webnovel

Rumah Masa Kecil-2

Lalu pada suatu senja, saya sedang bermain sepeda dengan teman2 di lapangan depan rumah. Seingat saya waktu itu sudah lewat waktu Maghrib. Kami berkejaran dengan mengendarai sepeda melewati gang-gang di antara rumah. Suatu saat saya tidak bisa mengejar teman saya, si Luki, yang menghilang berbelok di gang sebelah rumah tetangga. Lalu saya menghentikan sepeda dan menanti di mulut gang itu.

Memandang ke arah gang itu saya lihat suasananya remang-remang, pergantian antara terang sore ke gelap malam. Terdengar suara teman-teman masih berlarian dan bermain di lapangan namun tak ada seorang pun yang terlihat di gang di mana saya tengah menanti di mulutnya. Kemudian saya melihat sesosok bayangan hitam di bawah pohon petai, sekitar dua puluh meter jauhnya dari tempat saya berdiri. Seperti ada wanita muncul dari balik pohon dan kemudian ia diam berdiri di depan pohon itu.

Siapa tuh? Kok ada yang berdiri di bawah pohon? Apa Mba Sari ya..?

Saya diam mengamati bayangan hitam itu yang tetap berdiri diam di tempatnya.

Tiba-tiba, "Heeehh…ngapain kamu berdiri di situ?" tanya teman saya yang lain, Eno panggilannya.

"Eh kamu, ini nungguin si Luki, sepedaan ngilang di gang situ." Saya menunjuk ke arah gang.

"No, itu siapa ya berdiri di bawah pohon petai?" sambung saya.

Eno memalingkan wajah ke arah yang saya tunjuk kemudian berbalik memandang saya lagi. "Emang ada siapa di situ? Nggak ada apa-apa kok?" jawabnya keheranan.

Saya kembali memicingkan mata ke arah pohon itu. Dan sosok bayangan itu masih ada, masih berdiri diam di tempatnya.

"Itu lho No, itu…di bawah pohon itu. Masa nggak lihat sih?"

"Pohon yang mana sih? Yang paling gede itu kan? Apa sebelahnya? Nggak ada apa-apa."

"Iya, yang gede itu. Coba liat tuh, ada orang berdiri di situ." Saya ngotot menjelaskan sambil terus menunjuk.

"Nggak ada kok!" Ia menjawab hampir putus asa.

"Haa? Masa sih kamu nggak lihat..?!"

"Oh, itu ya? Tadi kok nggak ada. Iya sekarang aku lihat. Eh, tapi… Kok dia…?"

"Menghilang..?!" desis kami berdua serentak.

Kami saling berpandangan sejenak dan kemudian, "Huuaaa…lariiiii…!" teriak kami bersamaan sambil memacu sepeda ke arah lapangan.

Dengan ketakutan, kami ceritakan kejadian tadi pada teman-teman lain yang kami temui di lapangan. Kemudian dengan beramai-ramai semua menuju pohon petai tersebut untuk membuktikan omongan kami berdua. Dan tidak ada siapa pun di situ.

"Aah, bisa-bisanya si Yosi nih. Ngerjain si Eno kamu ya..?" ledek seorang teman.

"Nggak, beneran kok. Tadi ada bayangan orang berdiri di situ," jawab saya diamini anggukan Eno.

"Ya udah-udah, bubar yuk. Mungkin kita udah disuruh pulang sama penunggunya. Hiii..," ujar teman yang lain lagi sembari mengelus bulu lengannya yang merinding. Dan kami pun pulang ke rumah masing-masing.

₡ ₡ ₡

Selang beberapa hari kemudian, sebuah hal aneh kembali terjadi. Saat itu sore hari. Saya, adik saya dan ART kami, Mbak Imah sedang bermain-main di dapur sembari mengasuh adik saya. Orang tua kami belum pulang dari kantor, jadi di rumah saat itu hanya kami bertiga.

Saat sedang asyik mengasuh adik saya, tiba-tiba terdengar jelas suara gorden di ruang tamu digeser. "Sreekkk!"

Mbak Imah dan saya berpandangan, bertanya-tanya siapa yang menggeser gorden di ruang tamu, padahal pintu depan terkunci dan akses masuk hanya dari dapur tempat kami bertiga sedang berkumpul sehingga jika pun ada orang yang masuk pasti melalui kami bertiga. Mbak Imah langsung berjalan menuju ruang tamu, diikuti saya dan adik saya. Sampai di ruang tamu, tampak jelas gorden masih dalam keadaan terbuka, tidak berubah dari posisi semula.

"Siapa yang mainan gorden, Mbak?" tanya saya.

