Sekujur tubuh saya pun merinding, antara kedinginan dan ketakutan bercampur aduk jadi satu. Dengan takut-takut saya beranikan diri menoleh ke belakang, ke arah boncengan. Tetapi tidak ada siapa pun atau apa pun di situ. Namun kemudian dari perasaan yang menjalar di punggung dan belakang telinga saya, memberitahu dengan cukup jelas bahwa ada "seseorang" yang ikut membonceng di belakang. Berwarna putih, berambut panjang.
Cerita ini mengisahkan tentang rumah tempat saya dulu melewati masa kecil di kampung, di sebuah kota kecil di bagian selatan Jawa Tengah yang memiliki pantai yang indah.
Saya masih ingat rumah itu—seperti tipikal rumah kampung di lingkungan kami pada masa awal tahun delapan puluhan—sebagian dinding bagian bawahnya berupa dinding bata dan bagian atas berdinding gedeg atau bilik bambu. Pada ruang depan atau ruang tamu terpasang jendela kaca (kaca mati dan hidup) berderet di sepanjang dindingnya. Jika digambarkan pada denah, akan berbentuk seperti huruf L. Lantainya masih berupa lantai semen, belum memakai tegel apalagi keramik.
Di bagian belakang rumah terdapat semacam teras kecil yang dipakai sebagai tempat mencuci dengan sumber air berupa pompa "Dragon" yang juga berfungsi sebagai sumber air untuk mengisi bak mandi melalui sebuah lubang pada dinding yang berbatasan langsung dengan kamar mandi. Di kanan rumah kami berderet beberapa rumah tetangga yang dibatasi gang berjarak sekitar dua meteran, sedangkan di sisi kiri rumah ada kebun milik tetangga yang juga ditumbuhi beberapa pohon petai besar yang konon sudah ada jauh sebelum daerah itu menjadi kampung. Sementara di belakang halaman rumah kami yang hanya dibatasi pagar bambu adalah lahan kosong yang banyak ditanami pohon pisang oleh warga yang memisahkan kami dengan bagian belakang rumah tetangga yang memiliki sumur timba, dengan bunyi mencericit yang khas setiap dipakai menimba. Dan tepat di depan rumah kami merupakan lapangan yang dipakai bersama warga dan sekolah dasar yang berada di seberang rumah kami.
Bagaimana, apakah sudah terbayang kondisinya?
Nah, bayangkan saat malam tiba dengan tidak adanya lampu jalan atau lingkungan. Sumber cahaya hanya berasal dari lampu-lampu teras rumah yang hampir tidak berarti untuk menerangi sekitar.
Kami menempati rumah itu sejak saya balita. Menurut anak tetangga yang kemudian menjadi teman bermain saya, rumah itu sudah beberapa lama tidak berpenghuni. Mungkin orang tua saya membelinya karena harganya murah. Pemilik sebelumnya yang juga bertempat tinggal tidak jauh dari rumah kami itu adalah sepasang kakek nenek yang tampilannya cukup menyeramkan bagi saya yang masih balita. Kesukaan mereka duduk-duduk di teras rumah sambil "nginang" atau "nyirih". Saya lupa istilah dalam bahasa Indonesia untuk kegiatan mengunyah sirih dan meludahkannya ke tanah.
Nah, pada suatu malam, saya yang waktu itu telah duduk di kelas satu SD dan adik yang masih berusia tiga tahun—karena suatu hal penting dan mendesak—terpaksa ditinggal hanya berdua di rumah. Papa dan Mama pergi sekitar pukul delapan malam dan berjanji akan kembali pukul sepuluh malam. Sebenarnya ada Asisten Rumah Tangga—masa itu jamak disebut Pembantu—tetapi sehari-hari dia tidak menginap karena bertempat tinggal di kampung sekitar. Walaupun takut, namun sedari kecil saya telah dididik untuk mematuhi apapun perintah orangtua, terutama Papa yang kalau sudah marah besar tidak segan mendaratkan tendangan "maygeri"-nya ke tubuh saya. Yah, kerasnya tipikal orang tua jaman dulu lah.
Setelah memastikan semua pintu dan jendela terkunci, saya dan adik saya pun masuk ke kamar untuk tidur. Tempat tidur kami berupa ranjang kayu bertingkat dan terletak di dalam kamar utama. Biasanya saya tidur di ranjang atas dan adik di bawah, namun karena takut ditinggal berdua malam-malam begitu maka kami tidur meringkuk berdua di ranjang bawah. Suasana malam yang hening, ditingkahi suara jangkrik dan sesekali terdengar suara burung malam, semakin membuat kami berdua—terutama saya—sibuk meringkuk ke balik selimut menyembunyikan tubuh dan kepala kami sampai akhirnya terlelap.
