagi jalang kecil itu menuduh ku sebagai pria rendahan yang jelalatan. Kalau tidak ku ingat dia sebagai kawan ku, sudah ku tendang jauh dia ke kutub utara!"
"Apa kau mau ku antar pulang?"
Sementara kedua pria asing yang telah meninggalkan area dalam gedung yang begitu bising. Berhenti di tengah parkiran dengan malam gulita yang menyelimuti.
Di pahami jelas tentang maksud penawaran, alih-alih meminta penjelasan tentang langkah mereka selanjutnya. Ya, pria mungil itu sedikit mentolerir cara godaan yang sedikit membuang-buang waktu ini. "Secepat itu kita berpisah? Bahkan jika aku mengatakan pria seperti mu adalah selera ku, kau masih tak tergoda untuk menculik ku?"