"Ah, nggak ada, mungkin tadi ada cicak lewat," jawabnya cepat. Namun dapat saya lihat raut mukanya menunjukkan sedikit kecemasan, seperti ada sesuatu yang dia sembunyikan dari saya. Dan kelak saya akan mengetahui alasannya.

₡ ₡ ₡

Malam itu hujan turun deras disertai badai yang cukup hebat. Petir tak mau kalah turut menyambar dengan bunyi menggelegar yang mengikutinya.

Para warga kampung terpaksa meringkuk berlindung di dalam rumah masing-masing, walaupun ada beberapa juga yang harus berjibaku dengan ember dan kain pel karena atap rumahnya tak kuasa menahan derasnya hujan.

Aliran listrik pun turut serta tidak mau berkompromi dengan warga kampung itu. Akhirnya cahaya lilin dan lampu teplok memberikan sedikit kecerahan untuk mereka.

Di satu rumah, L, anak lelaki berusia sepuluh tahun, mengintip keluar dari balik kaca jendela kamarnya. Yang ia lihat hanya derai air hujan yang melumuri kaca dan kegelapan di luar. Kembali ditutupnya tirai jendela dan direbahkannya tubuh ke tempat tidur dimana adiknya, C telah terlebih dahulu terlelap.

Sementara di luar kamarnya, di ruang tamu merangkap ruang keluarga, Pak H dan Ibu L, orangtua A, sedang duduk mengobrol bersama dengan Kakek O.

Dengan hanya diterangi cahaya dua lampu teplok di meja tengah dan ujung ruangan, Pak H duduk bersandar membelakangi jendela ruang tamu berhadapan dengan istrinya dan mertuanya. Derasnya hujan dan gelegar petir yang sambar menyambar seperti tidak mengganggu asyiknya obrolan mereka. Mungkin membahas topik demi topik yang hangat pada masa itu.

Seiring obrolan mereka, tanpa terasa jarum jam hampir menunjuk waktu pukul sepuluh malam. Mungkin terbuai hawa dingin yang menerpa karena hujan yang tak kunjung reda, Kakek O hampir tertidur bersandar di kursinya demikian juga Pak H. Ibu L melirik mereka, kemudian berpindah ke gelas-gelas kopi di meja yang tinggal menyisakan ampas kopi.

"Pak, kopinya mau tambah lagi?" tanyanya pada Pak H.

"Iya Bu, boleh deh tambah lagi. Tanggung ngobrolnya belum selesai," jawab Pak H yang diamini oleh Kakek O.

Ibu L bangkit dari duduk, mengambil lampu teplok di meja sampingnya dan berjalan menuju ke dapur di belakang untuk kembali menyeduh kopi.

Tiba-tiba, petir kembali menyambar dengan suara yang sangat kencang hingga lantai rumah pun bergetar. Ibu L terkejut bukan main, hampir saja ia menumpahkan air panas dalam termos yang baru saja dibuka. Untung ia bisa mengendalikan diri dan kembali meneruskan seduhan kopi untuk suami dan ayahnya.

Di saat yang sama, Kakek O hampir terlempar keatas dari kursinya. Petir tadi seakan begitu dekat dengan mereka. Diliriknya ke seberang, samar terlihat Pak H masih bersandar memejamkan mata.

"Wah, ini orang, petir segitu kencang nggak kebangun?" desisnya.

Beberapa saat kemudian, Ibu L muncul dari dapur dengan membawa nampan berisi 2 gelas kopi panas.

"Ini Pak, Mbah, kopinya," ucapnya sambil meletakkan gelas di meja. Kakek O mengangguk ke putrinya tersebut dan menggeser tubuh ke depan untuk mengambil segelas kopi yang telah terhidang itu.

"Han, ini lho kopinya. Tadi katanya mau nambah," ucapnya sebelum menyeruput kopi yang masih mengepulkan asap tersebut.

"Iya nih, Pak, kopinya diminum, nanti dingin ngga enak," tambah Ibu L.

Pak H tidak bergeming, masih tetap duduk bersandar dengan mata terpejam. Ibu L berjalan mendekati Pak H dan menepuk-nepuk tangan suaminya itu. Dan tidak ada reaksi apapun.

Mereka terkesiap, Kakek O spontan bangkit dari duduknya dan mereka berdua mengguncang-guncang tubuh Pak H, berharap ia bangun dari tidurnya.

"Pak.. Paakk… Bangun, Paak..!" Ibu L setengah berteriak memanggil-manggil suaminya dengan panik.

"Han.. Haaan… Bangun..!" panggil Kakek O turut panik.

