Ini hanya cerita sederhana seorang pemuda dalam mencari hal untuk penopang hidupnya. Seperti kebanyakan orang muda lainnya. Mencari pekerjaan, menjalin persahabatan, pencarian jati diri, dan… cinta. Drama keseharian anak manusia yang sudah biasa terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Cerita tentang kehidupan berkeluarga, meski bukan dengan orang tua kandung. Cerita tentang hubungan baik antar kakak dan adik sepupu. Tentang keakraban antar satu dan lain sahabat, meski berbeda warna, rasa, dan asal. Tentang keagungan cinta yang datang tiba-tiba, tidak pernah diharapkan, menghampiri begitu saja dalam kondisi yang tak biasa. Lantas… Bagaimana bila cinta itu ternyata indah? Bagaimana bila ternyata ia begitu tinggi? Dan bagaimana bila ternyata ia begitu berbeda dari diri? Lets find out.
Seorang pemuda dua puluh tujuh tahun, duduk di atas satu kursi lipat dengan bantalan duduk dan bantalan sandaran berwarna merah tua. Ia sedang mengantri di antara beberapa orang dengan tujuan sama, mendonorkan darah. Satu aksi kecil yang menurut pemikiran si pemuda akan mampu membantu kehidupan, suatu saat kelak.
Sejumlah perawat, dokter, dan para panitia pengada acara pendonoran darah disibukkan dengan segala keperluan yang dibutuhkan dalam acara kemanusiaan tersebut. Ada yang sibuk mencatat satu-dua hal pada sebuah buku besar di atas meja yang disusun memanjang itu, ada pula yang hilir-mudik dengan menenteng alat-alat yang akan dipergunakan nanti. Jarum dan selang kecil mirip selang infus, kantong-kantong penampung darah, semua tersusun rapi di dalam sejumlah box berbahan stainless steel, namun beberapa ada juga yang berbahan plastik.
Dan ada pula para perawat dan dokter itu yang sedang berbincang-bincang dengan sejumlah partisipan lainnya. Menerangkan hal-hal yang perlu dilakukan setelah mereka menyumbangkan darahnya demi kemanusiaan. Sepertinya, satu-dua orang partisipan pendonor darah tersebut adalah mereka yang baru untuk pertama kali berpartisipasi.
Ada pula seorang yang bermurung wajah, sebab dokter yang mendampinginya menilai ia belum siap untuk diambil darahnya. Laki-laki itu perlu bersitirahat yang cukup beberapa jam sebelum bermaksud mendonorkan darah. Entah apa yang diucapkan sang dokter, namun yang jelas, laki-laki itu terlihat kembali ceria wajahnya. Tersenyum, mengangguk berpamit diri, dan lantas berlalu dari areal tersebut.
Pemuda yang tadi masih tenggelam dalam pikirannya sendiri, memandang sejumlah orang yang punya keinginan yang sama dengan dirinya. Setetes darah, akan sangat berarti bagi kehidupan siapa pun yang nanti yang membutuhkan ini semua. Ia tersenyum tipis, menghela napas dalam-dalam memandangi punggung laki-laki itu menjauh dari kawasan tersebut. Kembali pandangannya tertuju pada dokter wanita itu.
Tak lama, seorang perawat tampak keluar dari balik pintu, melangkah menghampiri para partisipan yang terlihat antusias, duduk rapi berjejer di atas kursi masing-masing. Sang perawat lalu menyerukan satu nama sembari memeriksa catatan berkas di tangannya.
"Rezqi Buana…"
Pemuda itu mengangkat tangan, ia mengangguk saat si perawat menatap padanya, menegaskan jika itu adalah namanya.
Sang perawat dengan sopan meminta Rezqi untuk mengikutinya, memasuki ruangan di balik pintu, terus melangkah hingga ke satu ruangan lainnya.
Di dalam ruangan besar yang lebih mirip sebuah bangsal panjang dengan deretan ranjang-ranjang khas rumah sakit – brankar, Rezqi menghentikan langkah. Perawat yang menemaninya menunjuk pada salah satu brankar kosong. Pemuda itu mengangguk, lantas membaringkan tubuhnya ke atas tempat tidur tersebut.
Sang perawat meminta Rezqi untuk menunggu barang sesaat, sementara ia melangkahkan kakinya menemui seorang dokter. Dokter itu mengangguk, lalu pandangannya tertuju pada sosok yang ditunjukkan si perawat. Rezqi sendiri kala itu sedang berusaha melipat lengan bajunya yang sebelah kanan.
Sejumlah pendonor yang mengisi brankar-brankar yang tersedia terlihat saling tebar senyuman pada perawat atau dokter yang mengawasi mereka. Ada yang tertawa-tawa kecil mengenang satu-dua hal yang menggembirakan, mungkin. Ada pula pendonor yang meringis, mungkin takut terhadap jarum, atau mungkin pula baru pertama kalinya mendonorkan darah.
