Di tengah perjalanan pulang, tepatnya di depan gang rumah Pak Udin, aku melihat Pak Budi yang sedang berjalan ke arah rumahnya sambil menenteng dua kantong plastik minimarket besar. Sebagai seorang tetangga yang baik lagi ramah, akupun menyapanya, "Pak Udin!".
Namun dia sama sekali tidak membalas atau menghiraukan sapaanku, Pak Udin terus saja melangkahkan kedua kakinya dengan dua kantong plastik putih itu menggantung di kedua tangannya sampai menghilang dari pandanganku yang terus melaju di atas motor.
Tak lama setelah itu, akhirnya aku sampai di depan sebuah bangunan yang posisinya digantikan oleh rumah sakit selama tiga hari ke belakang. Sebuah bangunan satu lantai yang terasa seperti istana paling mewah nan megah buatku. Sebuah bangunan yang biasa aku sebut dengan rumah.
Perlahan aku turun dari motor itu, lalu kepada pengendaranya aku berkata, "terima kasih ya Pak!".
"Iya sama sama Mas!" balas pria itu sambil mengetik sesuatu di handphonenya.
Kulihat langit sudah bermandikan cahaya putih dari sang matahari yang mulai merangkak naik menuju singgasana tertingginya. Melihat itu, akupun bertanya kepada pria yang masih sibuk dengan handphonenya itu, "maaf Pak! sekarang jam berapa ya Pak?".
"Hmmm? oh, jam sepuluh lewat dua puluh menit Mas!" jawab pria itu dengan matanya yang masih fokus ke layar handphonenya.
Kemudian tanpa berkata apapun lagi, pria itu langsung memutar balikkan motornya dan meninggalkanku sendirian di depan rumah. Setelah jaket hijaunya menghilang di balik tembok rumah-rumah yang menutupi jalanan, aku memutar balikkan badan, lalu berjalan mendekati pintu.
Berulang kali kutekan lalu dorong gagang pintu itu, namun tak bergerak sedikitpun. Akhirnya dengan sebuah decikkan dan hembusan nafas, kulepaskan genggaman dari gagang itu lalu perlahan menurunkan bokong hingga menyentuh lantai teras.
Ckk
Huffftt
Cukup lama aku duduk menunggu di teras rumah dengan sesekali melihat motor yang terparkir rapih di garasi sambil memikirkan betapa mudahnya keluar dari rumah sakit kali itu, tak seperti seperti sebelumnya yang dimana aku melalui beberapa rangakaian test dan pemeriksaan sebelum dibolehkan untuk pulang. Sampai seluruh permukaan kulit tanganku terlihat cerah tersinari matahari. Sampai akhirnya Ibu datang dengan membonceng motor Anto yang menggantung dua kantong plastik hitam besar di gantungannya.
Aku perlahan berdiri bersiap menyambut kedatangan mereka. Dengan tangan kanan bertumpu pada punggung Anto, ibu perlahan turun dari motornya, lalu dia berkata, "kamu taruh aja motormu di garasi! sama sekalian tolong bawain daunnya ke dapur ya!"
Yang dibalas oleh Anto dengan nada sedikit membentak, "iya! iya!".
Setelah itu, dengan mesin yang masih menyala, Anto memajukan motornya melewatiku menuju garasi, seraya menyapaku dengan telapak tangan kirinya. Kedua mataku terus mengikuti Anto beserta motornya, sampai ibu menegurku.
"Di minggir Di! mau buka pintu!" tegur Ibu.
Langsung kualihkan pandangan ke ibu dan menggeser tubuh memberinya ruang jalan untuk membuka pintu rumah. Lalu ibu mengeluarkan kunci dari saku celananya, kemudian membuka pintu itu, dan masuk kedalam rumah, sambil berkata, "ayo masuk Di!".
"Entar Mak, sekalian bareng Anto!" tolakku.
"Oh, oke!" balas ibu dengan sedikit berteriak dari dalam.
Kubalikkan badan hendak menyusul Anto ke garasi. Saat aku sudah turun dari teras, ternyata Anto telah berjalan mendekat dengan kantong plastik hitam tadi di kedua tangannya. Kuhampirilah Anto menawarkan bantuan, "sini To gua bantu!"
"Eh, gak usah Di! lu masuk aja!" tolak Anto.
Tanpa mempedulikan ucapannya, kuambil satu kantong plastik hitam besar itu dari tangannya, yang ternyata sangat ringan. Pertanyaan tentang apa sebenarnya dari kantong plastik itu seketika bermunculan di kepala, maka tanpa berkata apa-apa, langsung saja kubuka kantong plastik itu.
Dan ternyata isinya adalah beberapa ikat daun hijau berbentuk bulat seperti telur dengan tangkainya yang berwarna kuning kehijauan. Saat itu aku langsung berpikir, 'tumben emak beli daun kelor!'. Setelah itu, tanpa sepatah kata apapun, aku kembali menutup kantong plastik itu dan segera masuk ke dalam rumah beriringan dengan Anto.