Beberapa waktu kemudian terdengar suara lirih yang membangunkan saya dari tidur. "Heeehh... Heehh... Ssstt... Sssttt..."
Tebakan pertama saya adalah itu suara Papa dan Mama saya yang sudah berada di rumah kembali. Saya bangkit dan menengok ke kanan dan ke kiri mencari asal suara tadi namun tak melihat mereka di dalam kamar kami, pintu kamar pun masih dalam keadaan tertutup.
Berpikir mungkin suara yang tadi terdengar hanyalah mimpi, saya pun kembali menarik selimut dan tidur. Tetapi baru sebentar memejamkan mata, suara itu kembali terdengar. "Heeehh... Heehh... Ssstt... Sssttt..." Kali ini lebih jelas dari sebelumnya.
Penasaran, perlahan saya bangkit kembali dan melangkah turun dari ranjang. Melirik ke sebelah, adik saya masih tertidur lelap. Setengah berjingkat, saya melangkah ke pintu kamar, membuka pintu dan berharap melihat orangtua kami di luar kamar. Namun yang terlihat hanya keremangan ruang tamu, tanpa seorang pun di sana. Sedikit melangkah menuju kamar orang tua kami di sebelah, melalui lubang angin di atas pintu terlihat gelap di dalamnya. Melirik ke jam dinding, menunjukkan hampir pukul setengah sebelas malam. Mungkin mereka sudah di kamar, pikir saya kemudian.
Lalu saya kembali ke kamar dan menutup pintu. Namun sebelum naik ke ranjang, saya teringat sesuatu.
Kalau mereka sudah pulang, motornya pasti ada di garasi, pikir saya. Posisi garasi berada persis di sisi kamar kami dan jendela kamar kami berbatasan langsung dengan garasi tersebut, jendela kayu dengan dua daun jendela yang dilengkapi "louver" atau kisi-kisi di bagian atas jendela tersebut.
Saya naik ke kursi dan mengintip di sela kisi-kisinya, walaupun nampak samar karena hanya diterangi bola lampu 10 watt, tetapi terlihat bahwa garasi dalam keadaan kosong. "Waduh, berarti Papa Mama belum pulang," desis saya terkejut.
Bulu kuduk saya langsung merinding—saat saya mengetik cerita ini pun saya kembali merinding, terkenang saat itu—dan tanpa babibu langsung meringkuk kembali ke bawah selimut. Sedangkan adik saya masih tetap tidur dengan tenang, tidak terganggu sama sekali.
Dan malam horor itu pun dimulai. Sesaat kemudian, terdengar suara seperti langkah kaki orang berjalan mondar-mandir di antara luar kamar kami dan ruang tamu. Saya tidak berani membuka mata dan tetap meringkuk di bawah selimut sambil menempelkan tubuh ke adik saya yang tidur hampir menempel dengan sisi tembok kamar. Bahkan mengintip pun saya tidak berani. Mungkin setelah satu atau dua menit kemudian, suara langkah itu pun lenyap.
Baru saja saya hendak menarik nafas lega, tiba-tiba terdengar suara gorden ruang tamu digeser.
Suaranya persis seperti ada seseorang tengah membuka dan menutup gorden berkali-kali.
Dan parahnya, suara itu muncul lagi. "Heeehh... Heehh... Ssstt... Sssttt...," jelas sekali terdengar, kali ini berasal dari jendela yang berbatasan dengan garasi.
₡ ₡ ₡
Keesokan paginya, saya ceritakan semua kejadian yang saya alami semalam pada Mama, yang hanya dijawab dengan senyuman tipisnya yang menunjukkan ia tidak percaya akan kebenaran cerita saya.
"Kamu mimpi kali? Nggak berdoa ya semalem? Makanya mimpi buruk tuh," jawabnya bijak. "Dah sana mandi! Sekolah kan, udah siang ini."
Lalu saya pikir mungkin memang Mama benar. Mungkin saja saya memang bermimpi bahkan sampai berjalan dalam tidur saking takutnya hanya berdua adik saya di rumah malam-malam. Waktu pun berlalu dan saya pun sudah melupakan kejadian aneh tersebut.