Boleh dikatakan, bangsal itu sedikit agak berisik karenanya.
Dokter tersebut datang menghampiri Rezqi. Sejenak bertegur sapa sebagai pengakrab di antara keduanya, sebelum akhirnya sang dokter melakukan pemeriksaan standar meski si pemuda sudah diperiksa oleh perawat lainnya di depan tadi selagi menunggu giliran.
Setelah memastikan jika kondisi Rezqi berada dalam kondisi yang baik, sang dokter lantas melakukan prosesi pemindahan darah pemuda tersebut ke dalam kantong darah dibantu oleh si perawat yang tadi. Setelah mengoleskan kapas yang dibasahi cairan steril di titik dekat lipatan siku tangan kanan Rezqi, sang dokter menancapkan jarum kecil di tangannya ke nadi besar di tangan sang pemuda.
Sekejap saja sudah terlihat darah merah yang nanti sangat diharap bisa membantu menyelamatkan nyawa seseorang, mengalir keluar mengisi ruang kosong di sepanjang selang kecil transparan. Selang kecil terus tersambung menuju kantong darah yang telah dipersiapkan.
Sang dokter tersenyum menganggukkan kepala, "Mari, Mas," ujarnya dengan sangat sopan. "Saya tinggal dulu." Lantas meninggalkan pemuda tersebut guna melayani pendonor lainnya.
Rezqi pun membalas hal serupa. "Mari, Dok."
"Ini udah yang kelima kalinya ya, Mas?" ucap si perawat di sampingnya, sembari membetulkan posisi selang. Rezqi mengangguk. "Kesehatannya harus selalu dijaga ya, Mas," nasihatnya. "Golongan darah Mas ini, lumayan langka di Jakarta, Rhesus Negatif."
Yaa, Rezqi cukup tahu hal tersebut. Saat pertama kali mencoba mendonorkan darahnya, ia diberitahukan oleh dokter yang memeriksanya kala itu. Dari mulut si dokter terdahulu itu lah, ia mengetahui dalam tubuhnya mengalir jenis darah yang cukup langka ditemukan di Jakarta—bahkan mungkin di seluruh penjuru Indonesia ini.
Sang dokter kala itu mewanti-wanti, bahwa Rezqi harus menjaga kesehatan tubuhnya, sebab darah yang mengalir di dalam dirinya itu sangat-sangat berharga.
Alasan dokter yang waktu itu meminta si pemuda untuk selalu menjaga kesehatannya, juga perawat tadi barusan, bukanlah sesuatu yang tidak beralasan.
Kenyataannya, pemilik darah Rhesus Negatif tidak akan bisa menerima transfusi darah dari Rhesus Positif, meski pemilik Rhesus Positif akan sangat tertolong oleh darah Rhesus Negatif. Dan sayangnya, orang yang hidup dengan darah Rhesus Negatif yang mengalir di tubuh mereka tidak sebanyak orang-orang dengan golongan darah Rhesus Positif.
Saking langkanya, si pemuda pernah membaca di satu artikel, bahwa para dokter akan terbang langsung ke daerah mana pun jika di daerah tersebut ada pemilik darah Rhesus Negatif yang dalam keadaan sehat walafiat dan ingin mendonorkan darahnya, lalu si pemilik darah tidak tahu ke mana harus mendonorkan darahnya itu. Atau, katakanlah seorang yang tidak memahami hal-hal berbau pendonoran darah dan segala tetek-bengeknya.
Maka, para dokter dan para penggiat Palang Merah akan dengan senang hati mengunjungi orang-orang seperti si pemuda tersebut itu sendiri. Demi darah langka di tubuh mereka agar tetap bisa 'mengalir'.
Yaa, Rezqi sangat tahu pasti kesulitan pemilik jenis darah seperti dirinya—terima kasih pada penjelasan para dokter tersebut, juga ilmu pengetahuan—bila satu saat harus membutuhkan transfusi darah juga.
Itulah sebabnya, semenjak donor darah yang pertama kali itu ia lakukan meski awalnya hanyalah satu keisengan saja, semata-mata hanya ingin mencoba seperti orang-orang lainnya itu, setidaknya bisa sedikit berbangga pernah mendonorkan darah, namun pada akhirnya Rezqi menyadari akan keistimewaan darah dalam dirinya. Dan semenjak itu pula ia selalu berusaha menjaga kesehatan, dan tentu, rutin mendonorkan darahnya.
Bahkan, kegiatan ini seperti satu kegiatan yang dapat memberikan Rezqi kepuasan batin.
Seorang gadis sepantaran dengan si pemuda juga sedang berbaring dan mendonorkan darahnya. Terpisah satu ranjang di kiri pemuda tersebut.
...