Di dalam rumah terlihat ibu yang tengah duduk di kursi di samping meja makan serta bersandar pada dinding di belakangnya. Kamipun menghampirinya dan Anto bertanya, "ini mau di taruh dimana?".
Dengan mata terpejam ibu menunjuk lantai kosong yang berada di bawah kompor. Segera kami letakkan kantong-kantong itu di sana. Saat aku berbalik, terlihat ibu yang sudah berdiri sambil melihat jam dinding yang menunjukkan pukul setengah dua belas.
"Oke! sebagai perayaan keluarnya Hardi dari rumah sakit, sekarang kita bakal masak sayur kelor!" seru ibu.
"Wooaahh!" sorak Anto di sampingku.
"Anto kamu cabutin daunnya sama siapin air rebusan! Hardi kamu kupasa sama potong bawang!" perintah ibu.
"Siap Bos!" seru Anto sambil memberi hormat dengan tangan kirinya.
Kemudian Anto langsung mengeluarkan semua daun kelor dari kantong yang kubawa, lalu mulai mencabuti daunnya satu persatu sambil menghitungnya dengan bergumam, "satu, dua, tiga, empat, lima...."
"Bawangnya dimana Mak?" tanyaku.
"Ada di kantong plastik!" jawab ibu.
Dengan sigap aku langsung mengambil sebilah pisau dan sebuah talenan kayu, kemudian membongkar kantong plastik yang Anto bawa, lalu jatuhlah delapan bonggol bawang putih serta tujuh bungkus garam dapur.
"Bawangnya berapa Mak?" tanyaku.
"Hmmm.... kayaknya tiga siung aja cukup deh!" jawab Ibu.
Lantas kutarik tiga siung bawang dari salah satu bonggol, lalu kukupas dan potong kecil-kecil di atas talenan kayu, dengan diiringi hitungan Anto di sampingku.
"Enam satu, enam dua, enam tiga, selesai!" ucap Anto.
Lalu Anto beranjak dari duduknya, setelah itu terdengar suara nyaring dari air yang mengalir lalu bertabrakan dengan benda keras yang perlahan suaranya mulai memudar.
srengg
blubub
blubub
'Sepertiny itu Anto yang sedang mengisi air ke panci'. Bertepatan dengan hilangnya suara itu, akupun sudah selesai mengubah tiga siung bawang tadi menjadi potongan-potongan kecil.
"Udah Di?" tanya Ibu.
"Udah Mak!" jawabku sambil mendongakkan kepala menatap Ibu.
"Pancinya langsung taro aja diatas kompor To!" ucap Ibu.
Tanpa mengeluarkan sepatah kata, Anto segera menaruh panci berisi air itu ke atas kompor.
"Mulai dari sini Mak yang urus, kalian maen aja dulu sana!" kata Ibu.
Kami berduapun pergi dari dapur meninggalkan ibu mengurus sayur kelornya sendirian dan berjalan masuk ke kamarku.
Sesampainya di kamarku, tanpa ijin ataupun permisi Anto langsung melompat ke tempat tidur, dia rentangkan kedua tangan dan kakinya hingga hampir memenuhi seluruh permukaan kasur, serta menggosok-gosokkan wajahnya ke bantal.
"Ahhhh.... " desah Anto.
Plakkk
kutampar bokong orang tak tahu menahan diri itu sambil berkata, "minggir!"
Namun Anto sama sekali tak bergeming dari posisinya, dia malah menggoyang-goyangkan bokongnya seakan menantangku untuk menamparnya lebih keras lagi, 'bener-bener nih orang!'. Akhirnya kududuki saja bokong kurus itu.
Sambil menatap langit langit kamar yang sudah bertahun-tahun menampungku itu, entah kenapa kembali teringat tentang siluet yang sempat menakutiku beberapa hari lalu. Akupun memanggil Anto, "To!"
"Hmmm?" balas Anto.
"Gua pengen cerita sesuatu ke lu nih!" ungkapku.
"Cerita Kak Lia lagi? bosen ah!" keluh Anto.
"Bukan! bukan Kak Lia, cerita serem!" sanggahku.
"Cerita serem?" tanya Anto.
"Iye" jawabku.
"Gas!" seru Anto.
"Jadi gini To.... " Akupun menceritakan tentang siluet yang berjalan mendekatku dengan sambil tangan kiri memegangi dadanya dan tangan kanannya yang menjulur seperti ingin menangkapku beberapa hari sebelumnya itu kepada Anto.
Thanks karena sudah mau mampir di mari!
Berikan saya kritik!
Berikan saya saran!
Berikan saya vote!
Add novel ini ke library anda!