Dan Pak H tetap tidak bergerak. Terlihat dadanya diam, tidak bergerak naik turun seperti normalnya paru-paru mengambil udara. Tanpa pikir panjang lagi, Kakek O langsung membuka pintu depan dan berlari menembus hujan ke rumah Pak A, tetangga terdekat yang hanya dipisahkan halaman samping. Diketuknya pintu rumah Pak A berkali-kali dengan keras.

Pintu terbuka sedikit, nampak Pak A dengan sarung melingkari tubuhnya di sela pintu yang terbuka itu. Ia terkejut melihat Kakek O basah kuyup di depan pintu rumah.

"Lho, si Mbah. Saya pikir siapa..," serunya sambil membuka lebar pintu dan mempersilahkan masuk tamunya.

"Tolong, nak A. Tolong si H.. Tolong..!" Kakek O menarik tangan Pak A menuju rumah Pak H.

Pak A menyadari ada sesuatu yang tidak beres dan tanpa pikir panjang ikut berlari menembus hujan. Sesampainya di dalam rumah Pak H, terlihat Ibu L sedang menangis sambil memeluk tubuh Pak H yang masih terduduk diam di posisinya, kemudian Ibu L jatuh pingsan di pelukan ayahnya.

Pak A segera mencoba membantu, diperiksanya nafas kemudian dirabanya nadi Pak H dan memang tidak ada tanda kehidupan saat itu, namun ia sadar ia bukan dokter yang dapat memvonis seseorang telah meninggal atau masih hidup.

Singkat cerita, setelah diberitahu oleh Pak A, para tetangga terdekat rumah segera berdatangan di tengah derasnya hujan. Salah satu dari mereka memiliki telepon di rumahnya dan atas kesepakatan warga saat itu, ia menghubungi Rumah Sakit untuk meminta pertolongan. Tidak berapa lama kemudian, terdengar sirene ambulans di jalan yang menuju ke lapangan depan rumah Pak H. Para tetangga bergegas melihat ke depan rumah.

Namun, saat mobil ambulans berbelok ke lapangan itu, terdengar raungan mesinnya seperti sedang mengerahkan tenaga untuk melewati tanjakan. Raungan mesin terdengar berulang-ulang tanpa disertai gerakan mobil ambulans tersebut. Ambulans itu terdiam di posisinya. Petugas medis lalu turun dari ambulans dan berjalan menuju rumah Pak H untuk memeriksa kondisinya.

Beberapa tetangga mencoba mendekati ambulans tersebut untuk mencaritahu kendala yang terjadi. Dan si sopir berkata bahwa mobil seperti tertahan sesuatu, mungkin ada batu besar yang menghalangi dan tidak terlihat didalam genangan air hujan. Spontan mereka mencoba meraba mengais di depan keempat ban mobil itu untuk menyingkirkan halangan tersebut, dan mereka tidak menemukan apapun.

Lalu seseorang memberi komando untuk bersama-sama mendorong ambulans.

"Satu.. Dua.. Tigaa…" Dengan aba-aba itu mereka bersama-sama mendorong dan mendorong, si sopir pun menginjak gasnya. Berkali-kali upaya itu dicoba dan gagal. Seperti ada halangan yang tak terlihat di depan.

Di saat yang sama, saat petugas medis sedang memeriksa kondisi Pak H, ada seorang tetangga yang memiliki "kelebihan" ikut membantu di rumah itu. Melihat keganjilan yang terjadi, ia mengajak tetangga yang ada di rumah itu untuk bersama memanjatkan doa supaya ambulans itu dapat sampai di depan rumah.

Singkat cerita, "halangan" tersebut pun terlampaui dan mobil ambulans dapat menuju ke lokasi yang diharapkan. Dan sesuai pemeriksaan petugas, Pak H sudah dalam keadaan tidak bernyawa.

Yang mengejutkan, ada luka seperti terbakar di belakang kepalanya. Konon menurut seorang tetangga yang ikut menyaksikan jenasahnya, mungkin karena tersambar petir.

₡ ₡ ₡

Dan kisah Pak H yang saya ceritakan di atas adalah kisah nyata yang terjadi bertahun-tahun sebelum kami menempati rumah itu, sesuai penuturan ART saya dan juga beberapa tetangga rumah yang telah tinggal cukup lama di kampung itu. Namun tidak semuanya dapat saya ceritakan karena satu dan lain hal. Semoga "Pak H" dapat beristirahat dengan tenang. Amin.

Demikianlah pemirsa, kisah Rumah Masa Kecil ini saya akhiri sampai di sini.

Chương tiếp theo